Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Masa Lalu Yang Datang Kembali
Masih Flasback
“…lo kenapa?” Liora bertanya dengan suara jauh lebih lembut dari biasanya. Tidak ada nada bercanda. Tidak ada dramatisasi. Hanya kekhawatiran murni.
Dan baru saat itu Bulan mengangkat sedikit wajahnya, matanya berkaca samar seperti masih menimbang apakah ia harus bicara atau tidak.
“Lo kenapa? Dari tadi gue liat lo gelisah.” Tanya Liora lagi.
Bulan butuh waktu beberapa detik sebelum menjawab. Dua kali ia menarik napas sebelum akhirnya berkata,
“Li… gue kayak diikutin seseorang.” Ungkapnya cepat.
Liora menurunkan tangannya. “…Diikutin gimana?”
“Cowok. Tinggi. Gue gak kenal. Tapi dia selalu nongol dimanapun gue berada.” Bulan memejamkan mata sebentar. “Parkiran. Perpus. Lorong dekat toilet. Dia selalu… ada disana.”
Liora duduk di samping Bulan, wajahnya langsung serius. “Bul… ini mulai gak aman. Lo harus lapor pihak kampus.”
“Gue mau kumpulin bukti dulu,” ucap Bulan pelan, suaranya sedikit bergetar. “Gue cuma… gak mau gegabah.”
Pikirannya saat ini mulai bercabang, pria itu jelas jelas sudah membuatnya gak nyaman, bahkan pernah satu waktu ia melihat pria itu sedang berdiri di depan kos kosannya. Bulan hanya berharap kalau Lintang juga ikut terseret di kasus ini, sebab didalam kos kosan itu Bulan tidak tinggal sendiri. Liora dan lintang juga ikut tinggal dengannya.
Liora mengangguk. “Pokoknya, apa pun yang lo butuh, jangan lupa ngasi tahu gue.”
Bulan tersenyum kecil lalu mengangguk — lemah, tapi tulus. Namun, malam itu Bulan benar benar tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terlalu berisik untuk saat ini, hingga akhirnya ia tertidur dengan lampu kamar yang masih menyala. Sedangkan Lintang sudah berada dialam mimpi sejak jam sembilan malam.
**
Beberapa hari kemudian keanehan itu berubah menjadi ancaman. Bulan baru keluar dari toilet perempuan ketika ia melihat sosok itu berdiri tidak jauh dari pintu. Penampilannya tampak santai, seolah ia hanya kebetulan lewat.
Namun tatapan itu— tatapan yang menelusuri Bulan dari kepala sampai kaki— membuat Bulan berhenti bernapas sesaat. Bukannya takut, tapi muak.
Di depan ruang kelasnya sore itu, ia muncul lagi. Terlalu dekat, terlalu sering, terlalu tidak normal. Seperti cara berjalan pria itu berubah, yang biasanya pria itu sok cuek tapi diakhir akan menatap intens Bulan tapi kali ini dari awal Bulan keluar kelas pria itu sudah menatap bulan dengan intens. Cara ia berhenti sejenak sebelum belok lorong — semuanya juga berubah.
Karena melihat perubahan dari pria itu kini Ia menjadi lebih waspada, sebab ia tahu betul pria yang sudah mulai menjadi pengutit ia memiliki obsesi yang tinggi, bahkan ia gak akan berhenti sebelum yang menjadi obsesinya itu ia miliki.
**
Hujan rintik turun di luar gedung fakultas. Mahasiswa sudah hampir pulang semua, menyisakan gedung komputer yang senyap dan dingin. Bulan selesai kelas malam dan berjalan sendirian menuju parkiran belakang. Langkahnya tenang, ritme yang sudah ia hapalkan untuk tetap stabil.
Tapi begitu ia melewati tikungan lorong— Sebuah tangan menariknya keras. Tubuhnya terbanting ke dinding lorong, suara kecil keluar dari bibirnya yang terkejut.
“Kenapa kamu selalu menghindari saya?” ucap seorang pria dihadapan Bulan.
Bulan menegakkan kepala. Wajah pria itu hanya beberapa senti darinya. Matanya gelap, intens, penuh sesuatu yang bukan kekaguman… tapi obsesi.
“Siapa Lo?” tanya Bulan dengan tenang tidak mau menunjukan kalau saat ini hatinya ketakutan.
“Aku cuma mau bicara,” ucap pria itu pelan, seolah itu alasan paling wajar di dunia.
Bulan menyipitkan mata. “Gue gak kenal sama lo. Lepasin.”
Farhan justru tersenyum kecil, senyum yang membuat darah Bulan mendingin. “Aku Farhan dan aku yakin… sehabis ini kamu bakal ingat aku terus.”
Tangan Farhan mencengkeram tangan Bulan lebih keras. Bahunya menutup jalan keluar. Dan jari-jari kirinya mendekat ke wajah Bulan.
“Tenang, gak akan ada yang datang—” Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Dalam satu gerakan cepat yang terlatih, Bulan memutar pergelangan Farhan. Cengkramannya terlepas, dan tubuh Farhan sedikit membungkuk menahan sakit. Bulan mencengkeram kerah bajunya dengan kekuatan penuh —membantingnya ke lantai dengan suara keras.
Farhan mengerang. Bulan mendekat, satu lutut di lantai. Tinju pertama menghantam rahang. Tinju kedua mendarat di bahu, membuat tubuh Farhan bergeser sedikit kebelakang.
Napasnya memburu, tapi matanya dingin, tidak ada panik, tidak ada ragu, yang ada hanya kemarahan seorang perempuan yang dipaksa melawan demi keselamatan dirinya.
Farhan mencoba bangun. Bulan menahan dadanya dengan telapak tangan, menatapnya tajam.
“Sentuh gue sekali lagi,” ucap Bulan, suaranya rendah dan bergetar, “gue pastiin lo gak bangun besok.”
Teriakan shock dari ujung Lorong, beberapa mahasiswa datang berlari. Security muncul sekian detik kemudian.
“Ada apa ini?!”
“Kenapa dia bisa babak belur?”
“Ini penganiayaan?!”
Tidak lama, pria yang bernama Farhan itu dibawa ke UKS. Bulan dibawa ke ruang keamanan kampus. Di sana, Bulan duduk diam, wajahnya tenang, Hanya matanya yang masih menyala marah.
Tak sampai lima menit setelah Bulan dibawa masuk, pintu ruang security terbuka keras. Liora muncul dengan napas hampir terputus, wajahnya masih memerah karena berlari dari gerbang kampus. Begitu matanya menemukan Bulan yang duduk sendirian di kursi besi, ia langsung menghampiri tanpa pikir panjang.
“Bul…” Suara Liora pecah, setengah panik, setengah lega.
Ia langsung merengkuh Bulan ke dalam pelukannya, memegang bahu sahabatnya erat seakan memastikan Bulan benar-benar ada di sana, benar-benar selamat.
Bulan memejamkan mata sejenak, menerima pelukan itu. Tangan Liora masih sedikit gemetar.
“Gue oke, Li. Gak papa,” ujar Bulan pelan. Suaranya lemah tapi stabil.
Liora menunduk agar wajahnya sejajar dengan Bulan, kedua tangannya menahan lengan Bulan seakan memeriksa apakah ada luka lain.
“Apa yang terjadi? Siapa yang lo hajar? Kenapa—”
“Barusan gue mukulin cowok yang nguntit gue,” jawab Bulan tenang… terlalu tenang.
Liora membeku sesaat. Tatapannya berubah. Bukan kaget — tapi marah. Marah kepada siapa pun yang berani menyentuh Bulan.
Ia mengangguk pelan, rahangnya mengencang. “Oke. Gue di sini. Kita hadapin bareng-bareng.”
Bulan hampir tersenyum… kalau saja pintu tidak kembali terbuka dengan keras.
BRAK!
Orang tua Farhan masuk, langkah mereka cepat, wajah memerah penuh amarah. Seorang wanita paruh baya menunjuk Bulan dengan telunjuknya yang gemetar.
“Saya gak terima!” suaranya tinggi, bergetar oleh emosi. “Anak kami dipukuli sampai seperti ini! Ini tindakan kriminal! Kami akan tuntut dia ke polisi!”
Bulan tidak bereaksi. Ia hanya menatap balik, diam, seperti seseorang yang sudah terlalu sering menghadapi orang yang berbicara tanpa tahu apa-apa.
Ayah Farhan maju selangkah, suaranya lebih berat namun sama tajamnya. “Betul. Saya juga akan menuntut pihak kampus. Bisa-bisanya menerima mahasiswa yang kelakuannya seperti preman seperti ini!”
Kata “preman” itu— menyentuh sesuatu dalam diri Liora.
Detik berikutnya Liora sudah berdiri. Tidak ada rasa takut, tidak ada gentar. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, dan wajahnya memerah bukan karena malu… tapi karena marah.
“Kriminal? Preman?” ulang Liora, suaranya dingin tapi bergetar.
Ia maju setengah langkah, memposisikan dirinya di antara Bulan dan kedua orang tua Farhan.
“Anak anda dari dua minggu lalu ngikutin sahabat saya kayak orang gak waras!” Setiap kata meledak, tapi Liora tetap menjaga jarak seperti siap bertarung kata demi kata.
Wanita paruh baya itu terperanjat, tapi masih keras kepala. “Gak mungkin! Farhan anak baik! Dia gak akan—”
Liora menatapnya tajam. “Masa saya harus list-in satu per satu tempat dia muncul? Kantin? Perpus? Parkiran? Depan toilet perempuan? Anda mau bukti? Kita punya.”
Ayah Farhan semakin merah, telunjuknya hampir menyentuh wajah Bulan. “Dia memukuli anak saya sampai—”
Bulan berdiri. Pelan, tapi tegas. Mata Bulan kembali tajam seperti biasa, aura perempuan yang gak mudah buat ditindas.
“Saya hanya membela diri,” katanya dengan suara rendah namun menusuk. Ruangan seketika sunyi. Sampai security kampus masuk, wajahnya tegang.
“Kita tunggu polisi datang. CCTV sudah diminta untuk dicek.” Ucap security itu.
Liora tersenyum sinis— senyum tipis penuh kemenangan kecil yang belum terucap.
“Bagus,” katanya sambil melipat tangan. “Biar semuanya lihat siapa yang sebenarnya salah.”
Bulan kembali duduk. Ia tetap diam, tapi diamnya bukan takut— diam seorang perempuan yang tahu kebenaran ada di pihaknya. Dan potongan rekaman mulai diperiksa.
Ruang security kampus terasa lebih sempit daripada biasanya. Lampu neon putih memantul kasar di meja panjang yang dipenuhi map laporan, walkie-talkie, dan gelas kopi yang sudah dingin.
Udara di dalam ruangan berat— bukan karena panas, tapi karena ketegangan yang menggantung di antara seluruh orang yang ada di sana.
Bulan duduk tegap, tangan bertaut di pangkuan, wajahnya tenang namun tak sepenuhnya kosong. Tatapannya lurus ke depan, seolah menyiapkan dirinya untuk apa pun yang akan datang.
Di sampingnya, Liora berdiri dengan tangan terlipat di dada, tubuhnya condong sedikit ke arah Bulan seolah menjadi tameng hidup.
Orang tua Farhan berdiri di seberang meja, wajah mereka memerah penuh amarah dan frustasi. Security kampus berusaha menjaga ketertiban, sementara ketukan jam dinding terdengar jelas—
tek… tek… tek… mengisi keheningan yang makin menekan.
Pintu ruang security terbuka. Dua polisi masuk. Kemeja cokelat mereka rapi, wajah serius tapi netral.
“Sore semuanya,” ucap salah satu polisi, suaranya rendah dan formal.
“Kami menerima laporan dugaan penganiayaan antara dua mahasiswa. Kami akan melihat kronologinya dari rekaman CCTV.”
Ayah Farhan langsung maju. “Pak! Tolong lihat kondisi anak saya! Dia dipukuli sampai—”
“Kami akan melihat rekaman dulu, Pak,” polisi memotong dengan nada tegas namun sopan.
Polisi lain mengangguk pada petugas security. “Rekamannya, Mas.”
Petugas mengangguk cepat, lalu memutar kursi dan mulai mengetik password komputer. Tiga monitor menyala bersamaan, menampilkan daftar kamera kampus.
Bulan menahan napas, bukan karena takut— tapi karena momen ini menentukan siapa yang sebenarnya harus ditegakkan.
Liora melirik Bulan dari samping. “…lo siap?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Bulan hanya mengangguk tipis. Gerakan kecil, tapi tegas.
Di depan mereka, layar pertama menampilkan rekaman kantin kampus. Mahasiswa lalu-lalang, baki makan bergesekan, kursi digeser— pemandangan biasa dikantin kampus.
Hingga Bulan berkata, “Tolong rewind dua minggu ke belakang. Jam makan siang.” Suaranya tenang, profesional, bahkan terlalu tenang untuk situasi ini. Semua orang refleks menoleh.
Polisi mengangguk. “Baik. Kita mulai dari sana.”
Rekaman kembali berjalan. Dan di tengah keramaian kantin— muncul Farhan. Berdiri tidak jauh dari meja Bulan, tidak makan, tidak berbicara dengan siapa pun hanya berdiri… dan menatap.
Ibu Farhan menegakkan tubuh, wajahnya pucat. “Itu… bukan anak saya—”
“Kita lanjut,” potong polisi, datar.
Rekaman berikutnya diputar, Perpustakaan. Bulan duduk membaca sedangkan Farhan duduk tiga meja di belakangnya. Tidak membuka buku, tidak memegang apa pun, tatapannya tidak lepas dari satu titik yaitu Bulan.
Rekaman berganti lagi, Parkiran. Farhan bersandar di motor, menunggu, saat Bulan muncul dengan helm di tangan, kepalanya mengikuti setiap langkah gadis itu hilang di kejauhan. Ayah Farhan mulai gelisah,
tangan yang tadi menunjuk Bulan kini turun perlahan. Aura ruangan berubah. Tegang—tapi tidak lagi memihak Farhan. Polisi memberi instruksi, “Sekarang, rekaman malam ini. Lorong fakultas ilmu komputer.”
Layar menghitam sebentar, kemudian muncul lorong panjang bercahaya kuning pucat. Sepi. Sunyi.
Bulan muncul pertama melangkah cepat, tas di satu bahu. Dari arah berlawanan—Farhan, Langkahnya mantap, tidak ragu. Saat Bulan hampir melewatinya, Farhan mencengkeram lengan Bulan keras hingga tubuhnya terhuyung. Di layar, tampak jelas ia mencoba meraih wajah Bulan, mendekat paksa. Dan tepat sebelum tangan itu menyentuh— Bulan melawan.
Gerakannya cepat, terlatih. Satu hentakan memutar pergelangan tangan Farhan, satu bantingan menghantamkan tubuh Farhan ke lantai. Beberapa pukulan keras namun terukur—cukup untuk melumpuhkan, tanpa berlebihan.
Polisi mengangkat alis, kagum sekaligus tercengang.
“Clear. Ini pembelaan diri,” katanya tegas.
Ibu Farhan tertegun. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Ayah Farhan memandang rekaman itu lama, sebelum akhirnya menatap Bulan— kali ini dengan rasa malu yang jelas terlihat.
Security menunggu keputusan. Polisi mematikan layar.
“Berdasarkan rekaman CCTV, kesaksian, dan posisi luka,” ucap polisi mantap, “tindakan saudari Rembulan adalah self-defense. Beliau tidak bersalah.”
Liora mengembuskan napas yang dari tadi ia tahan, lalu tersenyum tipis penuh kemenangan.
Ia meraih lengan Bulan, menepuknya lembut.
Ibu Farhan mencoba bersuara, “A-aku… kami—”
“Kami mohon maaf,” ucap ayah Farhan lebih cepat, suaranya rendah dan sungguh-sungguh. “Kami… tidak tahu anak kami melakukan ini.”
Liora hendak membalas dengan ketus, namun Bulan menepuk lengannya pelan— isyarat untuk diam.
Bulan memandang mereka berdua dengan mata jernih, tenang. Tidak ada kebencian, tidak ada dendam. Hanya kelelahan seorang perempuan yang sudah terlalu lama diam.
“Saya hanya ingin hidup saya kembali normal,” ujarnya pelan, namun penuh kekuatan.
Keduanya menunduk dalam, sebelum mengikuti polisi keluar ruangan. Begitu pintu tertutup, Liora membuang napas panjang dan menjatuhkan diri ke kursi di samping Bulan.
“Gila…” Ia menyapu rambutnya ke belakang. “…rekaman tadi kayak film thriller.”
Bulan tidak tertawa. Ia hanya menatap lurus ke depan, mata kosong namun bukan kalah— lebih seperti seseorang yang baru saja selamat dari badai lama.
Perlahan, ia menutup mata dan berbisik, “Gue capek, Li.”
Untuk pertama kalinya malam itu, suara itu terdengar benar-benar jujur.
**
Hujan turun pelan sore itu—bukan badai, hanya gerimis tipis yang membuat halaman kampus tampak buram dari balik kaca ruang konseling. Bau tanah basah menembus sela jendela, membawa dingin samar ke dalam ruangan.
Bulan duduk di kursi tunggu, kedua tangannya menggenggam mug kertas berisi coklat panas yang sudah mulai mendingin. Di ujung lorong, suara pintu dibuka—Pak Rano, wakil dekan, keluar dengan wajah serius.
“Bulan… sudah selesai,” katanya pelan.
Bulan berdiri. Napasnya menggantung sesaat. Ia mengangguk kecil. Dari dalam ruangan, Farhan keluar.
Wajahnya pucat, mata merah seperti baru disorot lampu terang. Dia tidak melihat Bulan. Tidak berani, mungkin. Atau tidak mampu. Rambutnya sedikit acak, dan ranselnya tampak setengah terbuka, seolah ia bergegas pergi tanpa peduli apa pun.
“Mulai hari ini Farhan bukan lagi mahasiswa kampus ini,” ucap Pak Rano sambil menutup map. “Prosesnya segera. Mulai besok dia sudah tidak berkuliah di sini.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu ke kolam yang tenang—tenang tapi menimbulkan riak panjang di dada Bulan.
Farhan akhirnya menoleh. Tatapannya kosong, tapi ada sesuatu di sana—takut… atau kalah. Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tidak ada kata maaf yang keluar. Tidak ada penjelasan. Hanya tatapan sesaat, penuh kegelisahan, sebelum ia berjalan cepat melewati lorong.
Setelah Farhan pergi, Pak Rano menatap Bulan lebih lembut. “Ada yang ingin bicara denganmu di ruang tamu fakultas. Orang tua Farhan.”
Bulan terdiam, udara rasanya ikut menegang. Tapi ia hanya mengangguk dan mengikuti langkah Pak Rano.
**
Hujan di luar makin rapat, memantul di kaca jendela besar seperti ribuan garis tipis yang tergesa. Di sana, sepasang suami istri duduk—Ayah Farhan, seorang pria paruh baya berjas hitam, dan ibunya dengan mata bengkak seperti habis menangis berulang.
Ibu Farhan langsung berdiri ketika melihat Bulan masuk. Wajahnya bergetar. Tangan yang gemetaran itu terulur sedikit, lalu jatuh lagi karena gugup.
“Rembulan…” suaranya pecah. “Kami… kami sangat minta maaf.”
Bulan terdiam, lututnya sedikit lemas. Ia menarik napas pelan sebelum duduk di seberang mereka.
Ayah Farhan meremas jari-jarinya sendiri. Tidak sesombong bayangan Bulan dulu—hari itu pria itu tampak lebih tua, lebih letih.
“Apa yang dilakukan Farhan… tidak bisa kami benarkan,” katanya dengan suara berat. “Kami terlambat tahu. Dan kami menyesal tidak lebih tegas sejak awal.”
Ibu Farhan mengusap air matanya dengan tisu. “Kami janji dia akan mendapat bantuan profesional. Dia akan ditangani psikolog di Bandung. Kami tidak ingin dia menyakiti siapa pun lagi… termasuk dirinya sendiri.”
Ruangan itu sunyi beberapa detik. Hanya terdengar suara hujan memukul kaca. Bulan memutar gelas kertas di tangannya, berusaha menenangkan detak jantungnya. Sudut bibirnya terangkat sangat tipis—bukan senyuman, hanya bentuk sederhana dari penerimaan.
“Saya… mengerti,” ucapnya pelan. “Dan… saya terima permintaan maafnya.”
Ibu Farhan mengusap wajahnya, lega bercampur sedih. “Saya tahu ini tidak menghapus apa pun… tapi terima kasih,” katanya dengan suara parau.
Ayah Farhan menundukkan kepala hormat dalam. “Kami harap hidupmu setelah ini tenang, Nak.”
Bulan mengangguk sekali, lalu berdiri. “Saya juga berharap Farhan… mendapatkan pertolongan yang dia butuhkan.”
Mata ibu Farhan kembali berkaca-kaca mendengarnya.
Sejak hari itu, Bulan tidak pernah lagi melihat ataupun bertemu dengan Farhan. Masa kuliahnya berangsur angsur Kembali normal seperi biasa dan ia pun juga bisa bekerja part time dengan tenang
Flasback off
**
tbc