Di tengah masalah pelik yang menimpa usaha kulinernya, yang terancam mengalami pengusiran oleh pemilik bangunan, Nitara berkenalan dengan Eros, lelaki pemilik toko es krim yang dulu pernah berjaya, namun kini bangkrut. Eros juga memiliki lidah istimewa yang dapat membongkar resep makanan apa pun.
Di sisi lain, Dani teman sedari kecil Nitara tiba-tiba saja dianugerahi kemampuan melukis luar biasa. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah belajar melukis. Paling gila, Dani tahu-tahu jatuh cinta pada Tante Liswara, ibunda Nitara.
Banyak kejanggalan di antara Dani dan Eros membuat Nitara berpikir, keduanya sepertinya tengah masuk dalam keterkaitan supernatural yang sulit dijelaskan. Keterkaitan itu bermula dari transfusi darah di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OMIUS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Kedua Belas
Pulang dari Teman Segar, Nitara langsung melanjutkan aktivitas kesehariannya di RM. Sambal Kejora. Telah meyakini lidah istimewa Eros adalah solusi penyelamat rumah makannya, rencananya besok pagi Nitara akan memanfaatkannya. Dia hendak meminta Eros untuk membongkar resep pembuatan minyak aroma terapi ibunya. Tak peduli ibunya mungkin kurang menyetujuinya, dikarenakan sumpah yang terlanjur diucapkan. Baginya, sang ibu akhirnya kembali hidup bersama ceria adalah kebahagiaannya.
Di tengah kesibukannya di dapur rumah makannya, Nitara sempat melihat seorang pria masuk ke dalam dapur. Pria yang gerakannya tampak terburu-buru itu sepertinya hendak mendekati dirinya. Nitara sendiri mengenali pria itu sebagai Irman, anak asuh ibunya.
“Dek Tara, lekas pulang sekarang juga!”
“Kenapa sih Kak Irman sampai ngos-ngosan begitu?”
“Ini gawat, Dek Tara. Gawat darurat!”
“Gawat apa? Coba Kak Irman ambil nafas dulu, baru bicara!”
“Rumah Ibu didatangi perampok!”
Terkesiap Nitara. Jelas sekali Irman menyebut rumah ibunya tengah didatangi perampok. Sedangkan yang diketahuinya, saat ini ibunya di rumah hanya ditemani seorang pembantu, perempuan lagi. Kompleks tempat rumahnya berada senantiasa sepi meski siang hari seperti sekarang. Tak heran dalam satu dasawarsa ini sudah dua kali terjadi aksi perampokan. Hanya saja aksi perampokan di siang hari bolong, apalagi sampai menyasar rumahnya adalah musibah.
“Ibu gimana?” desak Nitara, langsung panik memikirkan ibunya.
“Alhamdulillah, Ibu enggak apa-apa. Perampoknya juga sekarang sudah pergi.”
Rasanya seperti berpapasan dengan seekor macam, namun hanya lewat begitu saja di depan mukanya, demikian gambaran kelegaan Nitara mendengar penjelasan Irman.
“Waktu perampoknya datang Kak Irman ada di rumah?”
“Kakak datang ke rumah pas perampoknya sudah pergi. Sudah ramai orang.”
“Jam berapa rumah Ibu didatangi perampok?”
“Sekitar jam dua. Kakak sendiri baru datang jam setengah tiga.”
“Kenapa Kak Irman enggak langsung nge-WA Tara? Ibu, kan sekarang susah kalau mau pakai hape.”
“Sedari tadi Kakak sudah ngontak Dek Tara, tapi hapenya enggak aktif terus.”
Pengakuan Irman menampar ingatan Nitara. Adalah benar ponselnya saat ini tak aktif akibat kehabisan daya. Sebenarnya saat hendak pulang dari kediaman Eros, dirinya sempat memeriksa kondisi baterai ponselnya. Memang tinggal 4% saja daya tersisa. Rencananya setibanya di RM. Sambal Kejoa, dia akan langsung mengisi daya ponsel. Lacur, dia malah lupa akibat seketika aktif bekerja.
***
Benar yang dikatakan Irman, rumah ibunya saat ini tengah ramai oleh para tetangga. Malahan mobil polisi sudah parkir di depan jalan. Meski Irman tadi sudah menjelaskan kondisi ibunya yang baik-baik saja, namun Nitara tetap sukar melepaskan diri dari belenggu cemas. Dia harus menyaksikan sendiri kondisi ibunya.
Masuk ke dalam rumahnya, Nitara akhirnya menemukan ibunya yang memang dalam kondisi tak kurang apa pun. Hanya saja ibunya tampak syok, trauma atas kejadian perampokan di rumahnya. Ibunya tengah duduk di sofa ruang tengah. Dua ibu-ibu tetangga sebelah tampak tengah berupaya menurunkan ketegangan ibunya.
Ibunya langsung menangis begitu melihat kedatangan dirinya di rumah. Nitara sendiri memilih membiarkan ibunya menangis dalam dekapannya. Dia mengerti, lewat tangisan ketegangan ibunya perlahan dapat direduksi.
Sampai kemudian ibunya akhirnya berhenti menangis, Nitara baru bertanya, “Ibu enggak apa-apa, kan?”
“Ibu enggak apa-apa, Tara. Tapi, Dani ....”
“Kenapa dengan Dani?” timpal Nitara spontan. Kembali dirinya lupa akan cerita Irman sebelum bergegas datang kemari. Sewaktu perampokan terjadi ibunya bukan hanya ditemani seorang pembantu, melainkan bersama Dani juga.
Ibunya tidak menjawab. Hanya menunjuk pada permukaan meja makan yang terdapat di ruang tengah. Sementara Nitara sendiri langsung terkesiap lagi. Dia menemukan ceceran darah segar di permukaan meja makan.
Bukan di permukaan meja makan saja, ceceran darah juga menampak di lantai. Dengan kata lain baru saja terjadi tindak kekerasan di kediamannya. Sedangkan dirinya tengah menanyakan kondisi Dani pada ibunya. Lagi-lagi Nitara harus kembali cemas.
“Bu, Dani enggak apa-apa, kan ...?”
“Dani kena sabetan belati perampok, soalnya Dani melawan perampoknya. Dani terluka di bagian lengan sama paha.”
“Jadi Dani .....” Nitara sampai tak sanggup meneruskan kata-katanya. Jantungnya berdegup tak karuan karena mengerti, sepertinya Dani telah menjadi korban kekerasan perampok yang menyatroni kediamannya.
“Begitu melihat Ibu didorong sampai jatuh sama perampok, Dani jadi kayak kesetanan. Terus berkelahi lawan perampok yang jumlahnya enam orang. Dani terluka dan berdarah-darah, tapi Dani malah semakin kesetanan melawan. Perampoknya jadi ketakutan sendiri lihat Dani. Syukur, mereka akhirnya memilih kabur saja.”
“Terus kondisi Dani sekarang, Bu?”
“Tara tenang saja, Dani sehat-sehat saja kok.” Giliran ibunya yang kini mencoba menenangkan kecemasan Nitara.
“Harus tenang gimana! Kata Ibu tadi, Dani sampai berdarah-darah kena sabetan belati!”
“Perampoknya memilih kabur semua, berarti Dani yang menang kelahi, kan? Memang Dani terluka dan berdarah-darah, tapi dia seperti enggak merasakannya. Dani sudah dibawa ke rumah sakit sama tetangga.”
Meski kemudian kembali bisa bernafas lega, namun Nitara tak urung sempat gerah juga. Penuturan ibunya dinilainya terlalu berpanjang lebar dulu. Padahal dirinya sudah sangat khawatir akan kondisi Dani. Dia pun mempertanyakan Dani yang memilih nekat berkelahi melawan perampok. Sedangkan teman yang satu itu bukanlah tipikal lelaki jagoan.
“Gara-gara kenekatan Dani, perampoknya enggak sempat menjarah barang berharga di rumah kita. Cuma ....”
“Cuma apa, Bu?” desak Nitara yang cemas lagi. Tiba-tiba saja ibunya yang sudah tampak tenang kini malah kembali menangis.
“Sebelum berkelahi dengan Dani, salah seorang perampok masuk kamar ibu. Terus menggondol brankas.” Sembari tetap menangis ibunya menyempatkan diri bercerita.
Embusan nafas panjang langsung keluar dari kedua lubang hidungnya. Pantas saja ibunya menangis lagi, Nitara dapat memahami sekali. Saat ini brankas yang dibawa perampok justru benda paling berharga di rumah. Barangkali para perampok itu akan kecewa, atau malah murka begitu mendapati isi brankas yang cuma berisi botol-botol minyak aroma terapi. Tetapi, bagi ibunya kehilangan persediaan botol minyak aroma terapi adalah petaka.
Bukan ibunya saja yang terpukul, Nitara pun harus serta-merta lemas mendengar persediaan botol minyak aroma terapi digondol perampok. Selain yang tersimpan di dalam brankas, persediaan botol minyak aroma terapi tak bakalan ditemukannya di rumah.
Tragis memang. Di kala dirinya tengah optimis mampu menyelamatkan RM. Sambal Kejora, persediaan minyak aroma terapi yang tersisa malah raib begitu saja. Padahal besok pagi dirinya telah berencana, membawa sampel minyak aroma terapi untuk dijilati lidah Eros. Apa mau dikatakan lagi, masa depan rumah RM. Sambal Kejora sepertinya akan semuram rona muka ibunya
o12o