Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Langit malam tampak bersih, tak berawan. Di dalam istana, suasana seolah tenang. Namun di balik tembok dan lorong-lorong yang membentang, denyut ketegangan sudah mulai terasa.
Qianru berdiri di balik tirai kamarnya, memandang taman bunga yang tampak damai. Rui Lan berdiri di belakangnya dengan wajah khawatir.
"Semua sudah diatur?" tanya Qianru tanpa menoleh.
Rui Lan mengangguk. "Prajurit Jenderal Mo sudah menyamar sebagai pelayan dan penjaga malam. Mereka menunggu perintahmu."
Qianru menarik napas dalam-dalam. "Malam ini, istana akan dibersihkan dari ular-ular berbisa."
Tengah malam, tepat ketika lonceng berdentang satu kali, pasukan rahasia bergerak. Mereka menyusuri lorong-lorong kecil dan menempati titik-titik penting, dapur utama, ruang penyimpanan senjata, dan kediaman para bangsawan yang dicurigai terlibat.
Di kediaman Permaisuri, belasan orang bersenjata sudah bersiaga. Permaisuri Mei sedang duduk membaca kitab doa ketika pintu kamarnya didobrak.
"Apa arti semua ini!?" pekiknya marah.
Kepala Keamanan Istana maju dan membentangkan surat perintah Kaisar.
"Permaisuri Mei dan keluarganya ditahan atas tuduhan makar."
Adik Permaisuri, Mei Zhiang, mencoba melawan, tapi anak panah menancap di lengannya sebelum ia sempat mencabut pedang.
Sementara itu, Qianru dan Jenderal Mo memimpin penggeledahan ke ruang kerja Perdana Menteri Huo. Di balik rak buku yang tampaknya biasa, ditemukan sebuah ruangan tersembunyi.
Di dalamnya ada tumpukan dokumen, peta-peta strategi militer yang berasal dari wilayah Selatan, serta surat pribadi dari Pangeran Li Yuan.
“Pengkhianatannya lengkap,” gumam Jenderal Mo.
“Dan semua ini cukup untuk menggantungnya di gerbang istana,” kata Qianru dingin.
Pagi harinya, seluruh istana gempar. Permaisuri dan keluarganya ditahan. Perdana Menteri Huo dicopot dan dipenjara. Kaisar memimpin langsung sidang istana.
“Banyak dari kalian berpikir bisa menyelundupkan pengaruh musuh ke dalam tembok istana. Tapi malam tadi, keadilan menutup mulut ular,” ucap Kaisar dengan suara lantang.
Bangsawan-bangsawan yang sebelumnya meremehkan Qianru kini menunduk. Beberapa bahkan jatuh berlutut, memohon ampun karena pernah ikut mendukung pengkhianat.
Setelah fajar menyingsing, istana terasa berbeda. Udara terasa lebih ringan. Para pelayan bisa bernapas lega, para penjaga tidak lagi tegang.
Qianru duduk di taman, ditemani Kaisar.
“Kau telah menyelamatkan istana ini dua kali,” ucap Kaisar.
Qianru menatap langit. “Tapi perang yang sesungguhnya belum datang.”
Kaisar mengangguk pelan. “Dan kau akan tetap di sisiku ketika itu tiba.”
Qianru berdiri, angin menerbangkan ujung jubahnya yang berwarna biru tua.
“Satu demi satu mereka tumbang. Tapi aku tahu... musuh sejati masih menunggu di luar tembok istana.”
Ia mengangkat kepalanya dengan tatapan tajam.
“Biar mereka datang. Karena Qianru yang lama sudah mati. Yang tersisa hanya seorang wanita yang tahu caranya bertarung dan menang.”
Beberapa hari berlalu Pagi ini sebuah gulungan sutra merah diserahkan ke tangan Kaisar. Duta dari perbatasan tiba dengan wajah muram dan tubuh berlumuran debu perjalanan jauh.
“Kaisar Agung, pasukan Selatan telah bergerak. Mereka melewati Sungai Zhen dan mulai mengepung kota Yichuan,” lapor sang duta sambil berlutut.
Ruangan sidang sunyi. Para pejabat yang selama ini berseteru terdiam, menyadari bahwa ancaman perang besar benar-benar datang.
Kaisar menoleh pada Jenderal Mo dan Qianru yang berdiri di sisi kirinya. “Saatnya kita bersiap.”
Di ruang strategi yang kini menjadi pusat kendali istana, Qianru berdiri di depan peta besar. Tangannya menunjuk jalur-jalur logistik, titik-titik serangan, dan lokasi pasukan musuh.
“Mereka bukan hanya ingin menyerang kota, tapi juga memutus suplai utama ke istana,” ujarnya.
“Kita tak bisa menunggu mereka mendekat,” kata Jenderal Mo.
Qianru mengangguk. “Kita serang lebih dulu. Tapi bukan lewat kekuatan. Kita potong akarnya—pengkhianat yang memberi informasi dari dalam wilayah kita.”
Qianru menyamar sebagai pedagang herbal bersama Rui Lan dan dua pengawal setia. Mereka menuju desa kecil bernama Xiangwu yang mencurigakan karena mendadak berkembang pesat—dengan senjata tersembunyi di balik lumbung dan gudang garam.
Di sana, mereka menemukan bukti: surat rahasia dari Pangeran Li Yuan, peta jalur suplai, dan daftar mata-mata.
Qianru berdiri di antara kotak-kotak senjata, matanya menyipit. “Ini bukan hanya rencana perang. Ini adalah kudeta yang belum selesai.
Setelah kembali dengan bukti lengkap, Qianru segera menyerahkan semuanya ke Kaisar. Maka dikeluarkanlah titah, semua pengkhianat yang terlibat di desa Xiangwu dan wilayah sekitar akan ditangkap.
Pasukan bergerak cepat. Dalam tiga hari, 12 orang dieksekusi, dan jaringan mata-mata hancur.
Namun di balik kemenangan itu, Qianru tahu sesuatu masih mengintai. Terlalu rapi. Terlalu mudah.
“Mereka mengorbankan jaringan palsu untuk menutupi rencana yang lebih besar,” katanya pada Kaisar saat malam.
Kaisar memandang jauh ke luar balkon. “Dan kau percaya akan ada serangan langsung?”
Qianru menatapnya dalam. “Saya yakin, dan saya ingin pergi ke garis depan.
Meskipun awalnya ditolak, Qianru akhirnya diberi izin oleh Kaisar untuk memimpin pasukan rahasia bersama Jenderal Mo ke perbatasan.
Dengan pakaian perang berwarna hitam dan lambang istana di dada, Qianru berdiri di atas kudanya, memandang ribuan pasukan yang berkumpul.
“Jika ini adalah ujian terakhir bagi negeri ini, maka biarlah aku berdiri di barisan pertama,” katanya lantang.
Malam itu, Qianru tidur bukan di ranjang empuk istana, melainkan di tenda kecil dengan angin gurun yang berdesir menusuk tulang.
Namun tatapan matanya tetap tegas, jiwanya tetap menyala.
“Aku datang dari masa depan. Aku pernah mati sekali. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun—termasuk penguasa dari Selatan—menghancurkan dunia ini yang telah ku perjuangkan.”
...----------------...
Keesokan harinya
Kota Yichuan kini menjadi titik panas yang menentukan nasib seluruh negeri. Dari balik bukit, Qianru mengamati gerakan pasukan musuh. Bendera Selatan berkibar, dan barisan pasukan Pangeran Li Yuan tampak teratur dan siap menyerbu.
“Pasukan mereka terlatih, tapi terlalu percaya diri,” ujar Qianru pada Jenderal Mo yang berdiri di sampingnya.
Mo mengangguk. “Kau punya rencana?”
Qianru menunjuk sungai kecil yang membelah hutan di sisi timur kota. “Kita serang dari sana. Tapi kita harus menyamar, dan mengalihkan perhatian mereka ke barat.”
Qianru kembali mengenakan pakaian rakyat jelata. Ia memimpin sendiri 20 pasukan elit untuk menyusup ke kamp Selatan di malam hari.
Dengan keberanian luar biasa, ia dan pasukannya menyelinap ke dalam tenda logistik utama. Di sana, ia menemukan sesuatu yang mencengangkan—dokumen strategi lengkap dari Pangeran Li Yuan.
Namun belum sempat mereka keluar, alarm dibunyikan.
“Kita dikhianati!” seru salah satu pengawal Qianru.
Pasukan musuh mengepung. Qianru bertarung dengan gigih. Ia menari dengan pedang seperti bayangan, tubuhnya lentur namun tajam seperti cambuk naga.
Dengan taktik cepat, Qianru memerintahkan pasukannya membakar tenda logistik sebelum kabur ke sungai.
Saat mereka menyeberang, panah meluncur dari balik pepohonan. Salah satu prajurit terkena dan jatuh. Qianru melompat ke sungai, menariknya, walau dirinya sendiri tertusuk anak panah di lengan.
Dengan gigih, mereka kembali ke kamp utama.
“Berhasil,” kata Qianru terengah-engah sambil melemparkan dokumen pada meja Jenderal Mo.
Mo terdiam sejenak, kemudian tertawa kecil. “Kau benar-benar bukan wanita biasa, Qianru.”
Kabar keberhasilan Qianru menyusup dan membakar logistik musuh sampai ke telinga Kaisar. Dalam waktu singkat, pasukan khusus dikirim langsung dari ibu kota untuk menyerbu saat pasukan Selatan melemah.
Qianru diminta memimpin serangan malam ke benteng utama musuh.
Sebelum berangkat, ia menulis surat untuk Kaisar.
“Jika malam ini adalah akhir hidupku, maka biarlah sejarah mencatat bahwa aku mati bukan sebagai selir, tapi sebagai prajurit yang menjaga negerinya.”
Di bawah hujan deras, pasukan Qianru menyerbu. Kilat menyambar langit, dan suara senjata beradu menggema. Qianru berada di garis depan, tubuhnya penuh lumpur dan darah, namun langkahnya tak gentar.
Ia berhasil menembus benteng, melumpuhkan penjaga, dan membuka gerbang utama.
Pasukan gabungan masuk dan mengepung pasukan Selatan yang tersisa.
Pangeran Li Yuan melarikan diri dalam kekacauan, namun tertangkap oleh pasukan utara keesokan paginya.
Fajar menyingsing di atas medan perang yang kini sunyi. Qianru berdiri di atas menara pengawas benteng musuh, angin meniup rambut panjangnya.
“Mereka mengira aku hanya wanita tak berdaya dari masa lalu. Tapi di dunia ini, aku memilih menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya—seorang wanita dengan kehendak.”
Bersambung