Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Situasi Yang Begitu Berat
Ayla melangkah mantap memasuki gedung perusahaan megah itu, keberanian terpancar dari gerak kakinya meski hatinya tak setenang biasanya. Seperti hari-hari sebelumnya, pegawai lain menyapanya ramah saat ia melewati lorong menuju ruangannya. Ia membalas semua sapaan itu dengan senyum tulus, meski dalam hatinya hanya dia yang tahu—mungkin inilah hari terakhir ia menapakkan kaki di perusahaan ini.
Dari arah samping, terdengar suara yang amat familiar di telinganya. “Ayla!” panggil seseorang. Ia menoleh dan mendapati dua sahabatnya, Nadya dan Fira, menghampirinya. Tanpa bisa dicegah, matanya terasa panas, tapi ia cepat mengedip untuk menyamarkan kesedihan yang nyaris tumpah.
Sesampainya mereka di dekat Ayla, Nadya segera bertanya, “Bagaimana kabar adikmu?” tanyanya dengan antusias kepada sahabatnya itu.
Ayla menguatkan senyum. “Dia sudah masuk masa pemulihan,” jawabnya singkat, namun cukup membuat dua sahabatnya mengangguk lega. Senyum turut terbit di wajah mereka, menyiratkan rasa senang dan syukur karena salah satu beban berat Ayla—tentang sakit adiknya—kini mulai terangkat perlahan. Mereka turut senang mendengar kabar baik itu.
“Apa itu, Ayla?” tanya Fira dengan nada penasaran saat melihat Ayla menggenggam erat sebuah amplop putih. Ayla spontan menunduk sedikit, menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap. Tangannya meremas amplop itu tanpa sadar. Ia belum tahu bagaimana menjelaskan hal ini pada sahabat-sahabatnya—bahwa ia telah membuat keputusan besar untuk mengundurkan diri dan akan segera pindah meninggalkan semua yang selama ini menjadi rutinitas dan kenyamanannya.
“Emmm…” gumam Ayla pelan, kebingungan memilih kata. Pikirannya dipenuhi bayangan bagaimana ekspresi Nadya dan Fira nanti setelah mendengar kabar ini. Ia tidak ingin menyakiti mereka, tapi ia juga tahu tidak bisa menyembunyikannya selamanya. Ini cukup berat baginya.
“Apa, Ayla?” desak Nadya dengan nada khawatir, diikuti anggukan penasaran dari Fira. Keduanya kini benar-benar ingin tahu apa yang sedang terjadi.
Namun sebelum Ayla sempat menjawab, suara berat namun lembut terdengar dari arah belakang mereka. “Sedang apa berkumpul pagi-pagi sekali?”
Mereka menoleh bersamaan dan mendapati seorang pria berdiri dengan anggun dalam balutan setelan jas mahal. Senyumnya ramah, sikapnya santai, namun wibawa yang terpancar darinya membuat siapa pun menaruh hormat. Tak lain dan tak bukan, dia adalah Kenzo—petinggi perusahaan nomor dua, sosok yang meskipun memiliki jabatan tinggi, selalu menyapa hangat para karyawan.
Kehadiran Kenzo mendadak membuat suasana menjadi sedikit kaku. Ayla menahan napas sejenak. Hari ini benar-benar bukan hari biasa.
Ketiganya terkejut bukan main saat mendapati sosok Kenzo tiba-tiba berdiri di dekat mereka. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari kehadirannya sebelumnya, karena suasana pagi itu memang belum terlalu ramai. Nadya dengan cepat menguasai diri dan membalas sapaan Kenzo dengan senyum sopan. “Ah, tidak ada apa-apa, Pak Ken,” jawabnya, berusaha terdengar santai meskipun degup jantungnya masih belum normal. Fira ikut tersenyum, sementara Ayla hanya mengangguk singkat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Pandangannya pun teralihkan, menoleh ke sekeliling lobi gedung dengan harapan melihat sosok Leo.
Kenzo, dengan sorot mata tajam yang jeli, tampaknya menyadari sesuatu. Tatapannya tertuju pada tangan Ayla yang menggenggam erat amplop putih tadi. “Surat apa itu, Ayla?” tanyanya, kali ini langsung. Nada suaranya lembut, tapi tegas—membuat Ayla semakin gugup dan merasa tak bisa menyembunyikan apa pun lebih lama.
Sebelum Ayla sempat menjawab atau menyembunyikan amplop itu ke dalam tasnya, Fira dengan gerakan spontan meraihnya. “Surat pengunduran diri?” serunya tak percaya setelah membaca bagian atas amplop. Kalimat itu meluncur begitu saja, keras dan jelas, membuat Nadya serta Kenzo sontak membelalakkan mata.
“Apa!” seru mereka nyaris bersamaan, masih tak percaya dengan kenyataan yang tiba-tiba terbuka begitu saja. Ayla hanya bisa tertunduk, membiarkan keheningan yang berat menyelimuti mereka. Tidak ada satu pun kata yang bisa ia ucapkan untuk menjelaskan segalanya.
Tak butuh waktu lama, tangis Nadya dan Fira pecah di ruangan kecil tempat mereka biasa bersantai sebelum bekerja. Mereka berusaha memahami keputusan sahabat mereka, tapi kenyataan itu terlalu pahit. Pagi yang biasanya penuh tawa, kali ini hanya diisi air mata. Nadya menggenggam tangan Ayla erat, sementara Fira memeluknya sambil terisak.
“Ayla… kau yakin dengan keputusanmu ini?” tanya Nadya, suaranya parau karena menahan tangis. Ayla tak menjawab dengan kata-kata, hanya menunduk sambil mengangguk perlahan. Air matanya jatuh, tidak bisa lagi ia bendung. Keputusan ini bukan hal yang mudah. Ia akan meninggalkan dua sahabat yang sudah bersamanya sejak masa putih abu-abu—sahabat yang sudah seperti keluarga sendiri.
“Maaf aku membuat kalian kecewa,” lirih Ayla di tengah isak tangisnya. “Tapi aku harus pergi. Kalian harus tetap semangat. Kalian harus tetap baik-baik saja di sini.” Suaranya serak, namun tulus. “Semoga kita bisa bertemu lagi.”
Kenzo yang sejak tadi berdiri di dekat mereka, hanya diam membisu. Matanya menatap Ayla dalam, seolah ingin mengatakan banyak hal, namun semuanya terhenti di tenggorokan. Ia tahu, jika ini memang sudah keputusan Ayla, maka tidak ada yang bisa ia lakukan. Meski begitu, dalam hatinya ia tidak bisa menutupi kekaguman terhadap kinerja Ayla selama ini—dia adalah sosok yang berdedikasi, penuh empati, dan rajin.
Akhirnya, Kenzo menarik napas panjang, lalu berbicara, menyudahi momen haru yang mulai menyayat suasana. “Ayo, Ayla. Sekarang waktunya kamu menyerahkan surat itu kepada Pak Leo.” Nadanya tenang, namun tegas. Ia tahu, sekuat apa pun perpisahan itu menyesakkan, hidup dan pekerjaan tetap harus berjalan. Dengan langkah perlahan, Ayla pun bersiap menuju lantai atas, menuju ruangan Pak Leo—atasan tertinggi di perusahaan itu—untuk menyampaikan keputusan yang telah ia ambil.