Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Menipu
Satu minggu pun berlalu. Aku dan Gaga kembali ke Jakarta setelah tujuh hari wafatnya Om Haikal. Aku harus kembali mengajar, dan Gaga juga harus kembali bekerja.
Kami duduk dengan hening di mobil menunggu perjalanan ini membawa kami ke tempat tujuan. Gaga berubah menjadi lebih pendiam setelah kepergian ayahnya. Ia juga tak pernah membentakku selama seminggu ini. Namun bukan berarti sikapnya berubah baik padaku.
Sikapnya sama seperti dulu, menganggapku seakan aku tak ada. Hanya saat ada ayah dan ibuku ia sedikit menganggapku. Mereka selalu memaklumi sikap Gaga itu. Mereka selalu mengatakan, "Gaga pasti terpukul banget karena satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang udah gak ada. Kamu harus dampingi dia terus ya, Ra." Begitulah pesan kedua orang tuaku.
Entah aku ini memang bodoh atau apa, bibirku kelu untuk mengatakan seperti apa sebenarnya hubunganku dengan Gaga.
Ku lirik Gaga yang fokus menyetir di sampingku. Wajahnya dingin. Tak pernah aku melihatnya tersenyum lagi. Aku pun tak ingin repot-repot menghiburnya. Karena semua itu akan percuma. Gaga tak akan bisa terhibur olehku.
Hingga perjalanan yang terasa begitu panjang dan membosankan itu membawa kami ke tempat kostku. Ku buka seatbelt dan membuka pintu.
"Gak sopan banget lo. Minimal makasih udah dianterin," tegurnya ketus.
Aku pun menatap maaf ke arahnya sekilas. "Makasih atas tumpangannya. Aku turun dulu."
Ia tak menggubrisku. Saat aku kembali menutup pintu, mobilnya langsung melaju begitu saja. Aku menghela nafasku. Rasanya tidak akan ada yang berubah dengan kehidupanku setelah statusku berubah menjadi wanita yang sudah menikah.
Sudahlah, ku coba mengabaikan perasaan sakit itu dan fokus pada hidupku sendiri. Walaupun dalam hati aku begitu khawatir pada Gaga, namun segera aku hilangkan perasaan itu. Untuk apa aku khawatir? Ia pasti akan menghubungi Alleta jika ia membutuhkan seseorang. Bukan aku.
Hari-hari pun berlalu. Seperti bayanganku, hidupku terasa sama. Tak ada yang berbeda. Berbeda di awal saja, saat aku masuk kerja. Semua guru menyambutku dengan simpati. Mereka menghiburku karena kehilangan mertua di hari pernikahan. Padahal jika bisa mengatakannya, tak hanya itu saja kepelikan dalam hidupku, aku juga butuh untuk mendapat penghiburan mengenai sikap suamiku yang mungkin tak akan pernah berubah hangat sepanjang hidupku.
Namun setelah beberapa hari semuanya kembali normal. Tidak sepenuhnya, tapi. Karena kini aku memiliki nomor Gaga yang ku simpan, juga Gaga yang menyimpan nomorku, aku bisa melihat setiap kali Gaga membuat status di aplikasi perpesanan berwarna hijau itu.
Gaga sering kali membuat status yang menyiratkan bahwa ia tengah jatuh cinta. Seperti,
Terima kasih untuk selalu ada di saat seperti ini. I Love you so much.
Atau,
Mimpi yang jadi nyata. Setiap pulang selalu ada kamu.
Dan status lainnya.
Orang-orang yang mengenalnya pasti akan menyangka status-status itu ia tujukan untuk istrinya. Namun sebenarnya, status-status itu ia tujukan kepada kekasih gelapnya. Mungkin hanya aku yang mengetahui kenyataan itu.
Dari status itu aku jadi tahu bahwa mereka selalu bertemu setelah Gaga pulang bekerja. Timbul pertanyaan juga, mengapa Alleta bisa terus bertemu Gaga? Apa suaminya tidak mencurigainya?
Ah, sudahlah. Kenapa aku harus memikirkannya. Yang harus ku pikirkan adalah mau sampai kapan aku membohongi kedua orang tuaku? Aku selalu mengatakan bahwa Gaga tidak sedang bersamaku saat aku bertelepon ria dengan kedua orang tuaku karena Gaga begitu sibuk. Ia akan pulang larut malam.
Dan tentang status-status itu, Gaga bukan hanya menipu teman-temannya, tapi juga kedua orang tuaku. Ibuku pernah menyinggungnya, "Ibu seneng sekarang kalian udah mulai saling membuka perasaan. Ibu seneng sekali kalau lihat Gaga bikin status tentang kamu, Ra. Yang akur ya. Tapi kenapa kamu gak pernah bikin status kayak Gaga?"
Aku hanya bisa berbohong lagi dan lagi untuk menutupi itu. Hingga rasanya aku merasa semua ini semakin tidak bisa di biarkan. Aku harus menghentikannya. Ku beranikan diri untuk mengirim pesan pada Gaga. Baru saja aku akan mengirim pesanku padanya, Gaga meneleponku.
Tumben sekali?
"Halo," sapaku.
"Lo di mana?" tanya suara berat itu entah dari mana.
"Di sekolah. Ada apa?" tanyaku. Ada apa Gaga bertanya mengenai keberadaanku?
"Jam berapa lo beres kerja?"
"Ini udah selesai. Baru mau pulang."
"Gue ke sekolah lo sekarang. Tungguin."
Telepon pun terputus. Seketika jantung sialanku ini malah berdebar lagi tak karuan. Perasaan sakit dikhianati yang selama ini kurasakan, menguap entah ke mana.