Gadis dan Dara adalah sepasang gadis kembar yang tidak mengetahui keberadaan satu sama lain.
Hingga Dara mengetahui bahwa ia punya saudara kembar yang terbunuh. Gadis mengirimkan paket berisi video tentang dirinya dan permintaan tolong untuk menyelidiki kematiannya.
Akankah Dara menyelidiki kematian saudaranya? Bagaimana Dara masuk ke keluarga Gadis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Freya Alana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anwar Barnaba
Laki-laki tua berumur tujuh puluh tahun itu duduk di teras belakangnya yang nyaman. Dua orang bocah kecil asik main kereta-keretaan. Suara mereka riuh rendah. Anwar tersenyum melihat tingkah polah kedua cicitnya sambil sesekali menyeruput teh bunga telang dicampur tetesan lemon.
“Opa, Fero gagal.” Melati duduk di samping Anwar sambil berbisik.
“Orang itu semakin ceroboh.” Anwar membalas dengan nada tenang kemudian menyeruput minumannya.
“Kita coba lagi. Tenang, sekarang Opa tidak sendirian. Mel akan bantu menghancurkan Darius Anantara.”
“Bagus.” Anwar menyahut dengan nada dingin.
***
Flash back.
“Diandra, tunggu!” Anwar dengan motornya berusaha menyusul Diandra yang sudah lebih dulu meninggalkan sekolah.
Mendengar namanya dipanggil, Diandra Ayunda memelankan laju motornya.
“Hai, Kak.”
“Di, ngebut amat.”
“Diandra mau pulang cepet, Kak.”
“Aku boleh main rumahmu?”
“Lagi nggak ada orang, Kak. Jangan lah. Lagi pula Diandra lagi mau eksperimen resep baru. Nanti aja Diandra minta tolong Bibik anter buat Tante.”
“Loh kok buat Mama? Buat aku?
“Okay, buat Kakak juga, deh. Assalamualaykum.” Diandra tersenyum lalu kembali melajukan motornya menuju rumah.
Anwar mengikuti gadis yang sudah ditaksirnya sejak kelas satu SMA. Diandra adalah murid pindahan, saat pertama diperkenalkan, Anwar langsung jatuh hati pada gadis berlesung pipit itu.
Mereka tinggal satu kompleks. Kebetulan juga, ayah Diandra bekerja sekantor dengan ayah Anwar yang menjadi direktur.
Jika Anwar sangat menyukai Diandra namun sayang perasaannya tidak berbalas. Padahal begitu banyak gadis yang menarik perhatian Anwar.
Anwar adalah murid populer dengan segudang prestasi. Peringkat sekolahnya tidak pernah turun dari ranking satu selama tiga tahun berturut-turut. Belum lagi berkali-kali ia berhasil membawa tim basket sekolahnya menjuarai pekan olah raga antarsekolah.
Anwar adalah idaman semua siswi. Sikapnya yang lembut dan gentleman membuat daya tariknya semakin kuat. Dia bukan tipe playboy. Diandra adalah cinta pertamanya.
Lain dengan Diandra. Dia bukanlah gadis yang terbilang cantik. Wajahnya lebih eksotik dengan hidung bangir, bibir penuh dan lesung pipit di kedua pipinya. Matanya bulat dengan bulu mata panjang walau tidak lentik.
Diandra bukan juga termasuk siswa populer. Ia hanya punya beberapa sahabat dan mereka lebih sibuk berkutat dengan buku daripada bergaul.
Kelebihan Diandra adalah memasak. Dari kecil ia sangat suka berada di dapur. Cita-citanya menjadi chef di hotel bintang lima. Ia rajin berjualan kue maupun jajan pasar untuk menambah tabungan. Dia berencana untuk mengambil sekolah kuliner terkenal yang cukup mahal. Maka itu untuk meringankan beban ayahnya, dia berjualan.
Hari itu, Anwar mengikuti Diandra hingga rumahnya. Suasana sepi. Dilihatnya Diandra sudah masuk ke rumah setelah memarkir motor.
Anwar pun memutuskan untuk pulang. Ia masuk ke kamar lalu merebahkan diri. Pikirannya tidak bisa lepas dari wajah Diandra. Wajah ayu yang sering muncul di mimpinya.
Setelah berganti baju, Anwar memutuskan untuk ke rumah Diandra. Menjelang sore, suasana kompleks lengang karena penghuninya masih banyak yang belum pulang.
“Assalamualaykum,” sapa Anwar.
Tidak ada yang menjawab. Anwar menekan tuas pintu yang langsung terbuka.
“Di… ini aku. Kamu dimana?“
Tidak ada jawaban. Anwar terus melangkah. Hingga ia melihat Diandra sedang asik di dapur mengadon kue. Gadis itu memakai headset sambil sekali-sekali berjoget mengikuti lagu.
Netra Anwar membola saat melihat Diandra yang siang itu memakai daster baby doll panjang bermotif bunga. Kerudungnya tergeletak di meja dapur.
Ia mendekat lalu menggamit pundak Diandra.
“Dor!”
“Innalillahi! Kak! Kaget ih.” Diandra buru-buru memakai kerudungnya.
Anwar terkesiap, wajah Diandra sungguh lah menggemaskan tanpa kerudung. Rambutnya keriting sebahu, di pipinya ada adonan yang menempel. Tak diduga, satu tangan Anwar merengkuh belakang leher Diandra dan menariknya. Bibir mereka saling menempel.
“Kak.” Diandra meronta. Tempat adonannya tumpah.
Anwar menghentikan, Diandra menatapnya marah. Namun napsu sudah menguasai Anwar. Dengan kekuatannya ia membekap Diandra dan membawanya ke kamar.
Diandra meronta-ronta.
“Kak, jangan.”
Di kamar, Anwar mendorong Diandra ke tempat tidur sebelum gadis itu sempat melepaskan diri.
Tangan Anwar menekan tangan Diandra. Bibirnya me lu mat bibir Diandra. Air mata bercucuran di wajah gadis itu. Anwar terus menyerang. Dengan satu tangan ia menahan tangan Diandra sementara tangan yang lain melepas kain segitiga yang melindungi area inti gadis di bawahnya.
“Kakak, Diandra mohon. Jangan, Kak.”
Anwar sudah gelap mata, bibirnya terus menyesap dan mencium bagian-bagian tubuh Diandra. Kini satu tangannya membuka celana pendek yang dikenakan, mengeluarkan pusaka yang sudah tegak.
“Ssh, aku akan tanggung jawab, Di.”
Dengan sekali gerakan ia memasukkan pusakanya ke area privat Diandra. Mata Diandra terbelalak, jerit kesakitan dibungkam oleh Anwar dengan bibirnya.
Ia merasakan perlawanan Diandra semakin melemah.
“Enak, kan?” Anwar menatap netra Diandra yang memancarkan ketakutan dan kekecewaan.
“Kak, please stop.” Pinta Diandra lirih karena menahan sakit.
“Nggak, hanya dengan cara ini kamu jadi punya aku.”
Anwar kembali menekan kedua tangan Diandra. Bergerak liar di atas tubuh yang kesakitan. Ia terus bergerak hingga mencapai puncak dan melepas kehangatan ke rahim Diandra.
Diandra memalingkan wajahnya. Tak mau menatap Anwar. Hancur sudah masa depannya. Ia kehilangan kesucian di usia belia. Baru tujuh belas tahun.
Anwar menciumi wajah yang begitu dipujanya. Tak menyadari bahwa orang tua Diandra masuk ke dalam rumah.
“Mbak Diandra … Innaalillaahi wa innailaayhi roji’un. Apa yang sudah kamu lakukan?” Pekik Ibundanya begitu masuk ke kamar putrinya.
Anwar langsung berdiri dan membenahi pakaiannya. Diandra masih terbaring menutup wajah dengan kedua tangan. Darah mengalir di sela pahanya.
Perlahan ia bangkit menahan sakit, tak berani menatap ibunya. Ayahnya yang kaget mendengar teriakan ikut menyeruak mendapati pemandangan yang ditakuti orang tua di belahan bumi mana pun.
“Diandra! Dasar kamu memalukan!” Ayahnya langsung menghampiri Diandra yang masih kesakitan dan menampar pipinya keras. Darah keluar dari sudut bibirnya.
“Oom, jangan pukul Diandra. Saya akan tanggung jawab,” pekik Anwar dan langsung maju untuk melindungi Diandra.
Refleks Diandra mendorongnya.
“Di, biar Kakak liat.” Anwar membungkuk hendak melihat luka di bibir wanita yang dicintainya.
“Pergi!” Diandra mengusir Anwar.
“Di … “
“Aku bilang pergi!” Diandra mendorong Anwar hingga terjengkang.
“Baik, okay. Kamu pasti masih kaget. Kakak akan bawa Papa dan Mama ke sini untuk melamar kamu. Besok in syaa Allah kita akan menikah. Kakak akan buktikan.”
Diandra menutup wajahnya. Tak sanggup melihat pria yang sudah merenggut kehormatannya.
“Oom, ini semua salah saya, tolong jangan pukul Diandra.” Anwar memohon dengan sopan.
“Anwar, tolong tinggalkan kami,” ucap Ayah Diandra menahan marah. Matanya menatap putrinya yang kini terduduk di lantai.
“Oom tolong, Anwar mohon, jangan pukul Diandra. Anwar akan datang bersama Mama dan Papa.”
Setelah berkata, Anwar meninggalkan rumah Diandra. Dalam perjalanan menuju rumahnya, Anwar masih merasakan gelenyar kenikmatan sisa perbuatannya.
Dia tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
“Di, abis ini tiap malam aku bisa menikmati kamu. Dan aku berjanji akan membahagiakan kamu seumur hidup.”
Di kamar Diandra, ayahnya masih melampiaskan kemarahannya. Berulang kali menampar wajah putrinya. Diandra tidak melawan. Sang Ibu berusaha melerai tapi kemarahan dan kekecewaan sudah menguasai ayahnya.
Diandra bolak balik terjatuh. Tidak mampu menahan pedasnya tamparan demi tamparan yang mengenai pipinya.
“Ayah, maaf,” ucap Diandra berulang kali, namun itu tidak membuat Ayahnya berhenti. Hingga akhirnya Ibunda tidak tega dan melindungi Diandra dengan tubuhnya.
Ibu Diandra memeluk putrinya yang gemetaran. Naluri sebagai seorang wanita mengatakan bahwa mereka telah salah duga. Tapi tidak mungkin Anwar bocah santun itu meruda paksa putrinya.
Diandra masih tidak bersuara, hanya menyandarkan kepalanya ke dada ibunya. Kepalanya berdenyut.
“Besok, kamu akan nikah sama Anwar. Ayah nggak mau kamu hamil tanpa suami!”
Diandra hanya menghela napas. Ibunya memeluk putri satu-satunya yang wajahnya mulai bengkak.
“Sayang …”
“Maaf, Bunda.” Diandra berkata lirih.
Ayah Diandra hendak menampar putrinya lagi ketika hapenya berbunyi.
“Bu Lia, Mamanya Anwar. Assalamualaykumussalam, Bu!”
“Waalaykumussalam. Pak Reno, saya nggak nyangka banget, ya, ternyata Diandra itu perempuan murahan. Pasti ini akalan-akalannya jebak anak saya supaya nikahin kan?”
Di belakangnya Anwar berteriak, “Ma, sudah Anwar bilang ini bukan salah Diandra.”
“Diam Anwar, Mamah udah tau gelagat keluarga matre. Mana Bu Silvy, saya mau ngomong.”
Silvy, Ibunda Dian mengambil telepon dari tangan suaminya yang gemetaran karena malu dan marah. Diandra menatap pasrah pada ayahnya siap menerima tamparan dan pukulan.
“Bu Lia …”
“Denger, ya. Sampai kapan pun, saya nggak mau terima Diandra jadi mantu. Dia boleh nikah sama Anwar tapi saya nggak akan anggep dia jadi mantu. Munafik. Berkerudung tapi ngegoda orang. Dasar pelacur!”
Diandra terisak sambil menutup mulutnya.
“Bu! Anak saya bukan pelacur.” Balas Silvy keras.
“Mah, tolong, jangan seperti ini. Kita tunggu Papah lalu kita ke rumah Diandra, bicarakan baik-baik.” Anwar berusaha menenangkan ibunya.
“Awas kamu Diandra!” Ancam Lia kemudian menutup telepon.
Reno hendak melayangkan tamparan ke pipi putrinya ketika Silvy mencegah.
“Stop! Diandra, katakan ke Bunda, apa benar kamu yang menggoda Anwar?”
Diandra terdiam. Ayahnya kembali menampar. Air mata terus membasahi wajah kini bercampur dengan darah.
“Mana ada maling ngaku maling!” Bentak Ayahnya.
“Kenapa? Kenapa Ayah lebih percaya binatang itu daripada Diandra?” Diandra akhirnya menatap netra ayahnya.
“Binatang? Anwar itu anak baik, anak sholeh, rajin ke mesjid.”
“Terus Diandra? Bukankan Ayah yang mengajarkan Diandra untuk menjaga kesucian hingga menikah. Ayah tau cita-cita Diandra adalah jadi chef. Apakah ini akan memuluskan jalan Diandra? Risiko hamil muda, punya anak di usia dini? Kenapa Ayah malah membela Anwar?”
Reno tercenung.
Silvy merengkuh tubuh anaknya yang masih gemetar.
“Nak, katakan, apakah dia memaksamu.”
“Ya, dia memaksa Diandra. Aku sudah memohon dan melawan. Binatang itu lebih kuat. Diandra memang salah, Bunda. Diandra lupa mengunci pintu depan ketika Bibik berangkat ke pasar buat beli pewarna.”
“Diandra …” Ucap Reno dengan nada bergetar.
“Sakit, Yah. Diandra kesakitan, takut, malu. Tapi sumpah demi Allah, Diandra tidak pernah menggoda Anwar.”
“Astaghfirullah. Diandra, maafin Ayah.”
Reno langsung memeluk Diandra.
“Maafin Diandra sudah bikin malu Ayah.” isak Diandra di dada Ayahnya.
Silvy berdiri mematung. Tidak bisa membayangkan putri yang dilahirkan dan dibesarkan penuh cinta mengalami pelecehan di rumah sendiri.
Ketiganya berpelukan. Masa depan terihat suram.
“Nanti malam Anwar dan orang tuanya akan kemari.
Diandra menggeleng.
“Ayah boleh hukum Diandra, tapi jangan nikahkan Diandra dengan Anwar.” Tubuh Diandra kembali gemetar hebat. Matanya ketakutan.
***
Anwar menghadapi kekecewaan kedua orang tuanya dengan tabah dan sabar.
“Biarlah, setelah ini Diandra dan aku akan bersatu.”
Malam hari mereka bersiap ke rumah Diandra. Beberapa kali mengetuk, Bik Minah muncul dari balik pintu.
“Assalamualaykum, Bik. Bapak dan Ibu ada di rumah?” Sapa Papanya Anwar yang bernama Erik Barnaba.
“Waalaykumussalam, Pak. Nah itu dia, tadi Bibik pulang dari pasar, sudah tidak ada siapa-siapa. Cuma ada amplop berisi gaji Bibik dan pesan kalau mereka pergi. Bibik besok disuruh pulkam nggak usah balik lagi. Baju-baju juga udah sebagian besar nggak ada, Pak.”
Anwar terbelalak. Ia menyerbu masuk ke kamar Diandra.
“Diandra, kamu dimana. Diandra aku datang. Kita akan sama-sama terus, Di….”
Anwar memasuki ruangan-ruangan mencari keberadaan Diandra.
“Bik, mereka kemana? Diandra kemana, tolong jawab, Bik.”
Bik Minah menggeleng. Anwar bagai kesetanan kembali mencari di setiap ruangan. Erik dan Lia menyadari sesuatu. Anak mereka lah yang telah menjebak Diandra agar masuk dalam ikatan pernikahan.
“Anwar! Stop!” Erik menghentikan Anwar.
“Kamu? …”
“Pah, kita cari Diandra. Anwar nggak mau kehilangan dia. Ayo, Pah, ambil mobil.”
Lia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Menyesal telah menuduh Diandra.
“Anwar jawab Mamah. Kalian melakukannya karena saling suka, kan?”
Anwar tidak mampu menjawab. Teringat wajah Diandra yang terus memohon, air mata yang bercucuran, teriakan kesakitan yang dibungkam ketika dia merampas kegadisan Diandra.
“Diandra …”
“Astaghfirullah …” Lia menyadari kejahatan yang baru saja dilakukan anaknya. Tubuhnya meluruh hingga harus ditopang oleh Bik Minah.
Malam itu, Erik mengundurkan diri dari perusahaannya dan memutuskan untuk pindah ke Padang. Ia khawatir Diandra akan datang dan menuntut putra satu-satunya.
Anwar tidak mampu melawan.
“Kita pasti akan bertemu lagi, Diandra. Kamulah pemilik hatiku,” batinnya dalam hati.
***
👍👍👍👍
❤❤❤❤
semoga mbak Authornya sehat selalu, sukses dan berkah, makasih mbak Author
❤❤❤❤
karyamu keren thor. good job
makasih yah kak
karyanya bagus
semoga nanti Makin banyak yang baca,Makin banyak yang suka
sukses selalu ❤️