Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Ali
Setelah genap satu Minggu, dalam kelas yang berubah dingin, mahasiswa menunggu kelompok Vania, Rayhan dan Ali untuk presentasi. Di bangku depan, Vania duduk di dekat laptop, jemarinya siap menekan tombol untuk menampilkan slide.
Vania mengamati kedua pria yang saling memunggungi, seolah ada tembok tinggi di antara mereka. Entah apa yang terjadi sebelumnya, Vania hanya berharap presentasi mereka akan berjalan lancar.
Tiba saatnya mereka menjelaskan slide demi slide. Awalnya semua berjalan dengan lancar, namun saat giliran Ali menjelaskan dengan wajah serius, ucapannya dipotong Rayhan.
“Li, data itu udah gue koreksi, data yang bener ada di slide berikutnya.”
Ali menoleh cepat, sorot matanya menusuk. “Lo pikir gue gak ngerti materinya?”
Rayhan menahan diri untuk tidak terpancing. “Gue cuman gak mau audiens bingung dengan penjelasan lo yang pakai data lama.” Nada suaranya terdengar tenang tapi juga tegas.
Bisik-bisik mulai terdengar dari kursi depan, ketika melihat perdebatan kecil Rayhan dan Ali. Vania mulai gelisah, tangannya mengambang di atas keyboard, bimbang harus menampilkan slide mana.
“Slide lima, Van. Biar jelas,” kata Rayhan setengah mendesak.
“Jangan, Van. Tetap di slide empat!” sahut Ali keras.
Ruangan semakin memanas, Pak Deni pun menggeleng pelan melihat kinerja kelompok Rayhan. Vania menghela napas panjang, lalu menampilkan slide enam—bagian kesimpulan yang menampilkan data lama dan baru.
“Stop!” suaranya terdengar mantap, “Kita langsung saja ke kesimpulan, biar jelas garis besarnya.”
Pak Deni mengangkat alisnya, kemudian mengangguk setuju.”Itu lebih baik, daripada menonton perdebatan kalian.”
Ali berdecak pelan, sedangkan Rayhan hanya merapatkan bibirnya, mereka memilih diam. Akhirnya Vania yang melanjutkan presentasi yang sempat tersendat, walau dengan jantung yang berdetak cepat. Ia tahu, ketegangan pribadi di keduanya berhasil menodai kerja kelompok mereka.
Saat kelas sudah berakhir, Vania melirik tajam Rayhan dan Ali bergantian. Jelas ia merasa kesal, ingin rasanya ia menjitak kepala mereka satu-satu.
“Bisa gak sih, kalian fokus pada satu hal dan singkirin ego masing-masing?”
“Gue gak peduli tentang masalah kalian sebelum presentasi hari ini. Tapi ... kalian sukses bikin nilai kita berkurang ditugas kali ini.” imbuhnya dengan kesal yang masih mencuat.
Ali mendengus kasar, balik menatap Vania dengan senyum miring. “Lo kalau tahu alasan gue dan si brengsek ini, mungkin lo juga gak bakal bisa fokus pada presentasi.”
Setelah mengatakan itu, Ali beranjak pergi menyisakan pertanyaan yang tak bisa Vania pahami. Vania menoleh pada Rayhan seakan meminta penjelasan. Akan tetapi, hanya senyuman mencurigakan yang Rayhan hadirkan tanpa sepatah kata pun yang menenangkan.
“Udah, gak usah dipedulikan. Ini hanya masalah anak band.” Balas Rayhan santai.
***
Sore itu, di atas rooftop rumah Pandu, langit perlahan membawa jingga keemasan. Hamparan atap rumah-rumah tetangga tampak redup, sementara bayangan panjang menelan jalanan di bawah.
Rayhan memetik asal gitar dengan padangan yang mengawang entah ke mana. Pandu menghampiri dengan membawa dua cangkir yang masih mengepul, tersapu angin senja dan meninggalkan aroma kopi yang kuat.
“Jadi yang dikatakan Ali tentang lo gak mau nemenin Cassie itu bener, Ray?” tanya Pandu memecah keheningan.
Rayhan mengangguk lemas,
“Gue paham lo gak punya kewajiban untuk selalu ada buat Cassie. Walau pun dari dulu kita sudah menganggap Cassie seperti adik kita sendiri. Tapi, Cassie mungkin menganggap lo lebih dari sekedar teman kakak sepupunya.”
“Tapi permintaan gila Ali gak bisa gue turutin, Pan. Coba kalau lo yang di posisi gue, emangnya lo mau?”
Pandu terdiam. Jelas jawabannya tak jauh berbeda seperti Rayhan. Ia pun tak mungkin bisa menjadi pacar Cassie, walau itu hanya sementara. Semua itu karena permintaan Ali yang menginginkan kebahagiaan Cassie, yang selama ini mengidap leukimia dan sudah di tahap akhir.
Ketika Cassie mimisan hebat dan pingsan di pesta beberapa hari lalu, di situlah keadaan Cassie memburuk dan mengalami kritis. Saat itulah Rayhan mengetahui kebenaran: tentang penyakit Cassie beserta alasannya yang tak kunjung pulang, di karenakan sedang menjalani serangkaian pengobatan.
“Gak mau, kan?” tanya Rayhan sambil melirik.
“Jelas lah, gue kan udah punya Okta. Kalau lo kan belum jadian juga sama Vania.” sahut Pandu santai.
“Walaupun gue belum jadian, tapi gue udah punya peluang lebih besar. Gue rasa Vania juga udah mulai suka sama gue.”
Pandu mengangkat alisnya. “Yakin banget lo.”
“Yakin lah, kemarin aja dia ke rumah gue dan bilang kalau lagi kangen.” Balas Rayhan. Suaranya terdengar mantap.
“Lo mungkin lagi teler,” Pandu terkekeh meremehkan.
“Lo pikir gue kaya Ali, yang suka dugem.”
“Baikan gih,”
“Siapa?”
“Lo itu sama Ali, gak baik tau diem-dieman kaya bocah SD lo pada.” Ujar Pandu setengah menasehati.
“Gue mah biasa aja, si Alinya aja yang gak mau deket sama gue.”
Tiba-tiba pintu rooftop terbuka cukup keras.
Brak!!
Pandu dan Rayhan sontak terpelonjak mendengar bantingan pintu yang cukup keras. Refleks pandangan mereka mengarah pada sumber suara. Terlihat Ali berjalan dengan langkah yang memburu, sorot matanya sembab seperti seseorang yang baru saja menangis. Ia berdiri tepat di depan Rayhan, bahunya naik turun seolah sepanjang perjalanan tadi ia berlari sekuat tenaga.
“Kenapa lo?” tanya Pandu heran.
“Ali, lo nangis?” kini Rayhan yang terheran melihat mata Ali memerah dan sembab.
Tak ada jawaban, Ali yang masih diam berdiri menatap Rayhan dengan tangan yang mengepal kuat. Takut Ali melakukan sesuatu yang di khawatirkan, mengingat keduanya sempat bersitegang, Pandu berniat menengahi mereka.
Namun, bukannya melayangkan pukulan, Ali justru bertekuk lutut dengan kepala yang menunduk. Hal itu jelas mengejutkan Rayhan dan Pandu.
“Li?! Lo ngapain sih? Ayo berdiri!” Rayhan mencoba mengangkat bahu Ali dan ditepisnya kasar.
“Ali lo lagi akting drama lagi, kan? Jelek banget, udah ayo berdiri,” ujar Pandu.
Ali masih tak bergeming, jemarinya terkepal kuat hingga buku-buku tangannya memutih. Tak lama, dengan kepala yang masih menunduk, air mata jatuh membasahi punggung tangannya. Bahunya bergetar, seolah badai berat menghantam tubuhnya.
Dengan suara yang berat dan rapuh, Ali berseru, “Ray ...”
“Iya, kenapa sih? Sini duduk jangan bikin gue gak enak hati gini!”
“Gue minta maaf ... dan gue mohon banget tolong kabulin permintaan gue tentang Cassie ....”
Rayhan mendengar itu langsung mendengus kasar, ia mengusap wajahnya sembari menarik dinginnya senja yang kian menusuk.
“Gue kan udah bilang, gue gak bisa, Li. Meski itu hanya pura-pura pun gue gak bisa. Gue sukanya sama Vania, dan gue gak mau melukai perasaannya.”
“Apa perlu gue sujud, Ray? Biar lo mau pacaran sama Cassie?!”
Rayhan tak menjawab, ia hanya memijit pangkal hidungnya. Ia mencoba tenang, tak ingin terbawa arus emosi yang Ali bawa.
“Buat apa sih lo masih ngejar Vania, bukannya taruhan kita udah selesai dan lo gagal dapetin Vania. jadi, lebih baik lo sama Cassie, Ray. Jelas dia yang lebih menyukai lo daripada Vania.”
“Ali, jangan pancing Rayhan. Kenapa lo ngotot banget mau Rayhan pacaran sama Cassie?” kini Pandu ikut sebal dengan Ali yang mengungkit kembali soal taruhan antara Ali dan Rayhan.
“Kenapa, Pan? Lo juga dukung mereka, mentang-mentang pacar lo sahabatnya Vania?” balas Ali dengan nada mengejek.
Pandu hanya memutar bola matanya dengan jengah, jelas sekali Ali sedang dalam mode mengajak semua orang ribut.
Ali kembali menatap Rayhan, masih dengan posisinya, ia senyum menyeringai .
“Bagaimana kalo Vania tahu dirinya pernah jadi bahan taruhan ya?”
Dengan satu gerakan, Rayhan menarik kerah baju Ali dengan kasar. Rahangnya mengeras, matanya berkilat tajam, menyalakan api yang tak bisa padam dengan kata-kata.
"Jaga ucapan lo, Li! Gue masih menghargai lo sebagai sahabat gue, jangan biarkan tangan gue membungkam mulut lemes lo dan menghancurkan persahabatan kita yang sudah terjalin lama!” balasnya dengan suara bergetar menahan amarah.
“Lo berdua! Jangan sama-sama keras kepala, kita bisa bicarakan semua baik-baik. Gak perlu adu urat kaya gini!” lerai Pandu mencoba menenangkan suasana yang kian memanas.
Ali kembali menurunkan wajahnya, bahunya kembali bergetar hebat. Saat itu juga, tangisnya pecah bersama dengan kabar yang membuat Pandu dan Ali membeku.
“Gue .... cuman ingin Cassie merasa bahagia dan dicintai disisa umurnya yang hanya sebulan ....”
“Dan, gue tahu dia sangat menyukai lo, Ray. Gue cuman bisa minta tolong sama lo.”
“Maksud lo apa, Li? Umur Cassie tinggal sebulan? Memangnya sudah separah itu?” tanya Pandu tak percaya.
“Lo gak usah nipu gue, Li. Gak lucu!” Rayhan pun mencoba menyangkal berita itu.
“Terserah kalian mau percaya gue atau gak. Tapi, Ray, tolong pikirin lagi permintaan gue. Kalau lo ngabulin permintaan ini, gue akan lakuin apapun yang lo suruh! Gue bersedia! Jadi, please ... pikirin ini sekali lagi.”
Rayhan terdiam, napasnya berat, seolah setiap tarikan napas membawa beban yang menyesakkan dada. Kata-kata Ali menghantam pikirannya tanpa ampun, menciptakan jurang dalam yang tak bisa ia lewati tanpa kehilangan sesuatu. Ia ingin menyangkal, ingin menolak, tapi tatapan Pandu dan tangisan pilu Ali membuat segalanya kian nyata.
Sore itu, Rayhan terseret dalam persimpangan yang kelam, tak tahu harus melangkah ke arah mana, ia hanya sadar bahwa pilihan apa pun akan melukai dirinya, Vania maupun Cassie.
sholeh bgt rayhan nih wkwk