Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang VVIP?
Kamar itu dingin, dan gaun tidurku yang robek tergantung di bahuku seperti pengingat betapa dekatnya aku dengan kehancuran total. Pipi kananku masih berdenyut sakit. Aku menarik selimut tebal dan merapatkan ke tubuhku, tetapi tidak ada kehangatan yang bisa menghalau rasa dingin yang berasal dari hatiku.
Aldo sudah pergi. Pria yang tadi adalah setan yang menguasai amarahnya kini berubah menjadi kakak ipar yang bergegas menuju rumah sakit. Tapi pertanyaan Aerra... Kenapa Lika?
Adikku itu dikenal cantik dan cerdas. Namun, ia juga membawa predikat ‘penusuk dari belakang’ yang tak pernah kuelakkan. Aku tahu Lika selalu menginginkan apa yang kumiliki, termasuk hidup mewah yang kumiliki dari pernikahan ini, tanpa mengetahui penderitaan yang harus kubayar.
Jika ia panik, seharusnya ia meneleponku. Aku istrinya Aldo. Aku kakaknya. Kecuali...
Kecuali ada hubungan di antara mereka yang jauh lebih intim dari yang kubayangkan.
Tiba-tiba, rasa takutku pada Aldo meluap, digantikan oleh adrenalin. Jika Lika berani-beraninya mencoba masuk ke dalam rumah tanggaku, rumah tangga yang bahkan tidak pernah kuinginkan, aku tidak akan tinggal diam.
Aku bangkit dari ranjang, kaki gemetar, tetapi langkahku mantap. Aku melepas sisa gaun yang robek, menggantinya dengan celana panjang dan sweter tebal. Aku tidak peduli pada penampilan, aku hanya perlu mengejar mereka.
Di meja, ada selembar kertas yang jatuh dari saku celana Aldo yang ia tinggalkan di kursi tadi sore. Itu adalah kwitansi. Keningku berkerut saat membaca nama rumah sakit yang tertulis di sana. Itu adalah rumah sakit yang sama dengan yang ia sebutkan di telepon. Bukan hanya Aerra yang panik, Aldo juga sudah memiliki rute dan alamat yang pasti.
Apa Aldo sudah tahu tentang Lika sejak lama? Apa mereka... apa selama lima tahun ini, ia juga membagi perhatiannya? Tapi ia tampak sangat bucin denganku, atau setidaknya aku yakin begitu.
Aku meraih kunci mobilku sendiri. Aku tidak mungkin membiarkan rahasia ini terus tersembunyi. Kebohongan harus berhenti. Baik kebohongan yang kusimpan untuk Windu, maupun kebohongan yang mungkin disimpan Aldo dan Lika.
Jalanan malam hari cukup lengang, membuatku cepat sampai di Rumah Sakit Internasional Mitra Sehat. Aku memarkir mobil agak jauh dari pintu masuk dan berlari, mencoba menyamarkan wajahku yang basah oleh air mata ketakutan beberapa jam lalu.
Aku langsung menuju meja resepsionis, mencoba mengatur napasku yang terengah-engah.
“Suster, permisi,” ujarku setengah berbisik. “Saya mencari pasien bernama Lika."
Resepsionis itu memeriksa komputernya tanpa ekspresi. “Mohon tunggu sebentar, Ibu.”
Jeda itu terasa seperti siksaan. Di kepalaku berputar-putar, Lika yang jatuh sakit parah? Lika yang kecelakaan? Atau Lika yang merencanakan semua ini hanya untuk memanggil Aldo?
“Pasien Lika... ah, sudah dipindahkan ke Ruang Perawatan VVIP Anggrek 5,” kata Suster itu akhirnya.
VVIP? Lika? Sekaya-kayanya Aldo, VVIP? Kenapa sampai begitu berlebihan?
“Apakah ada keluarga yang menemani? atau...?” tanyaku hati-hati.
“Oh, ya. Ada suaminya yang mengurus administrasinya Bapak Direktur perusahaan besar itu. Dia baru saja masuk beberapa menit yang lalu,” jawab suster itu sambil tersenyum ramah.
Aku tercekat. Suami? Lika belum menikah! Atau, apa yang terjadi di luar sana sampai aku, sebagai kakaknya, tidak tahu apa-apa?
“Maksud Anda, dia ditemani Bapak Aldo Wijaya?” tanyaku memastikan, tenggorokanku kering.
“Betul, Nyonya. Silakan naik ke lantai lima, belok kanan. Ruangan Anggrek 5,” pandu Suster itu, tidak menyadari kehancuran yang ia sampaikan.
Aku mengucapkan terima kasih dan bergegas menuju lift. Rasa mual dan pusing bercampur. Suami Lika? Siapa dia? Dan kenapa Aldo begitu dekat dengan mereka sampai ia diizinkan masuk ke Ruang VVIP?
Aku melangkah keluar dari lift di lantai lima,di ruang Anggrek 5. Pintu itu tertutup rapat, tapi aku bisa melihat ada cahaya remang-remang dari balik tirai.
Jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen kebenaran. Aku mendekati pintu itu, tangan gemetar. Aku tidak mengetuk. Aku mendorong pintu itu sedikit, perlahan. Untungnya, pintunya tidak dikunci.
Di dalam ruangan yang mewah itu, yang pertama kulihat bukanlah Lika. Itu adalah Aldo. Ia duduk di kursi samping tempat tidur, membungkuk. Ekspresinya tampak lembut, perhatian.
Dan di tempat tidur, terbaring Lika. Ia mengenakan gaun rumah sakit, tampak pucat, tetapi tidak terlihat terluka parah. Matanya terpejam.
“Aku sudah bilang, jangan terlalu khawatir,” kata Aldo dengan nada rendah dan menenangkan, tangannya menggenggam tangan Lika yang terbaring. “Dokter bilang hanya perlu istirahat. Tekanan darahmu naik drastis karena terlalu memaksakan diri.”
Terlalu memaksakan diri? Memaksakan diri untuk apa? Mencari celah untuk merusak rumah tanggaku?
Aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku melangkah masuk, menutup pintu dengan bunyi keras. Mereka berdua terlonjak kaget. Aldo melepaskan tangan Lika dengan cepat, berbalik ke arahku. Ekspresi tenangnya langsung mengeras, berganti marah yang dingin.
Lika membuka mata. Senyum tipis yang penuh kepuasan terlihat jelas di bibirnya, sebelum ia buru-buru mengubahnya menjadi ekspresi korban yang polos.
“Mbak Aerra?” bisik Lika, suaranya lemah.
“Jangan panggil aku, Mbak,” desisku, kakiku bergerak cepat ke sisi ranjang, berdiri di antara Aldo dan Lika. “Kenapa kamu tidak meneleponku? Kenapa harus Aldo?”
Aldo berdiri, tubuhnya yang tinggi menjulang menciptakan bayangan menakutkan di belakangku.
“Pulang, Aerra,” perintah Aldo, suaranya tajam. “Kamu tidak punya urusan di sini.”
Aku menoleh ke Aldo, tatapanku penuh api. “Bukan urusanku? Dia adikku! Dan kamu... kamu suamiku! Lalu kenapa Suster tadi bilang dia sudah punya suami? Suami siapa, Lik? Jawab aku!”
Lika tampak ketakutan, atau berpura-pura ketakutan, dan langsung menarik tangannya, menutup wajahnya. Ia mulai terisak.
“Mas Aldo, aku takut,” rintih Lika.
Reaksi Aldo sangat cepat. Ia berusaha menarikku menjauh dari tempat tidur. “Jangan ganggu Lika! Dia butuh ketenangan. Aku yang membawanya ke sini karena dia mengalami krisis!”
“Krisis? Krisis apa? Kebetulan sekali kamu krisis di saat kamu tahu aku dan Aldo sedang bermasalah, ya, Lik?” Aku mendorong tangan Aldo dan membungkuk di depan wajah Lika, tidak memberinya kesempatan untuk bersembunyi. “Aku sudah tahu kamu menginginkan apa yang kumiliki, tapi ini terlalu rendah, Lik. Bahkan pernikahan hasil perjodohan ini pun mau kamu ambil?”
Lika menatapku, matanya yang tadi pura-pura takut kini memancarkan rasa benci yang murni.
“Tentu saja aku menginginkannya!” bentaknya tiba-tiba, semua kepura-puraan lemahnya hilang. “Siapa yang tidak ingin hidup enak seperti kamu? Dipuja direktur, tinggal di istana, padahal hatimu, ah, aku bahkan tahu kamu sama sekali tidak cinta padanya!”
“Tutup mulutmu, Lika!” bentak Aldo. Ia kini benar-benar marah. Marah karena Lika mengungkap kebenaran yang baru ia sadari. Ia berusaha menarik Lika agar berhenti bicara, tetapi Lika sudah terlanjur lepas kendali.
Lika tertawa kecil, tawa yang sinis. Ia menunjukku. “Lima tahun, Mas! Lima tahun! Kamu pikir kenapa dia nggak mau hamil? Kenapa dia terus menolakmu? Dia takut anak itu mirip kamu, sementara hatinya ada pada pria kere itu!”
Kata-kata itu menghantam Aldo lebih keras dari tamparan yang kuterima di pipi tadi. Aldo terdiam, terpaku di tempat. Semua amarah, kekerasan, dan kegusarannya tiba-tiba membeku.
Aku juga diam. Lika telah menembakkan panah yang tepat sasaran, membongkar rahasia terdalamku. Sekarang, bukan hanya Aldo yang tahu ada ‘hantu’ di hatiku, tapi Lika sudah menyebutkannya secara terbuka.
Lika memanfaatkan jeda ketegangan itu untuk bangkit, bersandar pada bantal.
“Dan soal kenapa aku menelepon Mas Aldo tengah malam?” Lika menyeringai. “Aku melakukan itu demi dirimu, Mbak. Supaya Mas Aldo sadar. Aku nggak mungkin melihatmu terus menderita begini.”
“Pembohong! Kamu melakukannya untuk dirimu sendiri!” balasku. “Katakan, apa yang terjadi sampai kamu masuk VVIP? Apa yang kamu dan Aldo rencanakan? Siapa yang disebut suamimu tadi, Lik?”
Lika mendengus, lalu matanya beralih menatap Aldo dengan tatapan penuh arti, tatapan yang seharusnya hanya ada di antara dua kekasih. Ia tersenyum tipis.
“Kamu mau tahu kenapa aku di sini, Mbak Aerra? Kenapa Mas Aldo panik saat aku menelepon? Kenapa Suster mengira aku sudah bersuami?” Lika mengangkat selimut yang menutupi perutnya. Ia menarik tanganku dan meletakkannya di atas perutnya. “Karena aku sedang mencoba melindungi harta yang jauh lebih penting daripada perusahaan Mas Aldo.”
Tangan Aldo terangkat ke udara, seolah ingin menghentikan adiknya, tapi sudah terlambat. Di bawah telapak tanganku yang gemetar, aku merasakan kehangatan dan kekencangan perut Lika yang rata.
Lika berbisik pelan, tapi suaranya memekakkan telinga Aldo dan aku. “Aku masuk rumah sakit karena janin ini sedang bermasalah. Dan ya, aku harap kali ini dia baik-baik saja, karena dia akan menjadi cucu pertama Mama Susi dan juga... anak Aldo yang gagal kamu berikan selama lima tahun.”