Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Kak Furqan membawa makanan pesananku. Aku memasang senyuman padanya, "makasih Kak!"
Dia sama sekali tidak menjawabnya, bahkan segera pergi setelah menata makanannya di meja.
"Barusan Furqan?" tanya Bang Daffa yang melihatnya melalui panggilan video.
Aku mengangguk mengiyakan, "jutek kan dia?"
"Kenapa dia jadi pelayan di sana?" tanya Bang Daffa, "kok gak kerja di perusahaan."
Aku hanya mengerdikkan bahuku tidak tahu.
"Ya udah Nur matiin dulu ya! Mau makan dulu," setelahnya aku melambaikan tanganku pada mereka.
Rindu? tentu, aku merindukan mereka walaupun baru 2 hari ini aku meninggalkan rumah.
Tapi apa boleh buat, aku akan terus mengejar Kak Furqan hingga dia sendiri yang menjelaskannya padaku.
Setelah makan siang, Aku asik mengetik naskahku di sana. Sembari sesekali memperhatikan Kak Furqan yang membuat kopi untuk pelanggan.
Aku berjalan menghampirinya, "Kak pesen americano ya!"
Dia menatapku datar, "kamu kan gak minum kopi."
"Kak Furqan masih perhatian sama aku?" tanyaku menahan tawa.
"Gak usah ge-er kamu, saya cuman gak mau nanti kena masalah gegara kamu pingsan di sini," ucapnya ketus.
Aku hanya mengangguk-angguk dengan senyumanku, "tenang aja, lambung aku pasti kuat kok."
Kak Furqan membuatkannya untukku, dia langsung menaruh kopinya di atas meja. Aku melihat ada gula sachet di nampannya.
Udah gak suka tapi masih perhatian pake ngasih gula!
Aku bergumam sembari menatap punggungnya kembali melayani pelanggan yang lain.
Kak Furqan bekerja dengan 1 rekan kerjanya yang lain. Karena restorannya yang memang tidak terlalu besar, namun terlihat sangat terkenal dikalangan para remaja terutama wanita.
Rekan kerjanya Kak Furqan sadar jika aku sejak tadi memperhatikan rekannya. Dia menyenggol lengan Kak Furqan yang sedang mencuci gelas.
"Furqan, dia pacar kamu?" bisiknya sembari melihat ke arahku.
"Bukan," jawabnya singkat dengan acuh.
"Cantik juga, kenalin lah sama aku," kata rekannya.
"Dia emang bukan pacar aku tapi bukan berarti bebas dikenalin sama kamu," tukas Kak Furqan dengan tatapan tajamnya.
"Bilang aja kalau kamu suka sama dia, susah banget," gumam Rekannya sembari melengos menghindari tatapan Kak Furqan.
Sorenya, aku masih berdiam diri di sana. Berniat menunggu Kak Furqan pulang agar bisa mengobrol bersama dengan bebas.
Dia mendatangi meja-ku dengan pakaian kerjanya. Aku mendongak lalu menerbitkan senyumku.
"Pulang Nur!" pintanya dengan wajah datar.
"Kenapa emangnya?" tanyaku, "gak ada larangan juga kan buat diem seharian di sini."
"Saya gak bakal berubah pikiran walaupun kamu seharian berdiam diri di sini," ungkapnya.
"Belum Kak Furqan," sanggah-ku.
"Terserah kamu! Tapi itu akan buang-buang waktu kamu aja," ujarnya masuk kembali.
Aku kembali melanjutkan naskah-ku, berusaha untuk tetap fokus pada kerjaan walaupun sesekali mataku tetap saja penasaran dengan aktivitas Kak Furqan.
Malamnya, Rekan Kak Furqan kembali mendekatinya.
"Furqan, kita mau tutup dia masih aja di sini," bisiknya.
"Ya udah usir aja dia," katanya dengan santai.
Rekannya menggusar tekuk lehernya bingung, "kamu yang ada masalah sama dia, aku yang repot."
Rekannya itu terus menggerutu karena sikap Kak Furqan. Dia berjalan menghampiriku, "maaf Mbak!"
Aku menoleh sedikit mendongak padanya, "iya, kenapa ya?"
"Kita mau tutup Mbak!" ungkapnya.
"Oh ya udah, maaf ya!"
Aku bergegas membereskan laptop dan beberapa kertas yang berserakan di atas meja, lalu segera pergi dari sana untuk pulang.
Malam itu aku tidak berniat untuk mengganggu Kak Furqan lagi, mataku saja sudah mengantuk sekarang.
Aku menaiki bus yang melewati hotel. Sesekali menghela napas merasa lelah. Pikiranku sepertinya sudah penuh sekarang dengan naskah dan Kak Furqan.
Tidak lama untuk menuju hotel, aku turun di halte sebelumnya. Berjalan sebentar untuk ke minimarket membeli makanan.
Aku memukul cukup keras leher yang kaku karena seharian ini menatap laptop. Bahkan mataku mulai terasa tidak enak.
Aku kembali ke hotel setelah merasa kenyang. Mataku sudah tidak kuat untuk menahan rasa kantuknya lagi.
Di seberang hotel, Kak Furqan tersenyum lega melihatku masuk ke hotel dengan baik. Dia melajukan motornya ke rumah sakit untuk membawakan makan malam.
Kak Furqan mengetuk pintu kamar rawat inap Ayahnya. Ibunya membuka dengan terbitan senyum pada putra sulungnya.
"Masuk Kak!" ajak Ibunya Kak Furqan.
"Gak usah Mah, Furqan di luar aja. Bapak udah tidur takut ke ganggu," tolaknya.
Ibu Kak Furqan ikut duduk di kursi tunggu tepat di depan ruangannya. Dia membuka kotak bekal yang diberikan putranya.
"Makasih ya!" ucap Ibu Kak Furqan dengan tatapan sendunya.
Kak Furqan tersenyum padanya, "sama-sama Mah."
"Furqan, maafin Mamah sama Bapak ya!" ungkap Ibunya. Kak Furqan menoleh padanya tapi tidak berbicara sedikit pun.
"Maaf hubungan kamu harus kandas karena keadaan kita," lanjut Ibunya.
Kak Furqan menggelengkan kepalanya cepat, "enggak Mah, Furqan gak apa-apa kok. Kalau Nur jodoh Furqan, dia bakal dijaga dengan baik. Furqan percaya," ucap Kak Furqan.
"Tapi Furqan, waktu itu gak akan berhenti. Gak ada yang tau ke depannya, gimana kalau Nur keburu dipinang sama orang lain?" tanya Ibunya Kak Furqan.
"Berarti Nur bukan jodohnya Furqan," jawab Kak Furqan sembari mengedarkan pandangannya.
Dalam hatinya dia tidak ingin seperti ini. Tapi keluarganya hanya bisa mengandalkan dirinya sekarang, apalagi keadaan ayahnya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.
Kak Furqan pulang setelah itu, bukan ke rumahnya yang dulu melainkan ke kontrakannya yang dia tinggali tidak jauh dari tempat kerjanya.
Ica sudah terlihat lelap saat dia pulang. Laki-laki itu menghela napasnya dalam, melihat sekeliling ruangan yang sangat sempit dan terlihat kotor pada dindingnya.
Besok paginya,
Aku memutuskan untuk sarapan di hotel, siang ini aku ada janji dengan seseorang yang sudah berkenalan denganku melalui media sosial.
Dia pembaca setia ceritaku, namanya Aksara. Dengan kebetulan, dia orang Bandung yang sedang bekerja di Surabaya.
Siang ini kita berjanji untuk bertemu di restoran tempat Kak Furqan bekerja. Aku bersiap untuk pergi setelah selesai sarapan.
Memakai gamis warna krem dengan kerudung corak yang senada.
Setelahnya aku segera pergi ke sana, karena hari sudah mulai siang.
Mataku celingukan mencari laki-laki itu melalui foto yang dia kirim sebelumnya. Di meja depan restoran, seseorang melambaikan tangannya padaku.
Senyumku terbit setelah yakin jika itu seseorang yang akan aku temui. Aku duduk di hadapannya.
"Udah lama nunggunya?" tanyaku, "maaf ya!"
Dia tersenyum padaku, "gak apa-apa Kak."
"Panggilnya Nur aja!" kataku. Dia mengangguk mengiyakan setelahnya.
"Mau pesen sesuatu?" tawarnya, "pasti haus kan."
Aku terkekeh mendengarnya karena dia sadar aku masih mengatur napas sejak tadi.
Dia mengangkat tangannya memanggil pelayan restoran, "mas, saya mau pesen!"
Seseorang datang menghampiri membawa kertas note untuk mencatat, "mau pesan apa Mas?"
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica