Tama, cowok baik-baik, kalem dan jago olahraga yang jatuh cinta dengan Raina si gadis yang terkenal dengan reputasi buruknya. Suka dugem, mabok, merokok, bahkan gosipnya dia pun jadi sugar baby simpanan om-om.
Tama menghadapi banyak tantangan agar bisa bersama Raina. Teman dan keluarganya yang tak menyukai Raina, rumitnya latar belakang keluarga Raina, juga cintanya yang penuh gairah yang amat sulit dikendalikan oleh cowok itu.
Kisah mereka terajut sejak masa di bangku kuliah. Saat mereka lulus, Tama berjanji akan menikahi Raina satu tahun kemudian. Tapi dengan banyaknya pihak yang menginginkan mereka untuk berpisah, bisakah mereka bertahan? Apalagi mereka terpaksa harus berpisah demi mempersiapkan masa depan untuk bersama?
Author masih belajar, tetapi selalu berusaha memperhatikan ejaan dan penggunaan huruf kapital yang benar sehingga nyaman di baca. Silahkan mampir😂
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabina nana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak
Tama merasa terjebak saat tahu acara makan malam itu bukannya di restoran, melainkan di rumah Tante Salma. Kalau tahu dari awal Tama pasti akan menolaknya, entah dengan cara apa.
Dayen menyadari keengganan Tama, namun Bunda Dayen mengabaikan keberatan Tama. Perempuan itu hanya menggamit lengan anaknya dan segera mengajak Tama menuju teras rumah dimana Tante Salma dan Almira tengah menyambut kedatangan mereka.
Tante Salma seumuran Bunda Dayen, tubuhnya yang berisi dibalut gamis panjang berwarna ungu dengan jilbab yang senada. Sedangkan Almira tampak manis dengan jilbab pink nya. Pipi gadis itu bersemu kala melihat kedatangan Tama.
Makan malam itu berlangsung cukup menyenangkan. Tentu pembicaraan didominasi oleh Bunda Dayen dan Tante Salma. Sementara Tama asyik dengan makanannya dan tak peduli pada gadis manis yang terus menatapnya malu-malu sedari tadi.
"Gimana cumi asam manisnya, Nak Tama? Bundamu bilang itu makanan kesukaanmu, kan?" tanya Tante Salma. Yang ditanya mengangkat mukanya.
"Enak, Tante," jawab Tama sopan. Dia memang tidak bohong. Cumi asam manis yang tersaji di piringnya ini memang lezat sekali.
"Syukurlah kalau kamu suka. Itu Almira yang masak sendiri, lho." kata Tante Salma yang membuat Bunda Dayen terbelalak takjub.
"Beneran Almira yang masak sendiri, Sal? Hebat kamu, Nak. Uda pintar, cantik, pinter masak lagi. Beruntung banget suami kamu nanti," puji Bunda Dayen. Almira tersenyum malu.
"Tuh, Bang. Nyari pasangan tuh yang kayak Almira gini, lho. Jangan cuma cantik fisik doang. Perilaku, pergaulan, dan kemampuan mengurus suami itu juga penting," kata Bunda Dayen kepada Tama.
" Kok jadi aku sih, Bun?" protes Tama, jengah. Mulai tidak suka dengan arah pembicaraan ibunya. Cumi asam manis yang tadi begitu lezat di lidahnya mendadak terasa hambar. Buru-buru Tama meneguk air putih.
"Memangnya Nak Tama sudah punya pacar?" tanpa berbasa-basi Salma mengajukan pertanyaan itu kepada Tama. Almira yang mendengar itu mendadak menghentikan gerakannya yang sedang menyuap makanan ke mulutnya.
"Sudah,Tante." Tama menjawab tanpa ragu. Mendengar jawaban anaknya, Dayen tertawa gugup.
"Belum serius, Jeng. Kita nggak tahu kan apa yang akan terjadi ke depannya." kata Dayen cepat-cepat.
"Saya paham kok, Jeng. Namanya juga anak muda. Tapi kalau Almira beda lho. Dia memang punya prinsip nggak mau pacaran, maunya langsung nikah aja. Katanya mau pacarannya setelah nikah." kata Salma. Almira memerah pipinya.
" Betul itu, Nak? Jarang lho ada anak perempuan yang punya prinsip seperti kamu ini. Padahal kalau Tante lihat semua kriteria mantu idaman ada di kamu, lho. Pasti banyak yang mencoba mendekati kamu," kata Bunda Dayen.
"Ah, nggak juga kok Tante," sergah Almira.
Setelah makan malam, Tante Salma meminta Tama untuk mengantarkan Almira ke toko buku.
"Tante minta tolong ya, Nak Tama. Tante nggak tenang kalau Almira keluar malam sendirian," ucap Tante Salma. Tama bingung, mau menolak pun tak bisa.
"Udah santai aja, Jeng. Almira bakalan aman kok sama Tama. Iya, kan, Bang?" kata Dayen melemparkan tatapan penuh arti ke arah anak lelakinya. Tatapan yang membuat Tama mengurungkan segala niatnya untuk menolak. Sialan. Tama membenci situasi ini. Namun Tama lebih membenci dirinya sendiri karena tak pernah mampu menolak permintaan ibunya.
Raina sedang tiduran di ranjangnya, dengan tangan sibuk memainkan ponselnya. Asyik berselancar di dunia maya, stalking akun-akun gosip, sambil menunggu video call dari Tama. Sekarang ia tak bisa tidur tanpa terlebih dulu melihat wajah Tama yang minim ekspresi itu. Kecanduan yang meresahkan.
Sebuah chat dari Jemma masuk ke ponselnya. Dengan santai Raina membuka pesan itu, dan ia merasa dunianya mendadak gelap. Jemma mengirimkan sebuah foto. Foto itu diambil dari jarak yang tidak terlalu dekat, namun cukup jelas bagi Raina untuk mengenali sosok yang ada di foto itu.
Sosok itu adalah Tama dengan latar belakang di sebuah toko buku. Lelaki itu mengenakan kemeja biru dongker yang dilihat Raina tadi saat video call dengan cowok itu. Dan ada seorang gadis berjilbab di samping Tama. Dari kejauhan mereka kelihatan seperti sepasang...kekasih?
[ini cowok elo kan, Ra?] begitu pesan Jemma.
Raina tak membalasnya. Dengan kesal ia melempar hapenya ke tempat tidur, masih cukup waras untuk tidak menghancurkannya dengan melemparkannya ke lantai.
Apa Tama berbohong padanya? Jika benar Tama sedang makan malam dengan Bundanya seperti kata cowok itu, kenapa Tama bisa ada di toko buku dengan gadis lain? Itukah sebabnya Tama tidak mengajaknya untuk bertemu dengan Bundanya, karena sebenarnya Tama memang tidak bertemu dengan Bundanya?
Raina benci air matanya yang meluncur tanpa permisi. Dia tidak pernah secengeng ini, tapi ia entah sudah berapa kali menangis karena cowok itu. Seorang Raina Maheswari yang biasanya cuek dan angkuh, kini menjadi tak berdaya sejauh menyangkut dengan Tama.
Malam itu Raina menunggu panggilan video dari Tama hingga nyaris menjelang pagi. Ketika ia mencoba menghubungi Tama duluan, tidak tersambung. Entah ponselnya mati atau cowok itu sedang berada jauh di luar jangkauan.
Nyaris dini hari Raina baru bisa memejamkan mata.
Keesokan harinya, saat mereka sedang makan siang di kantin kampus, Raina bersikap seolah tidak ada apa-apa. Hanya saja mata yang terlihat sembab, dan sikap yang lebih pendiam dari Raina membuat Tama menyadari ada sesuatu yang tak biasa pada diri kekasihnya.
"Kamu sakit?" tanya Tama. Raina menggeleng lesu.
"Terus kenapa kamu kayak lemes gini? Biasanya juga cerewet banget. Bikin kuatir aja," kata Tama lagi. Raina menyenderkan kepalanya di lengan Tama yang duduk di sebelahnya.
"Semalem aku ngga bisa tidur, tahu. Gara-gara kamu lupa nelpon aku," Raina mencebik, jengkel. "Emang kamu semalem pulang jam berapa sih sampai ngga sempet nelpon aku?"
Tama diam sejenak. Hal itu tak luput dari perhatian Raina.
"Maaf, semalem hapeku kehabisan baterai," jawab Tama sambil membelai rambut panjang ikal milik Raina.
"Jahat banget kamu, tuh." Raina masih cemberut, sementara Tama justru dibikin gemas dengan tingkah Raina.
"Jangan cemberut terus, bikin pengen nyium kamu, nih," bisik Tama. Raina mencubit pinggang Tama, jengkel.
"Dasar mesum!" delik Raina. Tama terkekeh.
"Kamu ngga ada niat gitu buat ngenalin aku ke Bunda kamu?" tanya Raina. Tama memandang gadisnya lekat.
"Kamu mau?" tanya Tama.
" Ya mau, lah. Kecuali kamu yang ngga serius sama aku."
"Ck. Sejak kapan jadi aku yang ngga serius?" Tama mengernyit. " Nanti aku bilang Bunda ya, biar enak nyari waktunya."
Raina mengangguk. Senyumnya pelan-pelan terkembang di wajah cantiknya.
"Tapi besuk kalau ketemu Bunda tolong jaga sikap ya? Minimal pakai baju yang lebih sopan," kata Tama hati-hati. Takut menyinggung Raina. Karena topik tentang itu masih sering menimbulkan pertengkaran di antara mereka.
"Emangnya kenapa?" Raina mulai merasa tak nyaman.
"Bunda punya standar sendiri tentang temen deket anak-anaknya. Ya pokoknya yang penting kamu pake baju yang lebih tertutup aja, aman lah." kata Tama lagi.
Lebih tertutup itu maksudnya berpakaian seperti gadis yang kamu temui tadi malam? Raina membatin. Pelan-pelan amarahnya bangkit. Ia tidak mau berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya hanya agar diterima. Meskipun oleh orang yang paling penting di hidup kekasihnya.