Celine, seorang wanita pekerja keras, terpaksa menikah dengan Arjuna—pria yang bekerja sebagai tukang sapu jalanan untuk menghindari perjodohan. Selama pernikahan, Arjuna sering diremehkan dan dihina, bahkan oleh keluarga istrinya sendiri. Tapi siapa sangka, di balik penampilan sederhananya, Arjuna menyimpan identitas dan kekayaan yang luar biasa. Saat rahasia itu terbongkar, kehidupan mereka pun berubah drastis, dan mulailah babak balas dendam yang elegan dan penuh drama.
Siapakah Arjuna sebenarnya? dan apa yang akan terjadi jika semua orang mengetahui identitas Aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27
"Maksudnya?" Celine menatap bingung.
"Tidak ada." Arjuna mengusap kepala Celine lembut.
"Jangan dipikirkan lagi. Kamu tidak pantas bersedih untuk mereka" lanjutnya.
Celine mengangguk pelan, "Maafkan aku. Aku..... sudah membawamu ke dalam masalah ini. Sekarang aku malah menjadi beban untukmu" Ucap Celine merasa bersalah.
Arjuna tersenyum tipis, "Kamu bukan beban. Kamu adalah hidup yang akan aku perjuangkan. Terimakasih karena selalu berada di sampingku" jawabnya lembut.
Celine tersenyum dan keduanya saling menatap penuh cinta. Entah sejak kapan rasa nyaman itu hadir, tapi Celine merasa bahagia saat berada di dekat Arjuna.
...****************...
Keesokan paginya. Suasana kantor PT Wijaya Grup hari itu tegang. Para karyawan berbisik-bisik, menatap pintu ruang direksi dengan tatapan cemas dan penasaran. Kabarnya, akan ada pengambilalihan besar-besaran. Tapi siapa pemilik baru yang misterius itu, tak ada yang tahu.
Bagas, adik tiri Celine, berdiri di depan cermin kecil di ruangannya. Jasnya rapi, rambutnya disisir ke belakang. Ia yakin dirinya akan mendapat jabatan lebih tinggi. Sudah berbulan-bulan dia menjabat sebagai direktur sementara sejak Celine diusir dari rumah. Ia merasa pantas. Lagi pula, siapa lagi yang bisa?
Tiba-tiba, pintu ruang Bagas terbuka lebar. Sekretaris masuk tergesa.
“Pak Bagas, semua direksi diminta berkumpul di ruang rapat utama. Pemilik baru akan datang langsung.”
Bagas mengernyit. “Pemilik baru? Maksudmu, perusahaan ini sudah dijual?”
Sekretaris menunduk. “Saya tidak tahu detilnya, Pak. Tapi semua sudah berkumpul.”
Dengan wajah tak percaya, Bagas melangkah menuju ruang rapat. Pikirannya berputar. Siapa yang berani membeli perusahaan ini? Kenapa tanpa sepengetahuannya? Bukankah ia orang penting di sini?
Saat ia masuk ke ruang rapat, semua mata menoleh. Kursi besar di ujung meja masih kosong. Beberapa menit kemudian, suara langkah pelan tapi tegas terdengar dari luar.
Semua kepala menoleh. Sosok pria sederhana dengan kemeja putih bersih dan celana hitam masuk dengan tenang. Tidak ada jas mahal, tidak ada rombongan bodyguard.
Bagas ternganga. “Arjuna?”
Para direksi menatap bingung, lalu ke arah Bagas, lalu ke pria yang baru datang.
Arjuna menatap lurus ke arah Bagas, lalu duduk di kursi utama.
“Saya Arjuna, pemilik baru dari PT Wijaya Grup” katanya, suaranya tenang, tapi setiap kata seperti pisau yang menusuk langsung ke dada Bagas.
Ruangan langsung senyap. Bagas tertawa miris, mencoba menguasai situasi. “Kau bercanda? Kau ini... suami kakakku! Tukang sapu! Apa-apaan ini?”
Arjuna tak menjawab. Ia hanya meletakkan map di atas meja. Logo hukum dan tanda tangan notaris menghiasi halaman depan dokumen itu. Jelas dan sah.
“Saham perusahaan ini telah saya beli 78%-nya. Artinya, saya pemegang saham mayoritas. Mulai hari ini, saya yang berkuasa penuh atas seluruh keputusan perusahaan.”
Bagas berdiri dengan wajah memerah. “Kau tak punya hak! Ini perusahaan keluargaku! Ayahku membangunnya dari nol!”
Arjuna memandangi Bagas dengan tenang. “Ayahmu menjual sebagian besar saham untuk menutup utang. Dan sebagian saham lainnya... diam-diam dijual oleh investor luar yang kamu abaikan dalam laporanmu. Kau terlalu sibuk pamer, Bagas, sampai tidak sadar perusahaannya sedang sekarat.”
Keringat dingin mengalir di pelipis Bagas. Ia ingat, beberapa bulan terakhir memang banyak pemotongan anggaran, kerjasama gagal, bahkan beberapa proyek mangkrak. Tapi ia mengira semua akan baik-baik saja. Ternyata...
"Gak..... ini gak mungkin. Kamu? Siap kamu sebenarnya? Kenapa sekarang kamu bisa membeli saham perusahaan ini?" tanya Bagas penuh emosi.
"Kamu tidak perlu siapa aku. dan aku juga tidak akan mengatakan siapa aku, Bagas"
Arjuna berdiri.
“Bagas, sebagai pemilik baru dan direktur utama, saya memecatmu. Efektif mulai sekarang. Kau sudah menyalahgunakan dana operasional dan membuat reputasi perusahaan hancur dengan arogansimu.” Lanjutnya.
Bagas mendelik. “Kau tak bisa melakukan ini padaku! Kau cuma... mantan tukang sapu! Kau bukan siapa-siapa!”
Salah satu direksi menyela, “Pak Bagas, mohon tenang. Semua dokumen hukum lengkap. Kami sudah cek. Dan... jujur saja, performa Anda selama ini memang banyak dikeluhkan.”
Bagas terduduk. Matanya mulai memerah. Ia menatap Arjuna dengan pandangan yang penuh dendam.
“Ini pembalasan, ya? Karena aku sering meremehkanmu? Karena ibu ku memperlakukanmu seperti sampah?”
Arjuna menghela napas. “Ini bukan pembalasan. Ini keputusan bisnis. Tapi kalau kau ingin menyebut ini karma... silakan.”
Seketika, Bagas bangkit dan pergi dari ruang rapat dengan wajah hancur.
---
Sore harinya, Celine baru saja selesai dari minimarket untuk berbelanja. ponselnya berdering.
“Celine, kamu tahu apa yang suamimu lakukan?! Dia... dia membeli perusahaan keluarga kita! Dan memecatku di depan semua orang!” suara Bagas meledak-ledak.
Celine terdiam di ujung telepon. Ia tak tahu harus menjawab apa. Dia terlihat bingung dengan apa yang adik tirinya itu ucapkan.
“Bagas, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan?" tanya Celine.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Arjuna itu sebenarnya orang kaya. Sekarang semuanya sudah hancur. itu semua karena Arjuna" Bagas menyalahkan Arjuna di balik kehancurannya.
"Bagas. Bukankah perusahaan itu sudah akan bangkrut di bawah pimpinan kamu?"
"Alah.... Ini semua rencana kamu bukan? Kamu menyimpan uang dan menyuruh Arjuna melakukan ini kan?" tuduh Bagas.
"Arjuna itu pria sampah. Dia miskin dan tidak berpendidikan. Ini pasti ada campur tanganmu" tuduhnya lagi.
"Kamu terlalu meremehkan, Bagas. Jika itu hasil kerja kerasnya, kamu tidak bisa menyalahkan orang lain" Seka Celine tetap membela. Walau pun ia sendiri merasa bingung dengan situasi ini.
“Tentu saja aku meremehkannya! Dia tukang sapu! Mana mungkin dia punya uang sebanyak itu?!”
Celine menutup mata, menahan napas.
“Bagas, berhentilah menyalahkan dan menghina orang lain. Kamu memang tidak pernah belajar dari kesalahan"
Setelah menutup telepon, Celine pulang dengan langkah berat. Di rumah, Arjuna sedang duduk santai di teras, menyeruput teh.
“Kamu membelinya... perusahaan keluargaku? Siapa kamu sebenarnya?,” Celine berkata pelan. Menatap Suaminya menuntut penjelasan.
Arjuna menoleh, menatap mata istrinya.
.
.
.
Bersambung.