Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:
"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."
Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"
Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
Naruto memperhatikan wajah Yuigahama dengan saksama. Ada keraguan di sana, ada ketakutan yang samar tapi jelas. Matanya berkedip cepat, seolah mencoba menyusun jawaban yang tepat, namun yang keluar dari bibirnya justru hanya keheningan.
Naruto menghela napas pelan. Ia tahu, menerima perasaannya bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan begitu saja oleh Yuigahama. Keraguan itu wajar. Dia telah menghabiskan begitu banyak waktu mengejar seseorang yang mungkin tak pernah menoleh padanya. Sekarang, tiba-tiba seseorang menawarkan dirinya untuk menggantikan posisi itu. Tentu saja itu menakutkan.
Namun, Naruto tidak mundur. Dengan lembut, ia berkata, “Aku tidak akan memaksamu untuk langsung percaya padaku. Aku tahu ini tiba-tiba… tapi satu hal yang ingin kau ingat—perasaanku ini tulus.”
Yuigahama mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang sedikit membesar. Naruto tidak menundukkan pandangannya.
“Aku tidak mengatakannya karena kasihan atau karena aku ingin membuatmu merasa lebih baik. Aku mengatakannya karena aku memang menginginkannya,” lanjutnya dengan nada yang tenang, penuh kepastian.
Yuigahama menggigit bibirnya. “Tapi… bagaimana kalau aku tidak bisa membalasnya?”
Naruto tersenyum, bukan senyum yang penuh kemenangan, tapi senyum yang tulus dan hangat. “Kalau itu terjadi… tidak apa-apa.”
Yuigahama terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ini bukan sesuatu yang bisa ia jawab dalam sekejap, tapi untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tak mencoba menariknya ke arah tertentu. Seseorang yang hanya ada di sana… untuknya.
Air mata Yuigahama jatuh tanpa bisa dia kendalikan. Selama ini, dia selalu menahan perasaan itu—rasa sakit, kesepian, dan ketidakpastian yang terus menghantuinya. Tapi sekarang, seolah ada sesuatu yang menghangatkan hatinya, membalut luka yang selama ini dia sembunyikan di balik senyumnya yang ceria.
Tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak sendiri. Tangannya terulur, meraih Naruto, memeluknya erat seakan dia adalah satu-satunya tempat berlindung yang tersisa. Napasnya gemetar, dadanya naik turun dengan cepat, sementara tubuhnya sedikit bergetar.
Naruto tidak bergerak, tidak mengatakan apa pun. Dia hanya membiarkan Yuigahama mencurahkan segalanya—tanpa terburu-buru, tanpa memaksa. Dia bisa merasakan betapa rapuhnya gadis itu di balik topeng keceriaannya, betapa banyak hal yang selama ini dia tahan sendirian.
Yuigahama menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan yang keluar dari tenggorokannya. Tapi semakin dia berusaha menahannya, semakin sulit rasanya. “Bodoh…” ucapnya lirih di bahu Naruto. “Kenapa… kenapa kau harus mengatakan hal seperti itu…?”
Naruto tersenyum kecil, tangannya akhirnya terangkat, dengan lembut menepuk punggung Yuigahama. “Karena aku ingin kau tahu… kau tidak sendirian.”
Kata-kata itu membuat Yuigahama menggenggam bajunya lebih erat, seolah takut Naruto akan menghilang begitu saja. Tapi dia tidak pergi. Dia tetap di sana, tetap bersamanya, tetap menjadi tempatnya bersandar.
Untuk pertama kalinya, Yuigahama merasa bahwa mungkin, hanya mungkin… ada seseorang yang benar-benar melihatnya apa adanya.
Naruto hanya menatap Yuigahama dengan ekspresi yang sulit ditebak. Angin sore bertiup lembut, membawa ketenangan setelah momen yang begitu emosional. Mata Yuigahama, yang semula penuh dengan kesedihan, kini kembali bersinar, meski masih ada sedikit bekas air mata di pipinya. Namun, kali ini, senyumnya terasa lebih jujur, lebih tulus—tanpa kepalsuan yang biasa dia tunjukkan.
“Kau harus bertanggung jawab,” ujarnya, nada suaranya lebih ringan, meski masih ada sisa keterharuan di sana.
Naruto mengangkat satu alis. “Tanggung jawab?”
Yuigahama mengangguk mantap. “Tentu saja! Kau sudah membuat seorang gadis menangis, jadi kau harus bertanggung jawab!”
Naruto mendesah pelan, tetapi bibirnya membentuk senyuman samar. “Baiklah, baiklah… Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?”
Yuigahama menatapnya sejenak, lalu dengan wajah yang masih sedikit memerah, dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum akhirnya berkata, “Mulai sekarang, kau tidak boleh mengabaikanku lagi.”
Naruto menatapnya dalam diam, lalu akhirnya mengulurkan tangannya, menepuk pelan kepala Yuigahama. “Aku tidak pernah berpikir untuk mengabaikanmu sejak awal.”
Yuigahama sedikit terkejut, tetapi kemudian dia hanya tersenyum, membiarkan perasaan hangat itu mengisi hatinya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa jauh lebih ringan—seolah beban yang selama ini menghimpit dadanya perlahan mulai menghilang.
Lalu Naruto bertanya pada Yuigahama," neh Yudi, jika aku harus menyelamatkan orang lain terlebih perempuan apa kau akan keberatan?"
Yuigahama menatap Naruto dengan sedikit kebingungan, tetapi dia bisa merasakan keseriusan di balik pertanyaan itu. Angin sore kembali berhembus, membuat rambut jingga-oranye miliknya sedikit berkibar. Dia mengalihkan pandangannya sejenak, berpikir sebelum menjawab.
“Kalau kau bertanya begitu…” Yuigahama menggigit bibirnya, lalu menghela napas pelan. “Aku tidak akan keberatan.”
Naruto menatapnya dengan sedikit terkejut. “Benarkah?”
Yuigahama mengangguk, meski ada sedikit keraguan dalam matanya. “Aku tahu siapa dirimu, Naruto. Kau bukan tipe orang yang bisa diam saja ketika seseorang membutuhkan bantuan, apalagi jika itu seorang perempuan.”
Dia tersenyum kecil, meskipun ada sedikit kesedihan yang terselip di sana. “Aku akan berbohong kalau bilang aku tidak akan cemburu… tapi aku juga tidak ingin menjadi seseorang yang menghalangimu melakukan apa yang menurutmu benar.”
Naruto diam sejenak, lalu menghela napas pelan. “Kau lebih kuat dari yang kau pikirkan, Yui.”
Yuigahama tertawa kecil, meski tawanya terdengar sedikit getir. “Mungkin, tapi aku juga masih egois. Jika kau sampai terlalu jauh dan membuatku merasa diabaikan… aku pasti akan marah.”
Naruto tersenyum samar. “Baiklah, aku akan mengingat itu.”
Yuigahama menatapnya, lalu tersenyum lebih tulus. “Ingat itu baik-baik, ya.”
Naruto membalas dengan baiklah, lalu Naruto berkata "sekarang, kau ingin hubungan kita transparan atau hanya kita yang tahu?"
Yuigahama terdiam sejenak, wajahnya sedikit memerah. Dia menundukkan kepalanya, memainkan ujung rambutnya dengan jari, jelas sedang berpikir serius tentang pertanyaan Naruto.
“Kalau kita bicara soal itu…” Dia menghela napas pelan, lalu menatap Naruto dengan sedikit ragu. “Aku tidak tahu. Maksudku… aku tidak ingin menyembunyikan sesuatu yang penting, tapi di sisi lain…”
Dia menggigit bibirnya, matanya menerawang. “Aku takut. Kalau orang lain tahu, mungkin segalanya akan berubah… dan aku belum siap untuk itu.”
Naruto mengamati ekspresinya dengan tenang sebelum mengangguk. “Jadi, untuk sekarang… cukup kita saja yang tahu?”
Yuigahama tersenyum tipis, terlihat sedikit lega. “Ya… setidaknya sampai aku benar-benar siap.”
Naruto mengulurkan tangannya, mengacak rambut Yuigahama dengan lembut. “Baiklah, kita akan melakukannya dengan cara yang membuatmu nyaman.”
Yuigahama menatap Naruto dengan mata yang berkilau, senyumnya kali ini lebih lembut dan penuh kehangatan. Dia menggenggam jemarinya sendiri, seolah mencoba menenangkan perasaan yang masih menghangat di dadanya.
"Terima kasih…" dia berhenti sejenak, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Untuk semuanya."
Naruto mengangkat alis, masih belum puas dengan jawaban itu. "Itu terlalu luas, Yui. Maksudku, terima kasih untuk apa?"
Yuigahama menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan lebih dalam. "Untuk tidak mengabaikan perasaanku. Untuk tidak membiarkanku terus berlari tanpa arah. Untuk membuatku merasa… cukup."
Naruto terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap. Dia bukan orang yang terbiasa dengan momen seperti ini, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang hangat di dadanya saat mendengar itu.
Dia akhirnya tersenyum kecil. "Kalau itu alasannya… aku tidak butuh terima kasih."
Yuigahama tersenyum kembali, lalu dengan cepat memukul lengannya pelan. "Tetap saja, aku mau mengatakannya."
Naruto hanya tertawa kecil. "Baiklah, kalau itu yang kau mau."