Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjodohan
“Jadi, aku yang telah salah sangka?”
“Benar, Pak. Mas Adlan menikahi Mbak Dinda dengan kemauannya sendiri tanpa ada paksaan dan mereka menikah tepat sebelum Pak Lilik meninggal karena penyakitnya memburuk.”
“Sakit apa beliau? Kenapa selama ini Adlan tidak pernah menyinggungnya?”
“Kemungkinan Mas Adlan juga tidak tahu, Pak. Menurut pegawai rumah sakit yang saya tanyai, anak Pak Lilik saat itu sangat terpukul Ketika tahu ayahnya mengidap kanker lambung.”
“Kanker lambung?”
“Benar, Pak. Pak Lilik di diagnosa kanker lambung setahun yang lalu dan keadaan beliau sudah stadium akhir. Beliau tidak memberi tahu Mbak Dinda ataupun Mas Adlan.”
“Apa Dinda masih ada keluarga lain? Setahuku, ibunya sudah meninggal sejak Dinda kecil.”
“Saya kurang tahu, Pak. Kalau Bapak mau, saya bisa mencari tahu.”
“Lakukan saja! Kasihan anak itu.”
“Baik, Pak.”
Setelah ajudannya pergi, Pak Aldi terdiam dalam duduknya. Ia yang sudah salah sangka dengan Dinda karena aduan Meri, merasa bersalah. Beliau menerawang jauh, kemudian menghubungi Ayah Meri.
“Ada apa kamu menghubungiku, Pak Mantan Bupati?”
“Jangan mengejekku! Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu.”
“Katakan saja!”
“Tolong perhatikan Meri! Dia sudah memfitnah menantuku. Aku mengatakan ini karena kita sudah berteman lama. Jangan sampai suatu saat kamu rugi karenanya!”
“Ya. Aku minta maaf! Aku yang sudah gagal mendidiknya. Saat ini Meri sedang aku larang untuk keluar rumah dan sebentar lagi akan aku jodohkan dengan anak temanku yang ada di desa. Semoga perjodohan itu berhasil dan Meri bisa belajarhidup di desa bersama suaminya nanti.”
“Semoga.”
Pak Aldi melihat ponselnya saat panggilannya telah berakhir. Jarinya menggeser kontak sampai menemukan nama Adlan di sana, tetapi tidak ada keberanian untuk memencet panggil.
Hubungannya yang memang sedari awal tidak pernah dekat dengan Adlan, semakin memburuk kala dirinya memutuskan untuk menikahi janda temannya.
“Apa aku salah menikahi istrimu?” gumam Pak Aldi mengingat almarhum temannya yang telah banyak berjasa kepadanya.
Temannya dulu hanya menitipkan istri dan anaknya agar ada yang menjaga, karena mereka tidak punya siapa-siapa lagi. Dirinya sendiri yang memutuskan untuk menikahi janda dari temannya.
Menurutnya, menikah adalah keputusan yang paling tepat. Bisa menjaga tanpa menimbulkan fitnah dan dia bisa membiayai sekolah anak-anak temannya tanpa takut membuat istrinya keberatan.
Sayangnya, itu hanya keputusan gegabahnya yang tidak berbicara lebih dulu dengan Mama Adlan. Keputusannya justru membuat Mama Adlan menggugat cerai dan Adlan yang tidak dekat, semakin membencinya. Dan sampai sekarang, dirinya belum bisa memperbaiki hubungan mereka.
Di sisi lain.
“Ada tamu siapa, Ma?” tanya Meri yang melihat asisten rumah tangganya sibuk menyiapkan jamuan.
“Nanti kamu juga tahu. Sekarang kamu siap-siap! Nanti saat tamunya datang, kita sambut sama-sama.” jawab Mama Meri sambil mendorong tubuh Meri untuk masuk ke dalam kamar.
“Apa keputusan ini sudah tepat, Pa?” Tanya Mama Meri saat masuk ke dalam kamar.
“Bukan masalah tepat atau tidak tepat, Ma. Ini menyangkut masa depan keluarga kita! Jika Meri dibiarkan seperti itu saja, kita yang akan malu nanti!”
“Tapi…”
“Papa yakin anak dari Setyono bisa membimbing Meri. Kamu yakin saja dan bujuklah dia supaya mau menerima perjodohan ini.” kata Papa Meri yang sudah siap dengan pakaian batiknya.
Setengah jam kemudian, rombongan keluarga Setyono datang. Papa dan Mama Meri menyambut mereka dan Meri hanya diam memperhatikan keluarga tersebut duduk di ruang tamu.
Setelah berbasa-basi sebentar, pembicaraan tiba pada intinya. Papa Meri yang pertama kali mengenalkan Meri dan membahas penyatuan anak-anak mereka, membuat Meri membelalakkan matanya.
Terkejut, marah dan kesal bercampur jadi satu, tetapi tidak ada keberanian untuk mengatakannya. Ia hanya bisa mengeratkan kepalannya.
“Saya ikut keputusan anak-anak, bagaimana. Biarkan mereka yang memutuskan.” Jawab Setyono.
Papa Meri sedikit kecewa, karena dalam bayangan beliau perjodohan ini harus terjadi.
“Meri, bawa calonmu ke teras samping. Kalian bicaralah berdua!” kata Papa Meri dengan nada penekanan.
Meri hanya bisa mengangguk dan berjalan ke arah teras samping lebih dulu.
Laki-laki yang dijodohkan dengannya, dengan sopan berpamitan dan mengikuti langkah Meri.
Sesampainya di teras samping. Meri duduk dan tidak mengatakan apa-apa. Laki-laki itu dengan sungkan duduk di kursi satunya. Kini keduanya duduk berdua dengan meja sebagai pemisah.
“Saya tahu Anda tidak akan menerima saya karena saya hanyalah orang desa dan pekerjaan saya tidak sebaik Anda. Sebenarnya, saya datang juga karena permintaan orang tua saya. Terima atau tidak, saya ikut keputusan Anda.”
“Bicaranya formal sekali?” batin Meri dengan kesal, karena merasa tua diperlakukan dengan formal.
“Aku punya seseorang yang sudah aku sukai sejak lama.” Jujur Meri dengan nada sedikit ketus.
“Sama, saya juga.”
“Kalau kamu menyukai orang lain, kenapa mau dengan perjodohan ini?”
“Orang yang saya sukai sudah menikah dengan pilihan orang tuanya. Saya terlambat.”
“Tidak ada kata terlambat! Jika kamu menyukainya, perjuangkan!” Laki-laki itu menggeleng.
“Dulu saya…”
“Jangan terlalu formal!” sergah Meri yang tidak tahan dengan gaya Bahasa laki-laki tersebut.
“Maaf. Aku dulu sempat berpikir sama sepertimu. Pernikahan yang dijalani adalah pilihan orang tuanya, dia tidak akan Bahagia. Tapi setelah aku mengungkapkannya dan mengatakan akan menerimanya setelah bercerai, perempuan itu membuatku sadar bahwa pernikahan itu adalah ikatan yang sakral. Cinta atau tidak cinta bukanlah ukuran untuk mengakhirinya begitu saja.”
“Perempuan itu saja yang tidak berpendirian!”
“Jangan katakana seperti itu! Dia bukanlah perempuan seperti itu. justru dia yang menerima pernikahan atas permintaan orang tua adalah perempuan yang berbakti dan dia bisa memosisikan dirinya sebagai istri, juga belajar dengan pernikahannya.”
“Kenapa kamu malah membelanya! Dasar lemah!”
“Maaf, kalau pembelaanku membuatmu kesal. Tapi dia adalah perempuan seperti itu.”
“Jadi, menurutmu dia akan Bahagia dengan laki-laki itu?”
“Sepertinya.”
“Kamu saja tidak yakin!”
“Bukan tidak yakin. Aku hanya tidak tahu.” Meri menoleh.
Dari penampilan, laki-laki yang ada di sampingnya tidaklah buruk. Punya perawakan tegak, tetapi terlihat kurus. Masih jauh jika dibandingkan dengan Adlan. Tetapi ia juga tidak bisa menolak perjodohan ini.
Setelah berpikir sejenak, ide gila muncul di kepalanya.
“Bagaimana kalau kita menikah kontrak untuk mengatasi perjodohan ini?”
“Tidak.”
“Kenapa? Bukankah itu pilihan yang terbaik? Aku tidak menerimamu, orang tuaku pasti akan mencarikanku orang lain. Berhubung kita sama-sama menyukai orang lain, kenapa tidak bekerja sama saja?”
“Ini bukan dunia novel. Pernikahan itu sakral, aku tidak mau mempermainkannya!” tegas laki-laki tersebut yang membuat Meri terkejut.
Terkejut bukan karena perkataannya, melainkan sikapnya. Meri mengira laki-laki yang ada di sampingnya itu lemah, tapi nyatanya bisa tegas di waktu yang tepat. Sedikit menyamai sikap Adlan.
“Aku tidak ada rencana untuk menikah dengan orang lain selain dirinya!” kata Meri dengan lemah.
Ia tahu, ia sudah tidak punya kesempatan karena Adlan benar-benar tidak menganggapnya. Sayangnya, ia masih berharap karena merasa Dinda bukanlah ancaman besar baginya.
“Jika tidak mau menikah, berarti pembicaraan kita sampai di sini saja. Semoga kamu bisa mengejar orang yang kamu sukai itu.” kata laki-laki tersebut yang kemudian berdiri dan meninggalkan Meri.
Meri termenung. Hatinya meragu, tetapi pikirannya tidak bisa melepaskan Adlan. Ia tahu perjodohan ini adalah jalan papanya untuk mengikat dirinya agar melepaskan Adlan. Tentu ia tidak rela.
Sementara itu, laki-laki yang dijodohkannya sudah sampai di ruang tamu dan segera mendapatkan pertanyaan dari orang tua Meri dan orang tuanya sendiri.
“Maaf.” hanya kata yang terucap, membuat semua orang kecewa.
Meski mengatakan menyerahkan keputusan kepada anak-anak, nyatanya kedua orang tua laki-laki itu juga mengharapkan perjodohan berhasil. Mereka sudah menunggu sangat lama untuk bisa melihat anaknya berkeluarga.
“Ternyata kita tidak berjodoh untuk berbesan, Kang!” kata Setyono.
“Iya. Padahal aku sudah sangat berharap.” Jawab Papa Meri lemah.
“Berharap apa?” tanya Meri yang baru saja kembali.
“Berharap kamu bisa menikah dengan anak Om Setyono.”
“Aku mau!”
“Apa?” tanya kedua orang tua Meri dan pasangan Setyono, memastikan pendengaran mereka.
“Aku mau. Kenapa? Apa kalian tidak setuju?”
“Tentu saja kami setuju!” kata mereka serempak dan saling tertawa.
Hanya laki-laki yang dijodohkan dengan Meri yang diam karena merasa tidak percaya dengan yang dikatakannya.
Perempuan yang mengajaknya menikah kontrak, sekarang setuju untuk menikah dengannya. Informasi mendadak ini belum bisa diterima nalarnya. Bagaimana bisa keputusan Meri berubah secepat itu? Apa Meri punya rencana lain?
.
.
.
.
.
Kira-kira siapa laki-laki yang dijodohkan dengan Meri?
Maafkan author yang tidak up dua hari ini. huhuhu Author double up dengan 1300-1400 kata hari ini, selamat membaca…