(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tercyduk oleh suami
Michelle mengaduk adonan kue dengan gerakan tenang, sementara Roslina sibuk membantu menyiapkan cetakan bolu. Setiap langkah yang dilakukan Michelle selalu mengikuti arahan Roslina—karena hanya dialah yang memahami selera suaminya dengan tepat.
“Bagaimana pertemuan di sekolah tadi?” tanya Roslina.
Michelle tersenyum lembut, tatapannya tajam namun hangat. “Aku tidak mengerti mengapa kepala sekolah tiba-tiba bungkam setelah Om Al menyerahkan map itu,” ujarnya dengan takjub.
“Benarkah?” Roslina ikut tersenyum, seakan mendengar kabar kemenangan.
Michelle mengangguk cepat, matanya berbinar. “Kini aku tak perlu lagi terjebak dalam kekhawatiran tentang pendapat orang-orang di sekolah soal nilainya. Om Al benar-benar luar biasa.”
Roslina melepaskan tawa tipis, penuh kelegaan. “Kalau Tuan Muda sudah turun tangan, berarti semua masalah akan selesai. Kita, yang terkena dampaknya, bisa bernapas lega.”
“Sekarang aku semakin yakin bahwa Om Al bukanlah monster kejam tanpa hati seperti yang orang katakan di luar sana.” Michelle dengan keyakinan yang bertambah.
Michelle dengan cekatan memasukkan adonan yang sudah dituangkan ke dalam cetakan ke oven, lalu dengan tenang merapikan sisa bahan-bahan yang berserakan di pantry.
Roslina memilih duduk, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Saya boleh bertanya, Nona?" suaranya lembut memecah keheningan.
Michelle mengangguk, "Tentu."
Roslina menatapnya penuh ingin tahu, "Anda tahu penyebab batalnya pernikahan Tuan Muda dengan kakak Anda?"
Sekali lagi Michelle mengangguk pelan, matanya jauh menerawang, "Aku memang tahu. Kak Elena kabur setelah melihat luka besar di pipi kanan Om Al. Aku juga sudah melihatnya," ucap Michelle tanpa ragu, membuat beban di dada Roslina perlahan melegakan.
"Apakah Nona tidak takut pada Tuan Muda karena wajahnya itu?" tanya Roslina penasaran.
Michelle terkekeh ringan, menggulung lengan bajunya, "Takut buat apa? Itu cuma luka, bukan Om Al tiba-tiba jadi monster," canda Michelle sambil tertawa kecil, disusul tawa ringan Roslina.
"Menurutku, luka Om Al itu sebenarnya bisa dihilangkan. Tapi entah kenapa, dia seperti sengaja membiarkannya tetap ada," ujarnya sambil menatap ke arah oven yang sudah menyala.
“Anda ingin tahu alasannya?” tanya Roslina dengan tatapan misterius.
Michelle mengedik bahu, mencoba menyembunyikan rasa penasaran yang membuncah. “Tentu saja, kalau Bu Ros berkenan memberitahu.”
Roslina menarik napas dalam-dalam, suaranya berubah pelan namun penuh arti. “Tuan Muda sengaja melakukannya supaya ia selalu teringat akan luka terdalamnya—luka yang terjadi tepat saat ibunya meninggal. Ada sesuatu yang ingin ia balaskan setiap melihat luka itu.”
“Eh, Om Al tidak punya ibu lagi?” Michelle terkejut, matanya melebar.
Roslina mengangguk mantap. “Betul. Meski Tuan Muda terlihat seperti pria yang tak kekurangan kasih sayang seorang ibu, kenyataannya ia sudah kehilangan itu sejak umur tujuh tahun. Tapi...”
Michelle langsung duduk lebih dekat, suaranya menurun mendengar Roslina mendadak menghentikan perkataannya, “Tapi kenapa, Bu?”
Roslina tersenyum tipis, ada kehangatan dalam suaranya. “Meski kehilangan kasih ibu, Tuan Muda tak pernah benar-benar kekurangan cinta keluarga. Ia beruntung punya kakak perempuan yang membesarkannya, bahkan menggantikan peran sang ibu yang hilang.”
“Om Al dirawat oleh kakaknya?” tanya Michelle, mencari kepastian.
Roslina mengangguk lagi, “Iya, kakaknya adalah pelita dalam gelapnya masa lalu Om Al. Walaupun saya dulunya hanya pengasuh tuan muda, peran terbesar justru ada pada kakaknya. Saat kakaknya pergi ke sekolah, saya yang menjaga, tapi selebihnya, dialah yang selalu berdiri tegak menjaga dan membimbingnya,"
Michelle menatap dengan mata berkilat, "Kakaknya Om Al, sungguh luar biasa," Ia menghela napas, menatap kosong ke depan. "Kalau suatu saat bertemu dengannya, aku ingin sekali mengucapkan terima kasih..."
"Untuk apa?" Roslina memiringkan kepala, penasaran.
"Karena dialah yang telah membentuk Om Al menjadi sosok hebat seperti sekarang," jawabnya, membuat tawa kecil keluar dari mulut Roslina—renyah namun hangat.
Roslina mengusap lembut lengan Michelle. "Suatu saat nanti, nona pasti akan bertemu dengannya."
Bangkit dari tempat duduk, Roslina berkata, "Sudah, aku ingin ke depan. Tuan muda sebentar lagi pulang."
Michelle menarik wajah cemberut, "Aku ingin ikut menyambut Om Al, tapi... siapa yang jaga bolu di sini? Apa boleh aku di sini saja?"
"Tentu saja boleh," jawab Roslina sambil melangkah keluar dari dapur, meninggalkan Michelle dengan suasana hati yang sangat baik.
Michelle menatap layar ponselnya, sebuah pesan masuk. Matanya membulat saat menemukan sebuah nomor tak dikenal—namun terlihat resmi, seolah berasal dari sebuah perusahaan lelang ternama. Ia membuka pesan itu perlahan, hati berdegup tak menentu.
“Benarkah ini...?” gumamnya, suaranya nyaris tercekat dalam ketidakpercayaan.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, dari Celline, pemilik sanggar lukis tempatnya bernaung. “Selamat, Nona Manis, lukisanmu terjual dengan harga sepuluh milyar,” bunyi pesan itu.
Mata Michelle sudah basah, ia terhenyak, lalu tak kuasa menahan teriakan bahagianya. Ia melonjak dari kursi, tubuhnya menggeliat tak tertahankan oleh kegembiraan yang meledak-ledak.
“Yeay! Lukisanku... terjual dengan harga fantastis!” serunya, berulang kali, suaranya memenuhi ruang yang hening, karena para pelayan yang sedang berkumpul di ruang utama.
“Aku akhirnya punya uangku sendiri!” jerit Michelle, penuh kemenangan.
Tanpa disadari, Alfred berdiri terpaku di ambang pintu dapur, matanya membelalak menatap Michelle dengan campuran bingung dan tak percaya. Ia terpaku melihat gerakan aneh yang dilakukan istrinya—tarikan halus pada sudut bibirnya yang membentuk senyum miring penuh misteri.
"Dia sungguh gadis aneh!" gumam Alfred, menggeleng kepala pelan.
Namun, saat Michelle berbalik menghadap pintu, waktu seolah berhenti. Tubuhnya membeku, kedua tangan masih terkepal di atas, dan matanya melebar dalam kepanikan yang menusuk.
"Om...?" suaranya tergetar, nyaris tak terdengar, mengandung tanya sekaligus keterkejutan.