Tanpa gaun putih, tanpa restu keluarga, hanya akad sunyi di balik pintu tertutup.
Aku menjalani hari sebagai pelayan di siang hari… dan istri yang tersembunyi di malam hari.
Tak ada yang tahu, Bahkan istri sahnya yang anggun dan berkelas.
Tapi apa jadinya jika rahasia itu terbongkar?
Saat hati mulai berharap lebih, dan dunia mulai mempertanyakan tempatku…
Istri Siri Om Majikan adalah kisah tentang cinta yang lahir dari keterpaksaan, tumbuh di balik status yang tak diakui, dan perjuangan seorang perempuan untuk tetap bernapas dalam cinta yang ia tahu tak pernah boleh ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27
Selama di luar negeri, hidup Jordan dipenuhi gemerlap kota, kesibukan bisnis, dan rapat-rapat tanpa jeda. Tapi di antara padatnya jadwal, dalam setiap malam yang hening di kamar hotel, pikirannya justru berkelana pada satu sosok yang tak lagi bisa disentuh.
Syifa Mutmainnah..
Perempuan sederhana yang dulu ia anggap hanya pelengkap hidup, pengisi sunyi, pemuas nafsu. Bukan siapa-siapa. Bukan istri di mata dunia. Tapi entah sejak kapan bayangannya tak bisa dihapus. Wajah lembutnya, mata yang selalu menunduk, suara lirihnya ketika menyuguhkan teh hangat, semua itu lebih mengusik dari suara dering ponsel atau tumpukan berkas di meja kerjanya.
Jordan menatap langit kota Buenos Aires dari jendela lantai tiga puluh. Hatinya kosong. Tangannya menggenggam foto Syifa yang diam-diam disimpannya di dompet.
“Kenapa aku baru ngerasa sesakit ini sekarang?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Tak ada yang menjawab. Tapi dadanya menjelma ruang sesak penuh sesal. Ia, yang dulu arogan dan tak pernah percaya cinta, kini justru hancur oleh perasaan yang dulu selalu ia anggap lemah.
Syifa yang pergi tanpa pamit. Syifa tak pernah menuntut apapun selain sedikit pengakuan.
Syifa yang mungkin kini berada entah di mana, membawa separuh jiwanya yang tersisa.
Di luar negeri, Jordan bisa punya segalanya. Tapi sejak kepergian perempuan itu, ia sadar, ternyata rumah bukan tempat yang punya atap dan dinding megah. Rumah adalah pelukan yang kini tak lagi bisa dirasakan.
Kepulangan Jordan malam itu seharusnya membawa senyum, bukan bara. Setelah dua bulan menempuh perjalanan bisnis lintas benua, akhirnya ia menginjakkan kaki kembali di rumah megah itu.
Lehernya masih pegal karena penerbangan panjang, tapi rindu dalam dadanya jauh lebih berat dari jet lag yang membekap tubuhnya.
Ia membayangkan wajah Syifa perempuan yang diam-diam sudah menjadi istrinya. Tatap matanya, senyumnya, tangan lembut yang selalu menyeduhkan teh hangat tiap malam, semua itu berputar di kepalanya sepanjang perjalanan pulang.
Dia ingin memeluk Syifa, ingin membisikkan rindu, ingin melihat perempuan itu tersipu malu seperti biasa. Namun yang menyambutnya justru hampa.
"Di mana Syifa?" tanyanya tanpa basa-basi saat masuk ruang tengah.
Seorang pelayan tua tertunduk, menjawab pelan, "Sudah pergi, Tuan Muda... dua bulan lalu."
Jordan berdiri kaku. Sorot matanya langsung tajam, rahangnya mengeras.
"Apa maksudnya pergi?" ulangnya, kali ini lebih tinggi.
"Tidak ada yang tahu, Tuan. Syifa pergi tanpa pesan," imbuh pelayan itu lirih.
Jordan menghempaskan koper ke lantai. Kepalanya menunduk, menggenggam rambutnya sendiri. Marah, bingung, tapi tak bisa bertanya lebih banyak karena tak ada seorang pun di rumah itu yang tahu siapa sebenarnya Syifa baginya.
Dia diam sejenak, lalu melangkah ke kamar atas. Di dalam kamar, dipeluknya bantal yang dulu dipakai Syifa. Masih ada wangi samar. Namun hatinya makin sesak karena tak tahu harus mencari kemana.
"Apa kalian usir dia?" serunya saat turun lagi ke ruang keluarga, menatap papinya dan maminya yang duduk santai.
Tuan Besar Julian hanya mengangkat alis. “Pelayan datang dan pergi, Jordan. Jangan bawa emosi ke rumah ini.”
“Dia bukan pelayan biasa,” ujar Jordan dingin.
Nyonya Laura tertawa sinis. “Kamu jangan bilang kamu masih mikirin dia. Sudah jelas siapa istrimu. Jangan buat malu keluarga.”
Jordan terdiam. Ingin rasanya berteriak, mengaku, menyebut Syifa itu sah di hadapan Tuhan walau tak pernah disahkan dunia. Tapi lidahnya kelu. Karena dia tahu, satu kata jujur bisa menghancurkan segalanya. Termasuk menghancurkan Syifa.
“Dia pergi karena kalian. Karena suasana rumah ini nggak pernah nerima dia,” ucap Jordan nyaris berbisik.
Tuan Julian meneguk kopi, lalu menatap tajam. “Kalau kamu masih sibuk urus pelayan itu, jangan harap warisan satu sen pun jatuh ke tanganmu.”
Jordan menatap ke jendela. Hujan turun perlahan. Dan dadanya ikut basah.
“Syifa... apa yang terjadi kepadamu? Kenapa kamu pergi? Apa ada yang menyakitimu?”
Suara itu keluar pelan, seperti bisikan yang tak benar-benar ditujukan untuk siapa pun. Tapi Jordan mengucapkannya sambil memeluk lutut, duduk di tepi ranjang yang kini terasa asing.
Ruangan itu sunyi, terlalu luas, terlalu dingin tanpa kehadiran perempuan yang biasanya duduk diam di pojok kamar sambil melipat bajunya, atau menyiapkan kopi tanpa diminta.
Ia menunduk. Telapak tangannya menutup wajah. Sesak napasnya tidak lagi teratur. Seolah sejak kepergian Syifa, semua hal berubah kacau.
Ia mencoba mencari aroma lembut yang dulu memenuhi kamarnya. Tapi yang ada hanya bau kayu tua dan debu yang tak dibersihkan dengan sepenuh hati.
Sejak Syifa pergi, tak ada lagi yang menyentuh tempat ini seperti dia menyentuhnya. Dengan sabar, tanpa banyak bicara, tapi meninggalkan kehangatan yang tak tergantikan.
“Kalau kamu marah... aku terima. Kalau kamu kecewa, aku paham,” katanya lirih, menatap ke jendela yang gelap.
Hujan rintik-rintik mengetuk kaca. Seolah langit pun tahu luka yang disimpannya malam itu.
“Aku cuma nggak sangka kamu ninggalin aku tanpa sepatah kata pun. Setidaknya, bilang kalau kamu lelah. Aku rela.”
Tangannya menggenggam sprei. Matanya menatap kosong pada pintu yang tak pernah diketuk lagi oleh Syifa.
“Kenapa nggak tunggu aku pulang, Syifa? Kenapa nggak percaya kalau aku akhirnya sadar, kamu bukan sekadar pelengkap. Kamu rumah, kamu napas, kamu satu-satunya yang bikin aku ngerasa jadi manusia.”
Diam, tak ada jawaban. Hanya suara detak jam yang makin menyakitkan.
Tanpa pernah ia bayangkan sebelumnya, rahasia yang selama ini dijaga rapat akhirnya terbongkar juga. Hubungan diam-diamnya dengan Syifa, pelayan pribadi yang telah mencuri hatinya, bukan lagi teka-teki. Kedua orang tuanya—Nyonya Besar Laura dan Tuan Besar Julian Atmadja—ternyata sudah mengetahui segalanya.
Malam itu, mansion yang biasanya tenang berubah menjadi arena perang kata. Ruang keluarga yang dipenuhi furnitur antik dan lukisan mahal mendadak terasa sesak. Tak ada pelayan di sekitar, bahkan Cassandra pun tak tampak. Hanya mereka berlima—Jordan, mami Laura, papi Julian, serta kedua adiknya Jayden dan Jonathan yang duduk diam, menjadi saksi ketegangan yang tak bisa dihindari.
“Apa kamu pikir kami buta, Jordan?” seru mami Laura. “Semua gerak-gerikmu selama ini kami perhatikan. Jangan kira kami nggak tahu siapa Syifa sebenarnya!”
Jordan menatap ibunya tajam, matanya merah menahan letupan. “Kalau memang sudah tahu, kenapa baru sekarang kalian bicara?”
Tuan Besar Julian berdiri dari kursinya, membanting koran ke meja. “Karena kami masih berharap kamu sadar! Masih ada waktu buat balik ke jalan yang benar.”
Jayden memejamkan mata, menunduk. Jonathan menggenggam jemarinya sendiri, tak berani menatap siapa pun.
“Syifa bukan perempuan sembarangan, Pi... Mi...” suara Jordan nyaris pecah. “Dia lebih baik dari siapa pun yang pernah kalian kenalkan padaku. Termasuk Cassandra.”
“Jangan sebut-sebut nama istrimu seolah dia nggak berarti!” bentak maminya. “Kamu tahu betul pernikahan kalian disaksikan ribuan tamu. Apa kamu mau bikin malu keluarga?”
Jordan menatap lantai, bahunya naik turun. “Yang kalian sebut istri itu nggak pernah aku sentuh, Mi. Bahkan aku nggak pernah cinta sama dia.”
“Kalau begitu kenapa kamu nikahi Cassandra, hah?!” tegas papinya. “Kamu pikir pernikahan cuma permainan bocah?”
Jordan mengatupkan bibirnya. Tak ada jawaban. Ia ingin jujur, ingin bicara bahwa Syifa adalah satu-satunya yang menghidupkan hari-harinya. Tapi ia tahu, kejujuran di rumah ini bisa jadi bumerang.
“Kamu main belakang, kamu nodai nama besar Atmadja,” ucap papi Julian lagi. “Kalau kamu tetap bela perempuan itu, siap-siap kami cabut semua hakmu. Termasuk posisi di perusahaan.”
“Silakan,” katanya lirih. “Asal jangan larang aku cari Syifa.”
“Dia sudah pergi, Jordan,” sahut maminya dingin. “Pergi karena dia sadar, tempatnya bukan di sini.”
Hati Jordan tercekat. Napasnya berat. Ia menoleh ke Jayden dan Jonathan, berharap ada pembelaan, tapi keduanya tetap diam.
“Kalau dia nggak layak, kenapa aku bisa jatuh cinta?” gumamnya.
Tak ada yang menjawab. Hanya gemuruh di dada yang terus memukul tanpa ampun.