Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Mayat yang duduk di sudut ruangan
Varania meninggalkan satu kepala ayam mainan di setiap pintu yang di lewati. Sudah enam pintu yang ia buka, tapi ia bahkan belum menemukan makam satupun. Pintu-pintu itu seolah tidak ada habisnya.
“Ini memang labirin. Tapi, untuk apa tempat pemakaman di bangun se-rumit ini?” Gumam Varania, ia mulai takut. Ruangan yang awalnya biasa, semakin ia menyusuri dan masuk ke setiap pintu, semakin lembab.
Lagipula sebuah pemakaman bukankah seharusnya dibangun sesederhana mungkin? Bisa di temukan dengan mudah, bisa di datangi para penziarah, begitulah adanya dalam buku yang Varania baca. Tapi di Ravenswood semuanya berbeda, pemakaman tidak boleh di datangi oleh siapapun termasuk oleh keluarga yang ingin berziarah.
Varania menghirup lagi oksigen portabelnya lalu membuka pintu selanjutnya.
Kejanggalan disini semakin membuat Varania meyakini satu hal; kutukan itu bukan kutukan biasa. Ada seseorang atau mungkin sesuatu yang lain yang mengatur semua ini.
Pintu ketujuh yang ada di bawah tanah terbuka lebar, senter tiba-tiba saja mati. Varania menghela nafas panjang untuk menenangkan diri.
Ia melangkah ke dalam ruangan bawah tanah yang gelap dan pengap itu, dengan hati yang berdebar-debar. Ia merasa seperti sedang memasuki dunia lain, tempat di mana cahaya dan harapan sepertinya tidak ada.
Ia menyalakan kembali senternya yang beberapa saat lalu sempat mati, tetapi cahaya yang dipancarkan tidak cukup untuk menerangi ruangan yang luas. Bayangan-bayangan di dinding terlihat seperti bergerak sendiri, membuat dia merasa tidak nyaman.
Varania melangkah lebih dalam ke dalam ruangan, dengan suara langkah kakinya yang bergema pelan. Ia merasa seperti sedang diikuti oleh sesuatu, tetapi setiap kali ia menoleh ke belakang, tidak ada apa pun di sana.
Tiba-tiba, ia mendengar suara gemuruh yang tidak jelas dari kejauhan. Suara itu semakin keras dan semakin dekat, membuatnya merasa takut. Ia berhenti melangkah dan menahan napas, menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun, suara itu tiba-tiba berhenti, meninggalkan keheningan yang lebih menakutkan daripada suara itu sendiri. Ia merasa seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Varania mengarahkan cahaya senternya ke sekeliling. Lantai tanah yang lembab, lumut dan bau apek yang menyengat. Lantainya datar, tak ada batu nisan apalagi gundukan tanah.
Ia terus melangkah hingga sampai di sebuah pintu lain. Sedikit berbeda. Ia memindahkan senter ke tangan kiri, lalu tangan kanannya mengusap daun pintu berwarna coklat tua itu dengan.
Krieet...
Ia mendorong pintu itu dengan hati-hati, dan pintu itu terbuka dengan suara berderit yang pelan. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan yang lebih kecil dan lebih gelap daripada ruangan sebelumnya.
Di dalam ruangan itu, ia menemukan sebuah meja tua yang terbuat dari kayu, dengan beberapa dokumen dan buku yang tersebar di atasnya. Dia melihat bahwa dokumen-dokumen itu terlihat seperti catatan-catatan rahasia, dengan kode-kode dan simbol-simbol yang tidak dapat dipahami.
Tiba-tiba, dia menemukan sebuah buku harian yang terbuka di atas meja, dengan tulisan tangan yang terlihat seperti milik seseorang yang sudah lama tidak menulis. Dia membaca beberapa kalimat yang tertulis di dalamnya, dan merasa seperti sedang membaca rahasia-rahasia yang tidak seharusnya diketahui.
Dia merasa seperti telah memasuki dunia yang tidak seharusnya dimasukinya, dan bahwa dia harus segera meninggalkan ruangan itu sebelum terlambat. Namun, rasa ingin tahunya membuatnya tetap ingin membaca lebih banyak.
Varania mencoba memahami, sayangnya tulisan itu ditulis dalam bahasa asing yang tidak ia mengerti.
“Apa ini semacam doa?” Gumam Varania menerka-nerka, ia mengedarkan pandangannya dan berhenti di suatu titik di sudut ruangan.
Seseorang duduk menyandar ke dinding, matanya terpejam, tangan terlipat di atas perut dan kulitnya pucat ke unguan.
Varania perlahan melangkah mundur. Yang duduk itu adalah Jenazah bapak yang meninggal malam kemarin.
Dia duduk di sudut ruangan seperti orang yang kelelahan, kecuali fakta kulitnya yang sudah mulai berubah ke fase pembusukan, dia benar-benar terlihat seperti manusia yang sedang beristirahat dalam rumahnya.
...***...