Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.
Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.
Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.
bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalalu yang tak benar-benar hilang
Langit mulai meredup ketika pintu ruang rawat inap Margaret terbuka perlahan.
Suara langkah sepatu kulit bergema lembut di lantai, pelan namun mantap. Suster yang hendak masuk untuk mengganti infus terhenti, lalu membungkuk sopan.
“Pak… Anda tidak perlu menunggu di luar.”
Pria itu hanya mengangguk kecil. Tubuhnya tegap meski usia sudah meninggalkan garis-garis samar di wajahnya. Setelan jas hitam arang yang ia kenakan tampak kontras dengan suasana ruang rumah sakit yang serba putih.
Dia menatap Margaret—terbaring lemah dengan wajah yang pucat, selang di hidung dan suara mesin detak jantung mengisi ruangan. Matanya tak berkedip, tetapi ada guncangan dalam nafasnya.
Ayah angkat Margaret.
Pria yang selama ini dikenal Margaret hanya lewat telepon, atau lewat transferan bulanan, tanpa pernah tahu aroma parfumnya, atau getar nada suaranya ketika menyebut namanya.
Prince, yang duduk tak jauh dari sisi ranjang Margaret, langsung berdiri. Mata mereka bertemu. Untuk sejenak, tak ada suara. Tak ada salam. Hanya satu pandangan lelaki ke lelaki—yang satu memeluk dengan tubuh, yang satu memeluk dari jauh.
Karin terdiam di pojok, menghapus air mata dan memberi ruang.
Pria itu mendekat. Mengambil kursi, duduk perlahan di sisi ranjang Margaret. Jemarinya yang kasar menggenggam tangan Margaret—hati-hati, seolah takut retak.
“Maafkan Papa…”
Suara itu nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat Prince menunduk. Sakit yang terlihat bukan hanya milik Margaret. Tapi juga milik laki-laki yang baru belajar menyesal.
“Papa terlambat lagi, ya?” lirihnya, separuh berbicara pada diri sendiri.
“Dulu waktu kamu masih kecil… kamu selalu tunggu Papa pulang kerja. Duduk di ambang pintu, bawa gambar bunga dan bilang ‘ini buat Papa’. Tapi Papa selalu bilang ‘nanti, ya’…”
Tangisnya pecah pelan. Tertahan. Elegan, tapi runtuh.
“Tapi nanti itu gak pernah datang.”
Prince mengepalkan tangannya, matanya ikut memerah. Karin menggigit bibir, memilih diam, membiarkan ruangan itu penuh oleh pengakuan dan luka yang akhirnya bicara.
“Sekarang Papa di sini, Mar...”
Ia mengelus kepala Margaret, yang kini tanpa rambut. Wajahnya bergetar saat melihat bekas luka suntikan, wajah pucat, tubuh yang tinggal kulit dan tulang.
“Papa gak mau lagi terlambat.”
Dan entah bagaimana, sebutir air mata jatuh dari sudut mata Margaret.
Dia masih belum sadar…
Tapi mungkin, jiwanya mendengar.
Pria itu masih menggenggam tangan Margaret dengan lembut, seolah ingin membayar semua waktu yang terbuang. Tangannya kasar, penuh keriput usia dan kesibukan, namun kini bergetar seperti milik anak kecil yang ketakutan kehilangan sesuatu yang paling berharga.
Ia mengusap pelan jari-jemari Margaret, lalu mendekatkan wajahnya… dan mencium punggung tangan putrinya. Lama. Dalam.
“Maaf… Papa jarang ada. Bukan karena Papa gak peduli,” bisiknya pelan, hampir seperti sebuah doa. “Tapi karena Papa pengecut. Papa takut melihat kamu tumbuh dengan luka, takut tahu kalau Papa gak cukup baik buat kamu…”
Sebuah isakan pelan lolos dari tenggorokan Karin. Ia menunduk, memeluk dirinya sendiri, hatinya tak kuat menyaksikan dua orang yang saling menyimpan rindu tanpa pernah tahu cara saling menghampiri.
Prince masih berdiri di ujung ranjang, tak bergeming. Matanya menatap pria itu lama. Dan saat akhirnya pria itu menoleh padanya, Prince hanya mengangguk kecil.
“Terima kasih... sudah jaga dia,” ucap ayah Margaret dengan suara serak.
“Margaret bukan tanggung jawab gue,” jawab Prince pelan. “Dia... bagian dari gue.”
Ayah Margaret mengangguk, seperti memahami makna dari kalimat itu jauh lebih dalam dari sekadar hubungan cinta remaja.
Lalu pria itu berdiri, berjalan pelan menuju jendela rumah sakit. Ia membuka sebagian tirai, membiarkan sinar senja masuk menerpa wajah Margaret.
“Dia suka cahaya sore begini…” ucapnya lirih.
“Dulu, setiap kali Papa pulang larut, dia selalu duduk di jendela. Katanya, ‘Papa pasti datang waktu matahari mau pulang’...”
Diam. Hanya suara mesin pemantau detak jantung Margaret yang terus berdetak lambat tapi pasti.
_____________________
Langit di luar jendela mulai gelap. Lampu di sudut ruangan menyala redup, menerangi wajah Margaret yang masih terbaring lemah. Prince tertidur di sisi ranjang dengan kepala bersandar di tepi kasur, sementara ayah angkat Margaret duduk di kursi dekat jendela, diam, menatap ke arah langit yang mulai menelan senja.
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar suara lembut mesin monitor jantung yang berdetak perlahan dan suara nafas Margaret yang disalurkan melalui selang tipis.
Lalu…
Kelopak mata Margaret bergerak.
Perlahan, seakan berat, kelopak matanya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Cahaya lampu membuatnya menyipitkan mata. Napasnya masih lemah, tapi ritmenya mulai berubah. Lebih hidup.
Prince tersentak bangun, matanya langsung tertuju pada wajah yang kini menatap kosong ke langit-langit.
“Yang…?” bisiknya, suara tercekat antara harapan dan takut.
Ayah angkat Margaret berdiri pelan, langkahnya mendekat ke ranjang.
Mata Margaret terbuka sepenuhnya kini. Ia memandang… tapi tak langsung menatap siapa pun. Seperti orang yang kembali ke dunia asing. Pandangannya mengambang, tak fokus.
Prince menggenggam tangannya. “Yang… denger gue? Ini gue.”
Margaret mengedip. Lalu perlahan, ia menoleh ke arah Prince. Namun tetap… tak ada senyum, tak ada panggilan nama, tak ada air mata bahagia. Hanya tatapan kosong, bingung, asing.
Matanya lalu berpindah ke pria yang berdiri di samping jendela.
Lama.
Tapi tetap… tak ada pengakuan. Tak ada sebutan.
Ia hanya menatap. Hening.
Akhirnya, Margaret membuka mulutnya pelan. Suaranya serak, hampir seperti bisikan kabut.
“…di mana aku?”
Prince langsung membungkuk mendekat. “Lo di rumah sakit, Yang. Lo sempat… drop. Tapi sekarang udah sadar. Sekarang lo aman.”
Margaret mengedip perlahan. Masih diam. Jemarinya bergerak, mencoba menyentuh selimut yang menutupi perutnya. Pelan. Kaku. Lalu ia memejamkan mata sejenak, menarik napas… dan kembali membuka mata.
Masih tak menyebut siapa pun.
Masih belum menyebut nama siapa pun.
Ayahnya mendekat pelan. “Margaret…”
Margaret menoleh. Lagi-lagi, hanya menatap. Tak ada reaksi spontan. Tak ada pelukan. Bahkan tidak juga rasa takut.
Hanya sebuah… ketenangan yang kosong.
“Aku… capek banget,” gumamnya.
Prince menggenggam tangannya lebih erat. “Lo gak sendiri. Lo gak akan sendiri, Yang.”
Margaret tidak menjawab.
Ia hanya menatap ke langit-langit. Air mata satu-satunya jatuh dari sudut matanya, tapi bukan karena sedih atau bahagia. Tapi karena ia sendiri… tidak tahu apa yang ia rasakan.
Dan pada malam itu, meski Margaret telah kembali membuka mata, mereka semua sadar…
Sebagian dari Margaret belum benar-benar kembali.