Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Arkan baru saja tiba dan mendapati mobil sang Ayah terparkir di halaman rumahnya. Langkah tenangnya terayun memasuki rumah. Ketika tiba di ruang tamu, ia menemukan ayahnya bersama sang ibu duduk disana, seolah tengah menunggunya.
"Dari mana?" Monic bertanya dengan raut datar. Meski begitu, kilatan emosi yang terpancar dari matanya menjelaskan segalanya. Wanita itu marah pada Arkan.
"Mengantar Anin pulang." Arkan menjawab tenang.
"Sekretaris mu?"
"Ya."
"Kau rela meninggalkan Kean yang sakit demi mengantarnya? Kau waras Arkan? Dia hanya sekretaris, kenapa—"
"Dia yang merawat Kean. Mengurus Kean dengan baik seperti darah dagingnya sendiri. Apa salahnya aku mengantarnya pulang? Lagi pula kondisinya juga tidak baik. Dia kelelahan karena mengurus Kean yang lebih suka menempel padanya dibanding aku."
"Kau bisa minta tolong Ibu atau—"
"Vanesha? Bu, Arkan yakin Ibu tahu, Kean tidak menyukai sembarang orang. Ibu sendiri pernah merasakan ditolak Kean."
"Sudah. Kenapa kalian ribut? Arkan, sana temani Kean."
Arkan menatap Ayah-nya sejenak, kemudian berbalik menemui Kean. Meski begitu, ada perasaan bersalah pada Ibunya karena sudah berbicara sedikit tak sopan pada wanita itu.
"Papa?"
Raut dingin wajah Arkan langsung berubah lembut. Lelaki itu mendekat dan langsung menggendong Kean. Bi Asti yang sejak tadi menemani Kean segera berpamitan keluar.
"Kakek dan Nenek datang."
"Ya, Papa sudah bertemu mereka," jawab Arkan. "Bagaimana sekarang? Kau sudah semakin baik?"
Kean mengangguk pelan. "Sudah. Bagaimana keadaan Tante cantik?"
"Dia sudah baik-baik saja."
Kean menghembuskan nafas lega. Anak itu kemudian memeluk Arkan cukup erat sambil menyusupkan wajahnya di ceruk leher Arkan.
"Kenapa Tante cantik tidak jadi Mama Kean saja?" Anak itu bergumam pelan. Arkan tentu saja mendengar. Ia mengusap pelan kepala putranya.
"Kau ingin tante Anin menjadi Mama?" Anak itu mengangguk. "Sudah memberitahunya?"
Kean menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Arkan, lalu menatap wajah sang Papa. "Sudah."
"Dia bilang apa?"
"Kean boleh anggap Tante cantik sebagai Mama, tapi Kean tidak boleh panggil Tante cantik Mama. Kata Tante, Papa Kean orang penting. Status Mama Kean hanya dimiliki oleh perempuan yang menjadi istri dari Papa Kean. Saat Kean memanggil Tante Mama, akan ada banyak orang yang salah paham. Papa Kean juga belum tentu mengizinkan Kean memanggil Tante Mama."
"Dia bilang begitu?" Kean mengangguk. Sejenak di antara mereka tak ada percakapan. Hingga beberapa detik kemudian Arkan kembali berbicara.
"Kean benar-benar mau Tante Anin menjadi Mama Kean?"
"Iya."
"Akan Papa usaha kan."
Mata Kean langsung berbinar cerah. Apa maksud Papanya ingin menjadikan Tante cantik sebagai Mama nya?
"Akan Papa usahakan untuk bawa Tante Anin ke rumah ini, sebagai Mama Kean."
Anak itu langsung memeluk Arkan erat. "Terima kasih, Papa."
"Hm. Tapi, Kean harus janji untuk cepat sehat."
"Iya, Kean janji."
"Bagus. Ayo, kita turun. Papa harus minta maaf pada Nenek."
"Kenapa minta maaf?"
"Papa sudah berkata tidak sopan."
"Ya sudah, ayo!"
Arkan tersenyum tipis melihat tingkah putranya. Sepertinya menjanjikan Anin untuk menjadi Mamanya membuatnya sangat bersemangat walau sedang tak enak badan.
***
Beberapa hari berlalu. Anin melakukan pekerjaannya seperti biasanya. Usai melakukan rapat bersama beberapa kepala divisi, Anin bersama Arkan kembali ke ruangan masing-masing.
Anin merapihkan kembali semua hasil rapat sebelum menyerahkannya pada Arkan nanti. Ditengah kesibukannya, tiba-tiba ia merasa haus dan ingin menikmati segelas teh hangat. Tanpa berpikir panjang, segera ia meraih gelas miliknya lalu bergegas menuju pantry kantor.
Beberapa menit setelah kepergian Anin, Arkan keluar dari ruangannya. Ia mendekat ke ruangan Anin, mencari keberadaan perempuan itu. Namun, ia tak menemukan nya.
"Kemana dia?" gumam Arkan. Saat matanya mengarah pada meja kerja Anin, gelas yang biasa perempuan itu gunakan menghilang. Dia langsung tahu, kemana perempuan itu pergi.
Segera Arkan menuju pantry kantor. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu pantry ketika melihat Anin yang sedang berbincang dengan Yoris. Terlihat santai, akrab, bahkan Anin sampai tertawa pelan karena lelucon yang Yoris lontarkan.
Tangan Arkan terkepal. Raut wajahnya berubah dingin, begitupun dengan sorot matanya yang menajam.
"Ekhm!"
Seketika tawa keduanya terhenti dan berbalik menoleh ke arah pintu. Wajah keduanya berubah tegang. Anin langsung menundukkan kepala. Entah kenapa, hawa di ruangan tersebut langsung berubah mencekam.
"Pak—"
"Ke ruangan saya." Arkan berbalik, tak peduli dengan apa yang hendak Yoris katakan. Langkahnya tenang meski ia marah. Namun baru beberapa langkah, Arkan berhenti.
"Hanya Anin, kau kembali ke ruangan mu." Arkan kembali melanjutkan jalannya tanpa sedikitpun menoleh ke arah belakang.
Anin hanya bisa menurut, begitu juga dengan Yoris. Ketika tiba di lantai atas di ruangan Arkan, Anin hanya bisa berdiri diam sambil menunduk.
"Kenapa menunduk?"
Anin sedikit mengangkat wajahnya, menatap Arkan yang duduk tenang di kursi kerjanya.
"Pak, saya minta maaf. Saya-—"
"Hubungan seperti apa antara kau dan karyawan itu?"
"Kami hanya berteman, Pak."
"Kau yakin?"
"Sangat yakin, Pak. Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan nya."
Arkan mendengus pelan. "Baiklah, saya memaafkan mu, tapi kau tetap harus dihukum. Tugasmu, periksa semua laporan itu. Selesaikan hari ini juga."
Anin melirik tumpukan dokumen yang ada di atas meja. Dia sedikit meneguk ludah. Bagaimana dia bisa menyelesaikan nya? Kalau pun selesai, pasti akan memakan waktu yang melampaui jam kantor. Sekarang saja sudah pukul 2 siang. Tidak mungkin ia menghabiskan semua dokumen itu dalam waktu beberapa jam saja.
"Pak—"
"Tidak ada keringanan, Anin. Kau harus menyelesaikan nya."
Kembali Anin meneguk ludah. Perlahan, tangannya mulai bergerak meraih tumpukan dokumen tersebut.
"Untuk apa kau mengangkat semuanya?"
"Mau saya bawa ke ruangan saya, Pak."
"Kerjakan semuanya disini. Jangan kembali ke ruangan mu sebelum semuanya selesai."
Anin menatap Arkan. Ingin rasanya ia melayangkan protes. Tapi, ia takut. Takut dimarahi Arkan sebab selama ini belum pernah sekalipun dia dimarahi Arkan.
Tanpa banyak bicara, Anin mendudukkan tubuhnya di kursi depan meja Arkan. Dengan perasaan canggung, ia mulai meraih satu persatu dokumen laporan untuk diperiksa nya.
Arkan yang duduk di depannya tersenyum tipis dalam diam. Matanya fokus menatap Anin yang mulai serius mengerjakan pekerjaannya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Arkan masih duduk tenang di kursi kerjanya sambil menatap lembut Anin yang tengah terlelap sejak beberapa jam lalu.
Tangan Arkan terulur menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Anin. Lalu ibu jarinya mengusap lembut pipi Anin.
Namun, semua itu tak membuat Arkan cukup puas. Ia bergerak meninggalkan kursi kerjanya lalu mendekat pada Anin. Ia berdiri tepat di samping Anin lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, mengecup pelipis perempuan itu.