Di kehidupan sebelumnya, Nayla hidup dalam belenggu Adrian.
Tak ada kebebasan. Tak ada kebahagiaan.
Ia dipaksa menggugurkan kandungannya, lalu dipaksa mendonorkan ginjalnya kepada saudari kembarnya sendiri—Kayla.
Ia meninggal di atas meja operasi, bersimbah darah, dengan mata terbuka penuh penyesalan.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua.
Di kehidupan ini, Nayla bersumpah: ia tidak akan jatuh di lubang yang sama.
Ia akan membuka topeng dua manusia berhati busuk—mantan kekasih dan saudari tercintanya.
Namun kali ini... apakah ia bisa menang?
Atau akan ada harga baru yang harus ia bayar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julie0813, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Bekal Makan
"Ini kamu yang masak sendiri?" tanya Adrian sambil menatap hidangan di atas meja yang tampak menggugah selera, suaranya terdengar cukup puas.
"Umm... sebagian aku yang masak," jawab Nayla dengan ragu-ragu.
Namun, mendengar itu, ekspresi puas Adrian langsung meredup beberapa tingkat.
"Yang mana?"
"Hah?" Nayla mengerutkan kening, bingung.
"Aku tanya, yang mana yang kamu masak?" nada suara Adrian mulai terdengar tidak sabar.
"Ehh... bagian plating-nya aku yang kerjain," jawab Nayla hati-hati, sambil menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Adrian.
Pantas saja terasa familiar… ternyata bukan hasil tangan Nayla, tapi masakan pembantu rumah tangga!
---
Kejadian yang paling ditakuti adalah... keheningan mendadak.
Adrian mengatupkan bibirnya rapat-rapat, wajahnya menggelap. Kedua tangannya mengepal, lalu mengendur, lalu mengepal lagi.
Nayla yang duduk di sebelahnya hanya bisa menahan napas, jantungnya berdetak kencang. Takut kalau tiba-tiba tangan itu lepas kendali dan mendarat di tubuhnya.
Seandainya dia tahu Adrian seserius ini ingin makan masakan buatannya, dia pasti akan nekat masak sendiri, meskipun berisiko bikin Adrian keracunan sampai masuk rumah sakit.
Tapi yang ada di kepala Adrian justru:
"Nayla dulu rajin masakin buat pria lain, giliran aku, malah ogah-ogahan. Nayla, kamu hebat banget!"
"Kita makan di luar!" Adrian mendadak berdiri. Kalau dia terus berada di situ, dia takut emosinya akan meledak.
"Terus... makanan ini gimana?" tanya Nayla pelan.
"Buang aja!" sahut Adrian dingin tanpa menoleh.
"Jangan dong, sayang banget. Gimana kalau malam nanti aku masakin buat kamu?" Nayla benar-benar tak suka buang makanan, apalagi dia sudah susah payah menata dan membawanya ke sini. Adrian jelas tidak menghargai usaha dia.
"Nayla, kalau malam nanti aku masih nggak bisa makan masakan buatan kamu..." suara Adrian rendah dan berbahaya, tubuh tingginya berdiri tegak di depan Nayla yang mungil. "…maka yang akan aku makan adalah kamu!"
Nayla tidak mengerti, kenapa sih Adrian segitunya ingin makan masakan buatannya?
Tapi tetap saja, dengan wajah penuh senyum manis dan sikap mengalah, Nayla menyerahkan sumpit ke tangan Adrian.
"Baik, baik, nanti malam aku masak, ya." katanya cepat-cepat.
"Pisahkan wortel dan mentimun dari salad sayur itu."
Adrian yang masih merasa kesal, mulai menyuruh Nayla melakukan ini dan itu seolah melampiaskan kekesalannya.
Setelah makan siang, Adrian menyuruh Nayla membereskan meja lalu ikut dengannya ke ruang istirahat untuk tidur siang.
"Terus... aku tidur di mana?" tanya Nayla pelan.
Di ruang istirahat itu hanya ada satu ranjang, dan saat ini Adrian sudah lebih dulu berbaring di atasnya.
"Sini." Adrian menjawab singkat dengan mata setengah terpejam, lalu melempar bantal peluk dari pelukannya.
Dengan mata setengah tertutup seperti itu, wajah Adrian yang biasanya dingin dan penuh aura dominan, kini terlihat sedikit lebih santai. Ditambah dengan wajah tampannya yang sempurna, pemandangan itu justru terlihat sangat memikat.
Nayla dalam hati memutar bola matanya—Adrian ini mau menjadikan dia bantal peluk, ya?
Meski enggan, Nayla tetap menyeret langkahnya perlahan-lahan ke arah tempat tidur.
"Cepetan." ucap Adrian, nadanya tegas tapi malas.
Nayla merasa tidak nyaman dijadikan bantal peluk. Ia pun menggeliat pelan, mencoba mencari posisi yang sedikit lebih enak.
"Jangan gerak!" suara rendah Adrian tiba-tiba terdengar di telinganya, membuat Nayla langsung membeku.
Saat itu, Nayla bisa merasakan ada sesuatu yang keras menyentuh bagian belakang tubuhnya—tepatnya di area bokong. Seketika tubuhnya kaku dan tak berani bergerak lagi. Ia hanya bisa diam pasrah, menjadi bantal hidup yang dipeluk Adrian dari belakang.
Namun meski sudah diam, Nayla tetap tidak bisa memejamkan mata. Otaknya malah mulai dipenuhi berbagai pikiran.
Adrian adalah CEO dari perusahaan sebesar ini, tentu saja beban pekerjaannya tidak sedikit. Dan dalam beberapa hari ini, karena semua kekacauan yang melibatkan dirinya, Adrian malah menjadi alat bantu Nayla untuk melawan Kayla.
Entah sejak kapan, Nayla mulai merasa sedikit... bersalah.