Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 12
...-Aku nggak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi aku yakin pada apa yang aku mau dipandangan pertama-...
...***...
Langkah terseret membawa Yara masuk ke rumah. Setelah melewati beberapa waktu bersama Arum dan Barra di Rumah sakit, ia pikir masalahnya telah selesai. Ternyata ... Yara salah.
"Maaf, Yara. Kejadian Arum dan selain kacang itu bakal dibawa Pak Barra dalam rapat pertemuan wali murid."
Kepala Yara rasanya berat sekali, bebannya terasa begitu menghimpit hingga terasa sesak ke dada. Duduk sembarangan di sofa ruang tamu sederhana, Yara yang biasanya cinta kerapian kini membiarkan tas dan buku-buku tugas muridnya teronggok tak beraturan.
"Ya Allah, sekuat apa sih aku?! Kok cobaannya begini amat." Mulai mengeluarkan unek-unek di hati, ia menopang tangan di atas kepala seraya merebahkan diri.
Ingin rasanya Yara membela diri, tapi kenyataan bahwa Barra adalah donatur tetap di sekolah itu, membuatnya urung mengambil tindakan.
"Kamu yang sabar, Ya. Aku bakal bantu kamu sebisaku," ujar Gita, sesaat sebelum Yara pulang dari mengajar.
Di sepanjang perjalanan pikiran Yara seperti benang layangan, kusut karena tersangkut di atap kediaman mewah Barrata.
"Assalamualaikum." Suara seorang pria mengucapkan salam.
Yara bukan tak mendengar, ia menjawab salam itu dalam hati, tenaganya rasanya telah terkuras hingga tandas hari ini.
"Neng, Yara? Kenapa?" Latif yang datang, ia kebingungan mendapati Yara seperti kerupuk melempem, layu dan tak berdaya di atas sofa.
"Neng ..."
Yara masih diam. Lengan yang berada di keningnya perlahan diletakkan di atas kedua mata. Udara di sekitar terasa naik berapa celsius, membuat Yara merasa panas di kedua matanya.
Saat itu, Latif mencoba menarik lengan Yara, dan dia menemukan titik air mata di tepian pelipis Yara.
"Lho, kenapa nangis?!" Pemuda ini mulai panik. Ia gelisah, memaksa Yara untuk bangun dari rebahan.
Setelah berhasil membuat Yara duduk, kini Latif melihat genangan air mata di kedua pipi sang keponakan semakin nyata.
"Maaf, Neng. Jangan nangis, dong. Iya, tau aku nyebelin, aku nyusahin, aku banyak utang, cuman bisa jadi beban kamu. Tapi aku udah dapat kerjaan, Lho. Nih," cerocos Latif tak berhenti, ia memperlihatkan sebuah kunci di hadapan Yara.
Sembari mengusap air mata, Yara menarik napas agar tangisnya reda, "Kunci apa?"
"Mobil, dong. Aku sudah tanda tangan kontrak kerja sama Jefrey. Mulai besok aku jadi supir dia."
Mengetahui Jefrey bersedia memberikan pekerjaan pada Latif, yang sejatinya mereka kenal sebagai orang berbahaya dalam tanda kutip. Sungguh kebaikan Jefry membuat hati Yara menciut, pria itu terlalu baik.
Sedih dan pilu semakin memeluk Yara, tangis yang telah reda kini deras kembali. Latif tak tahu apakah Yara sangat terharu atas pencapaiannya atau justru ada hal lain yang membenahi pikirannya. Ia mengusap air mata Yara dan mengangkat wajah tertunduk sang keponakan.
"Kamu kenapa, sih? Aku nyebelin banget, ya? Aku bikin masalah lagi? Perasaan kejahatan terakhirku cuman pinjem duit sama artis terkenal itu, deh."
"Justru itu yang lagi aku tangisi, dongo!"
Kedua bola mata Latif membulat, "Dia apain kamu? Utangnya baru kemarin, temponya bulan depan. Emang dia udah nagih kamu?" Latif mendengkus, tak habis pikir kalau Barra benar-benar sudah menagih Yara.
"Nggak nagih, sih. Tapi dia ngasih peringatan sama utang kamu. Soalnya ..."
"Soalnya kenapa?" Latif dibuat penasaran dengan kata gantung Yara.
Gadis ini menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya kemarin-kemarin, juga masalah yang timbul karena imbas dari kejadian tersebut.
Latif menyarangkan agar Yara menawarkan diri jadi perawat Arum sampai gadis itu kembali sehat seperti sedia kala. Ia juga menyarankan untuk Yara menawarkan ganti rugi, atas semua pengeluaran Barra selama merawat Arum. Intinya, Latif mengajar Yara bagaimana cara bertanggung jawab.
Gayanya sudah seperti orang benar, berdiri di jalur lurus. Pada kenyataannya semua masalah Yara bermula dari dirinya. Namun, sikap perhatian Latif menyentuh hati Yara, baru kali ini dia merasakan keharmonisan dalam hidup bersama Latif.
Saat sedang berdiskusi, panggilan telepon dari Barra membuat Yara kesulitan menelan air ludah.
"Gimana, nih? Dia bakal ngomel atau ngancem?"
"Angkat aja dulu, inget yang aku ajarin tadi. Ngomong baik-baik, oke?"
Dengan patuhnya Yara mengikuti saran Latif, hingga ia menawarkan sebuah tanggung jawab besar terhadap semua masalah yang muncul.
"Oh, jadi dia pikir semuanya bisa diselesaikan pake duit?" ujar Barra dalam hati.
"Masalah tanggung jawab, aku bakal terima tawaran itu. Tapi masalah rapat dengan wali murid, aku nggak bisa batalin."
"Kok gitu? Saya 'kan bakal tanggung jawab, Pak."
"Laporkan sudah masuk, jadwal pertemuan sudah ditentukan. Intinya, semua wali murid sudah setuju untuk membahas keteledoran kamu dalam bekerja. berdoa aja, deh. Semoga masih ada harapan buat kamu ngajar di sekolah itu."
"Pak, apa nggak bisa dibatalkan. Bapak kan punya wewenang di sekolah itu."
"Wewenang apaan? Aku cuman donatur. Kedisiplinan di sekolah itu tetap dipegang para dewan sekolah. Maaf, Nona Yara. Hal ini sudah diluar kendaliku."
Yara menutup panggilan sepihak. Dia marah, dia kesal, boleh dong sesekali bersikap kasar pada pria plin-plan itu. Kemarin di Rumah sakit awalnya kasar, ketika Arum sadar dan mencari Yara, sikap Barra tiba-tiba melunak. Barra bahkan mengantarkan Yara pulang dengan mobilnya. Lantas hari ini ... Barra kembali berulah, menunjuk amarah yang membuat Yara ikut marah.
Diperlakukan seperti itu, Barra bukannya marah, ia justru tertawa. Memandangi sang gawai yang telah redup sinar layarnya, bayangan wajah Yara yang cemberut membuatnya semakin tertawa.
Untuk masalah dewan sekolah, Barra sempat mengajukan pembatalan laporan, namun, hal itu sudah terlanjur diketahui pihak sekolah dan menurut mereka kejadian ini kejadian fatal yang pernah terjadi di sekolah itu.
Para wali murid mengkhawatirkan keteledoran Yara akan menimbulkan dampak buruk untuk guru-guru yang lain, khawatir kedisiplinan mereka akan berkurang sebab tak memberi sanksi tegas pada Yara.
"Harus dapat. Aku nggak mudah menjatuhkan pilihan," gumam Barra.
Ia tengah menikmati waktu istirahat di sela kegiatan syuting. Kesibukan sebagai seorang artis yang sedang naik daun, tentu menyita waktunya.
Mengambil sepucuk rokok dan menyalakannya, pikir pria ini mulai berkenalan entah kemana. Yang jelas, seorang nona manis mulai masuk ke dalam hatinya, membuat hatinya yang selama ini tenang dan damai, mulai berisik.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan saran yang membangun, ya....
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum