cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps # cila jatuh sakit
Pagi itu, udara masih basah oleh embun yang menempel di daun-daun mangga depan rumah. Aku membuka pagar perlahan, suara gesekan besinya terdengar pelan tapi nyaring di telingaku. Di luar, sosok yang sudah kukenal sejak lama berdiri bersandar di motor besarnya Kak Angga. Tatapannya langsung menatap ke arahku, seolah dia sudah menunggu cukup lama.
“Dek... dari semalam kok kamu nggak angkat telepon aku, pesan dari aku juga nggak kamu balas. Kamu marah sama aku ya?” suaranya pelan, tapi ada nada cemas di sana.
Aku nggak langsung jawab. Hanya diam, memandangi aspal di bawah kakiku. Rasanya aku capek bukan cuma karena kurang tidur, tapi karena pikiranku yang penuh sesak.
Kak Angga melangkah sedikit mendekat, napasnya terdengar berat. “Ayo deh, Kakak anterin kamu ke sekolah, ya?”
Aku menarik napas panjang. “Nggak usah, Kak,” jawabku datar, bahkan tanpa menatap wajahnya.
Dia masih berdiri di situ, seperti belum mau menyerah. Tapi aku tetap melangkah ke motor dan menyalakannya. Suara mesinnya memecah hening pagi itu, tapi rasanya seperti bunyi perpisahan kecil antara aku dan dia. Saat aku mulai keluar, Kak Angga malah membuntuti dari belakang diam, tanpa kata.
Di jalan, aku bisa ngerasa tatapannya lewat kaca spion. Entah kenapa justru bikin hatiku makin berat. Aku tahu dia khawatir, tapi aku cuma pengen tenang. Hari itu, aku nggak mau cerita apa pun. Aku pengen sendiri, pengen diam.
Sesampainya di sekolah, aku langsung masuk ke parkiran tanpa menoleh ke belakang. Kak Angga berhenti di gerbang, dan aku tahu dia masih melihat aku pergi. Tapi aku pura-pura nggak tahu.
Mungkin dia pikir aku marah. Padahal bukan itu aku cuma lelah berharap.
Hari itu berjalan lambat. Suara teman-teman di kelas terdengar seperti gema yang jauh. Bahkan Yuli, sahabatku yang biasanya cerewet, cuma bisa menatapku heran waktu aku bilang, “Aku pengen tidur aja, Yul.”
Dia nggak banyak tanya, mungkin tahu aku lagi nggak baik-baik aja.
Jam pulang pun datang. Aku keluar dari gerbang sekolah sambil menunduk, berharap nggak ketemu siapa-siapa. Tapi begitu mataku menangkap sosok berdiri di dekat tiang gerbang, jantungku langsung berdegup kencang Kak Angga lagi.
Dia masih di sana. Dengan wajah yang sama, tatapan yang masih sama.
Aku pura-pura nggak lihat, langsung naik motor dan menancap gas. Tapi kayaknya dia lagi-lagi membuntutiku dari belakang.
Angin sore menerpa wajahku, tapi rasanya panas. Di jalan aku sempat berhenti sebentar, berharap dia bakal belok ke arah lain. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Dia mendahului motorku dan menghadangku di tengah jalan. Aku ngerem mendadak, sedikit kaget.
“Dek! Kamu ini kenapa sih?” suaranya meninggi tapi masih terdengar panik. “Dari tadi pagi kamu nggak jawab, nggak mau ngomong sama Kakak. Kamu marah ya?”
Aku menghela napas berat. “Nggak, Kak. Aku nggak marah... aku cuma capek.”
Wajahku terasa panas, bukan karena marah, tapi karena nyaris nangis.
Dia menatapku dalam. “Kamu sakit, ya?” tangannya refleks meraba dahiku. Sentuhannya hangat. Aku buru-buru menepis pelan.
“Enggak, Kak. Aku cuma mau pulang. Mau istirahat.”
Aku langsung putar gas, berbelok menghindari motor Kak Angga. Kali ini dia nggak ngikutin. Dari kaca spion, aku lihat dia masih berdiri di sana, bengong, lalu perlahan memutar balik. Entah mau ke mana.
Sampai rumah, Mamah udah nunggu di ruang tamu. “Hai, Nak. Baru pulang? Kalau udah beres, ganti baju ya, jangan lupa makan.”
“Iya, Mah,” jawabku pelan.
Aku masuk kamar, lempar tas ke kasur, dan pelan-pelan buka seragam. Tapi kepala rasanya pusing banget. Pandanganku kabur. Dan... gelap.
Waktu aku sadar, aku udah nggak di kamar lagi. Langit-langit putih dan suara mesin berdengung halus di telingaku. Tubuhku berat, dan hidungku terasa asing karena ada selang menempel. Aku berusaha menoleh, dan kulihat Mama duduk di sofa, sibuk main HP, wajahnya terlihat lelah.
“Mah…” suaraku lirih.
Mama langsung menoleh cepat, matanya membesar. “Nak! Kamu udah sadar! Ya Allah, Mama panik banget tadi, kamu tiba-tiba pingsan di kamar!”
Aku coba tersenyum, tapi lemah banget. “Nggak papa kok, Mah... cuma kecapean.”
Mama mengelus kepalaku lembut, matanya berkaca-kaca. “Kamu tuh jangan suka dipendam semua sendiri, Nak. Badan kamu bisa drop kalau terus mikirin hal-hal yang bikin sedih.”
Aku hanya diam. Rasanya semua kata nyangkut di tenggorokan.
Sementara itu, di tempat lain, Kak Angga duduk di ruang tamu rumah Jen. Di depannya, beberapa botol minuman berserakan. Jen, teman lamanya, duduk di sebelah sambil memainkan rambutnya. “Udahlah, Ga. kalo ada masalah cerita ke gw ,katanya dengan nada menyindir.
Kak Angga hanya diam, menatap kosong ke lantai. Dalam kepalanya, wajah Cila terus muncul.
Dia minum sedikit, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi malah makin nyesek. Malam itu, dia ketiduran di sofa rumah Jen.
Saat dia tidur, Jen mengambil HP-nya diam-diam. “Pasti ada sesuatu antara angga sama si Cila,” gumamnya pelan sambil mencoba buka kunci layar HP Kak Angga. Tapi gagal. Terlalu banyak percobaan, HP-nya malah error.
“Yah, brengsek!” katanya kesal. Dia taruh lagi HP itu di meja, tanpa sadar telah bikin Kak Angga kehilangan kontak sepenuhnya dengan Cila.
Pagi berikutnya, Kak Angga bangun dengan kepala berat. Dia baru sadar HP-nya nggak bisa dibuka. Panik, dia langsung ke konter HP. Butuh waktu lama buat nge riset, dan begitu bisa nyala, hal pertama yang dia lakukan adalah menekan nama “Cila” di daftar kontaknya.
Telepon tersambung. Tapi yang angkat bukan Cila.
“Halo, Nak Angga ya?” suara lembut tapi tegas di seberang sana.
“Iya, ... ini mamanya Cila, ya? Cilanya ada?”
“Iya, Nak. Cila lagi di klinik, baru aja bangun.”
Kak Angga terdiam. “Klinik? Cila sakit, Tante?” suaranya meninggi, jelas panik.
“Dari kemarin sore. Tiba-tiba pingsan di kamar. Mama panik banget. Untung langsung dibawa ke klinik.”
Tanpa pikir panjang, Kak Angga langsung berdiri. “Tante, aku ke sana sekarang ya!” katanya cepat, lalu mematikan telepon.
Dia langsung melesat naik motor, gasnya ditarik kencang. Angin pagi menampar wajahnya, tapi pikirannya cuma satu: Cila.
Di klinik, aku baru selesai minum obat waktu pintu terbuka pelan. Kak Angga berdiri di sana, wajahnya pucat tapi matanya penuh kekhawatiran.
Aku kaget, tapi nggak bisa ngomong apa-apa. Dia melangkah pelan, duduk di kursi sebelah ranjangku.
“Dek...” suaranya serak. “Kamu bikin Kakak takut banget, tahu nggak?”
Aku cuma bisa senyum tipis. “Maaf, Kak. Aku nggak sengaja. Badanku lemah aja.”
Dia menatapku lama, matanya merah. “Kamu tuh kalau capek bilang. Jangan didiemin semua. Kakak bisa dengerin kok, meskipun kamu marah, meskipun kamu kesel.”
Aku menunduk. “Aku cuma... nggak mau Kakak ngerasa terbebani.”
Dia menggeleng pelan, lalu menggenggam tanganku. “Beban Kakak tuh justru waktu kamu menjauh.”
Tangannya hangat, genggamannya lembut. Di situ aku sadar, semua diamku kemarin cuma bentuk pelarian. Aku takut berharap terlalu tinggi, tapi ternyata malah nyakitin diri sendiri.
Mama yang dari tadi duduk di pojok cuma tersenyum kecil, lalu pura-pura sibuk dengan ponsel, membiarkan kami berdua bicara.
“Dek,” kata Kak Angga pelan. “Kalau kamu masih mau Kakak di hidup kamu, Kakak janji... nggak akan ninggalin, nggak akan bikin kamu ngerasa sendirian lagi.”
Aku menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya—tulus, dalam, dan hangat.
Aku mengangguk kecil. “Aku percaya, Kak.”
Dia tersenyum, senyum yang udah lama nggak kulihat. Suara detak jantungku pelan tapi pasti, seolah menyesuaikan ritme dengan napasnya. Dan di tengah suasana hening itu, aku ngerasa tenang akhirnya.
Mungkin hubungan kami belum jelas kedepannya kaya gimana,Tapi untuk pertama kalinya, aku nggak takut lagi. Karena meskipun semuanya belum sempurna, kali ini aku tahu... aku nggak sendirian.
Dan di luar sana, matahari mulai muncul di balik jendela klinik. Cahayanya jatuh pelan di wajah Kak Angga. Hangat. Sama seperti rasa yang mulai tumbuh lagi pelan, tapi pasti.