Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Udara di wilayah utara selalu lebih dingin, menusuk tulang dan terasa sepi. Hutan pinus di sekitar benteng tua Klan Liao diselimuti kabut pekat, seolah menutup mata dunia dari apa yang terjadi di balik gerbang kayu besar itu.
Namun malam ini, kabut itu bukan sekadar hawa dingin.
Ia menyembunyikan sesuatu.
Sesuatu yang selama ini hanya menjadi bisikan dalam dokumen rahasia kerajaan.
Dan malam ini… kebenaran akan terbuka.
—
Wei Lian duduk di kursi kayu sederhana yang diikat dengan rantai halus dari besi dingin. Di depannya, berdiri seorang pria tua dengan jubah hitam berkerah tinggi, rambut peraknya diikat rapi, wajahnya penuh bekas luka perang, namun matanya tajam dan masih memancarkan wibawa.
Jenderal Lu Shengtai.
Dulu, ia adalah tangan kanan Kaisar Hanbei sebelum Mo Yichen dilahirkan. Ia menghilang dalam pertempuran terakhir melawan Klan Liao di masa lalu—semua mengira ia gugur.
Namun kenyataannya…
Ia membelot.
“Aku tidak bangkit untuk balas dendam pribadi,” ujarnya lirih, suaranya dalam seperti guruh yang tertahan. “Tapi untuk menyeimbangkan keadilan yang telah lama diputarbalikkan.”
Wei Lian menatapnya tajam. “Dengan mengacaukan dua kekaisaran dan membunuh rakyat yang tidak bersalah? Itu bukan keadilan. Itu kekejaman.”
Jenderal Lu tersenyum samar. “Kau lebih pintar dari yang kuduga. Tak heran Mo Yichen jatuh hati padamu. Tapi itu tak penting. Sejarah tak memerlukan cinta. Ia hanya mencatat siapa yang menang.”
Wei Lian menarik napas dalam. Ia tahu ia harus mencari cara keluar—atau setidaknya mengulur waktu hingga sinyal rahasia dari Ah Rui sampai ke tangan Mo Yichen dan Zhao Jin.
Sementara itu di ruangan bawah tanah…
Yan’er merangkak dalam lorong sempit, menyusuri jalur pelayan yang dulu ia lihat dari peta. Meski tubuhnya masih sakit akibat luka sebelumnya, matanya tak kehilangan fokus.
“Jika aku berhasil menonaktifkan mekanisme pengunci utama gerbang barat…” gumamnya, “Mo Yichen bisa masuk.”
Langkah kakinya pelan, tapi cepat. Tangan kanannya menggenggam pisau tipis.
Di sisi lain markas, Ah Rui diikat di tiang kayu, namun mulutnya tak berhenti bicara meski mulut lawan tutup telinga.
“Kau tahu, kau harusnya menyusun pasukanmu lebih rapi. Lihat? Kuda kalian kotor, formasi berantakan. Bukan pasukan bayangan, ini pasukan kartun…”
Salah satu penjaga menendang tanah dekatnya. “Diam!”
Ah Rui terkekeh. “Aku hanya bilang… kalau nanti pasukan Mo Yichen datang dan melihat ini… mereka mungkin kasihan dan kirim pelatih barisan dulu sebelum bertarung.”
—
Sementara itu, di luar benteng
Mo Yichen memegang cincin giok yang masih utuh—tanda bahwa Wei Lian belum dalam bahaya hidup. Tapi itu juga berarti ia masih tertahan.
Zhao Jin mendekat. “Jika kita menyerbu sekarang, kita mungkin bisa membuka gerbang dalam dua jam.”
“Terlalu lama,” gumam Mo Yichen.
Ia memejamkan mata sejenak. Hatinya gelisah. Tapi dia percaya—Wei Lian bukan wanita yang mudah ditundukkan, dan Yan’er bukan gadis yang mudah kalah.
Tiba-tiba, suara siulan samar terdengar dari arah utara.
Mo Yichen membuka mata cepat.
Itu adalah kode sandi dari Ah Rui. Dua nada naik, satu turun.
“Gerbang barat terbuka.”
Mo Yichen menoleh cepat ke pasukannya. “Bersiap. Masuk dengan formasi sunyi. Kita bawa mereka pulang—hidup.”
—
Kembali ke ruang utama benteng
Jenderal Lu perlahan mendekati Wei Lian. “Apa kau tahu… kenapa aku tidak membunuhmu sekarang?”
Wei Lian diam.
“Karena aku ingin Mo Yichen melihatmu menjadi simbol kegagalannya. Menyaksikan wanita yang ia cintai jatuh di tanganku.”
Wei Lian menunduk… lalu tersenyum tipis.
“Lalu bagaimana jika aku lebih dulu menjatuhkanmu, sebelum dia sempat datang?”
Braak!
Tiba-tiba jendela ruangan itu pecah.
Yan’er meloncat masuk sambil melempar bom asap kecil. Dalam sekejap, ruangan dipenuhi kabut putih. Wei Lian segera melepas rantai tangannya dengan jarum rambut yang telah ia sembunyikan, lalu menangkap pedang pendek yang dilempar Yan’er ke arahnya.
“Waktunya keluar,” ujar Yan’er cepat.
Mereka berlari ke arah pintu belakang—namun Jenderal Lu sempat memberi aba-aba.
“JANGAN BIARKAN MEREKA KABUR!”
Suara lonceng darurat berbunyi. Pasukan penjaga mulai berdatangan.
Namun sebelum mereka sempat mengepung…
Gerbang barat meledak terbuka.
Mo Yichen masuk dengan pasukan Hanbei, Zhao Jin memimpin barisan samping, sementara Ah Rui—yang entah bagaimana berhasil membebaskan diri sendiri—lari ke arah Wei Lian dan Yan’er sambil berseru, “Akhirnya! Aku muak dengan aroma kayu lapuk dan penjaga yang bau ketiak!”
Pertarungan meletus.
Namun pasukan musuh tidak sekuat sebelumnya. Banyak dari mereka ternyata hanya warga yang dibayar dan dilatih setengah. Begitu pasukan Hanbei menekan, barisan musuh mulai runtuh.
Mo Yichen melawan Jenderal Lu sendiri di depan aula utama. Pertarungan pedang terjadi di antara reruntuhan dan kobaran api.
Di saat Jenderal Lu hendak menghantam fatal, Wei Lian datang dari samping dan menahan pedangnya.
“Yang ini… biarkan aku.”
Mo Yichen menatapnya—lalu mengangguk dan mundur.
Wei Lian dan Jenderal Lu berdiri berhadapan.
Dan untuk pertama kalinya, masa lalu dan masa depan bertarung dalam satu garis.
Bersambung