Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Surat yang Tak Pernah Sampai
Seminggu berlalu sejak surat itu diterima. Achazia tak berhenti memikirkan Elvareon. Setiap malam, ia menulis surat baru, tapi tak pernah mengirimkannya.
Di kotak kecil di bawah tempat tidurnya, ada lima surat. Semua tertulis rapi, tapi penuh keraguan.
“Aku ingin bilang aku sayang kamu, tapi aku takut… kamu makin terbebani…”
“Kalau suatu hari kamu berubah, aku gak akan marah. Tapi izinkan aku menunggumu…”
“Elvareon, aku ingin jadi MUA profesional. Aku ingin sahabat kita Brianna jadi orang pertama yang aku rias saat aku berhasil nanti. Aku ingin kau dan Kaivan juga ada disitu…”
Namun setiap kali ia hendak mengirim, ia ragu. Apa surat itu hanya akan menyulitkan Elvareon? Bukankah dia sedang berjuang keras di kota orang, tanpa dukungan siapa pun?
Di sisi lain, Kaivan dan Brianna juga terus membantu sebisa mungkin. Tapi Papa Achazia mulai mencurigai kiriman surat dan barang yang datang terlalu sering.
“Brianna, kamu yakin Papa nya Achazia gak akan tahu?” tanya Kaivan saat mereka duduk di kafetaria kampus.
“Aku coba sembunyiin. Tapi gak bisa terus-terusan. Mungkin… sudah cukup. Suratnya jangan dikirim dulu,” ujar Brianna.
Kaivan mengangguk. Ia lalu menatap paket di tangannya. “Mau dikirim sekarang?”
Brianna menggigit bibir. “Tunda. Sampai semuanya aman.”
Surat Achazia… tak pernah sampai.
Di balkon kamarnya, Elvareon menulis surat balasan. Namun setelah selesai, ia merobeknya.
“Za, aku ingin bilang aku juga merindukanmu. Tapi aku takut… kamu makin sulit hidupmu karena aku.”
Ia menatap langit malam.
Dua hati. Dua surat. Tak pernah sampai. Tapi keduanya saling percaya.
Mungkin… waktu akan menyampaikan apa yang belum sempat terucap.
Hari demi hari berlalu. Surat itu tak pernah dikirimkan. Masuk kuliah sudah kembali dimulai. Semua tugas dan laporan harus dikerjakan tepat waktu.
Brianna bahkan tidak memikirkan surat itu lagi. Dia harus fokus pada racikan obatnya. Terlebih Kaivan yang harus berubah semester baru ini menjadi lebih rajin dengan bantuan Brianna.
Bahkan grup itu menjadi sepi. Tidak pernah lagi ada pertukaran pesan akibat kecanggungan itu. Achazia yang kini tidak terlalu fokus diperkuliahannya membuat dosennya bingung. Bukan dosen saja bahkan teman sekelas Achazia juga sering melihat gadis itu dengan wajah murung hampir setiap hari.
Teman dekat Achazia yaitu Ciara teman yang sudah dipercayai oleh Achazia selama kuliah ini. Tepat saat kelas selesai, Achazia ingin langsung kembali ke asramanya tapi Ciara menghentikan
"Zia, tunggu." teriak Ciara dari belakang
Achazia menoleh dan memperhatikan Ciara berlari ke arahnya
"Ada apa?" tanya Achazia
"Kamu kenapa kok murung terus dari hari itu?"
Achazia menghela nafas
"Aku hanya punya masalah pribadi." ucapnya
"Kalau kamu mau kamu bisa cerita ke aku," tawar Ciara
"Makasih, Ra. Tapi aku ingin sendiri"
Achazia lalu pergi. Berjalan menuju asramanya. Dia lalu masuk ke kamar dan membaringkan badannya
"Apakah aku harus melupakannya?" ucap Achazia kepada dirinya sendiri
Dia lalu melihat foto nya berdua bersama Elvareon yang tertata rapi dibingkai. Dia bangkit dari kasur dan mengambilnya.
"Mungkin papa benar, aku harus melupakanmu"
Achazia ingin melempar foto itu ke lantai tapi hatinya tak tega. Dia tak berani melakukannya. Dia lalu menaruh kembali foto itu di atas meja lalu menangis.
Disisi lain Elvareon, fokus kepada perkulihannya. Membuang tentang Achazia dari pikirannya. Tugas dan praktikumnya membuat jadwalnya padat. Tak sempat lagi memikirkan Achazia. Bahkan terkadang tidak sempat menelpon kedua orang tuanya.
Saat selesai praktikum, sore itu Elvareon lalu pulang ke asramanya. Dia lalu melepaskan ranselnya dan berbaring di kasurnya
"Hari yang melelahkan"
Dia membuka ponselnya dan banyak nontifikasi dari grup WA nya. Semuanya berisi tugas. Bahkan grup itu tak pernah terlihat lagi oleh Elvareon.
Dia harus mengerjakan laporannya supaya tidak menumpuk. Dia lalu memaksa diri membuka laptop di meja belajarnya dan mulai mengerjakan laporan praktikum.
Sekilas, dia melihat fotonya berdua bersama Achazia. Dia menghiraukan foto itu lalu melanjutkan laporan praktikumnya.
Malam tiba, sudah pukul sembilan. Dia bahkan lupa untuk makan malam. Dia memakan apa yang ada hanya roti dan susu. Setelah tugas-tugasnya selesai, dia mematikan laptopnya dan segera tidur.
Pagi harinya, dia langsung bersiap-siap pergi ke kampus. Dia berjalan lalu bertemu Arvin yang baru saja turun dari mobil lalu mereka berjalan bersama ke kelas.
"Laporan praktikum mu sudah selsai?" tanya Arvin
"Sudah." ucapnya
"Waduh, aku satu laporan lagi belum. Aku tadi malam kecapean. Mana aku bantui mommy beres-beres rumah."
Elvareon hanya diam
Sesampainya dikelas, Arvin hanya pasrah karena laporannya tidak selesai. Dia diberi sanksi meriview jurnal terbaru sebanyak satu double polio.
"Hahhh. Tambah tugas lagi." ucapnya
Elvareon tertawa kecil. Ternyata laporan terbaik adalah laporannya Elvareon. Dengan jurnal terbaru dan pembahasan yang menarik. Dosen memberikan A+ kepada Elvareon. Dia lalu tersenyum senang karena bisa mencapai titik sejauh ini.
Di Lunaria Beauty Institute, Achazia yang mulai kembali fokus pada kuliah dan tugasnya. Dia bahkan tidak memikirkan Elvareon lagi karena banyaknya tugas.
"Achazia, nanti mau pulang bareng?" tanya Ciara
"Oh boleh" ucap Achazia sambil tersenyum
Saat perkuliahan selesai, Achazia dan Ciara pulang bersama. Kebetulan kost Ciara tidak jauh dari asramanya Achazia.
"Di asrama enak ga tinggalnya?" tanya Ciara
"Enak sih, tapi gak bisa sembarangan keluar masuk."
Ciara mengangguk. Wajar baginya karena asrama itu dibuatkan peraturan ketat supaya para gadis bisa lebih mandiri dan mengatur waktu.
Setelah beberapa menit berjalan bersama, Achazia masuk ke asramanya dan Ciara melanjutkan perjalananya ke kost.
Achazia membuka pintu kamarnya. Tak disangka dia kembali melihat amplop yang berisi tulisan tentang perasaanya terhadap Elvareon. Dia lalu menghiraukannya dan menyimpannya didalam laci lalu menguncinya.
Surat yang ingin dikirimnya selama ini namun tak sempat. Dia tahu pasti Brianna dan Kaivan tidak sempat mengirimkan surat itu karena mereka pasti juga memiliki banyak tugas dan praktikum.
Dia tidak mungkin memaksa temannya. Dia mengalihkan pikirannya dengan menonton film, mengulang pelajaran, dan mencoba teknik make up baru.
Awalnya gadis itu merasa sulit untuk melupakan Elvareon. Namun karena banyaknya tugas kuliah, dia jadi bisa menghilangkan Elvareon dari pikirannya walaupun perlahan. Tugas yang menumpuk membuatnya merasa kewalahan. Dia ingin semua tugas ini cepat selesai dan kembali lagi libur kuliah.
Hari demi hari berlalu, grup menjadi sepi tidak ada kabar. Elvareon mulai menghilangkan Achazia dari pikirannya. Achazia fokus pada kuliah tata riasanya. Dan pada akhirnya surat itu tak pernah sampai. Surat yang ditulis dari hati tak akan pernah sampai. Surat yang disimpan didalam laci mereka tak pernah lagi dibuka. Semua menjadi hilang begitu saja. Mungkinkah perasaan ini juga akan hilang?