NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:965
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28•

...Lorong Berulang...

Malam itu, hujan turun deras, membasahi jalanan Pekanbaru yang sudah sepi. Langit kelabu di atas memuntahkan isak tangis tak berujung, seolah turut merasakan kegelisahanku. Ban motorku tergelincir di genangan air, memaksaku menepi ke sebuah gang sempit yang gelap, mencari perlindungan sementara dari badai yang tiba-tiba mengamuk. Gang itu, dengan dinding-dindingnya yang ditumbuhi lumut dan aroma apak yang menusuk hidung, tampak asing bagiku, padahal aku sudah bertahun-tahun tinggal di kota ini.

"Sial, mati pula mesinnya," gumamku seraya mencoba menyalakan kembali motorku, tapi nihil. Hanya bunyi 'klik-klik' lemah yang terdengar. Aku mendengus kesal, rambutku sudah basah kuyup. Terpaksa aku mendorong motorku masuk lebih dalam ke lorong itu, berharap menemukan bengkel atau setidaknya warung kopi untuk berteduh.

Semakin dalam melangkah, lorong itu semakin menyempit dan gelap. Lampu-lampu jalan di ujung gang sudah tidak terlihat, tertelan pekatnya malam. Hanya ada beberapa lampu neon tua yang berkedip-kedip di kejauhan, memancarkan cahaya kuning pucat yang membuat suasana terasa semakin mencekam. Aku mulai merasa tidak nyaman. Bulu kudukku meremang.

Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki dari depan. Pelan, menyeret, seolah ada seseorang yang berjalan pincang. Jantungku berdebar kencang. Aku mencoba bersikap tenang, mungkin hanya seorang pejalan kaki yang juga terjebak hujan. Sosok itu semakin mendekat, dan aku bisa melihat siluetnya yang kurus.

"Permisi, Mas, ada masalah?" suara serak seorang kakek menyapaku. Aku menghela napas lega.

"Iya, Pak. Motor saya mogok," jawabku, sedikit lega melihat wajah tua yang keriput itu. Kakek itu memegang tongkat, matanya cekung, dan tatapannya kosong. Bajunya lusuh dan sedikit basah.

"Oh, kasihan sekali. Lorong ini memang sedikit aneh kalau malam hari. Apalagi kalau hujan deras begini," kata kakek itu, suaranya terdengar seperti bisikan angin. "Sebaiknya Mas jangan terlalu jauh masuk. Nanti tersesat."

"Tersesat?" aku mengernyitkan dahi. "Memangnya lorong ini ada ujungnya, Pak?"

Kakek itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, senyum yang entah mengapa membuatku merinding. "Hati-hati saja, Mas," katanya lagi, lalu melenggang pergi, langkahnya menghilang ditelan kegelapan. Aku memperhatikannya sampai sosoknya tak terlihat lagi, meninggalkan rasa aneh yang mengganjal di hatiku.

Aku kembali mendorong motorku. Beberapa meter kemudian, aku melihat sebuah pintu kayu tua di sisi kanan lorong. Pintunya sedikit terbuka, dan dari celahnya, memancar cahaya remang-remang. Aku melongok ke dalam. Itu sebuah kedai kopi kecil, dengan meja-meja kayu yang sederhana dan aroma kopi yang menggoda.

"Permisi!" seruku, melangkah masuk sambil menyeret motorku.

Seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul dan celemek lusuh muncul dari balik meja bar. "Oh, Nak. Hujan-hujan begini, kok sendirian? Mari masuk, silakan," katanya ramah.

Aku memarkir motorku di sudut, lalu duduk di salah satu meja kosong. "Iya, Bu. Motor saya mogok di depan. Untung ada kedai ini."

"Sudah nasib, Nak," wanita itu tersenyum, menyodorkan segelas air hangat. "Mau pesan apa? Kopi panas cocok untuk menghangatkan badan."

"Kopi hitam saja, Bu," jawabku. Aku memandang sekeliling. Kedai itu terasa damai, kontras dengan suasana mencekam di luar. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa janggal. Dinding-dinding kedai itu dihiasi foto-foto lama, semuanya hitam putih, menampilkan wajah-wajah orang yang tak kukenal.

Saat aku menyeruput kopi, pintu kedai terbuka lagi. Seorang pria muda masuk, bajunya basah kuyup, wajahnya pucat pasi. Ia tampak tergesa-gesa.

"Bu, saya sudah sampai di ujung lorong, tapi sepertinya tidak ada jalan keluar," kata pria itu dengan suara terengah-engah.

Wanita pemilik kedai menatap pria itu dengan tatapan aneh. "Ujung lorong? Nak, lorong ini pendek, langsung tembus ke jalan raya."

Pria itu menggeleng. "Tidak, Bu. Saya sudah berjalan sangat jauh, tapi yang saya temui hanya dinding buntu. Dan... saya merasa lorong ini terus berulang."

Aku yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka, ikut terkejut. "Maksudnya, lorong ini terus berulang?" tanyaku.

Pria itu menoleh padaku, matanya menunjukkan kepanikan. "Iya, Mas. Saya sudah mencoba keluar dari sisi yang sama, tapi selalu berakhir di tempat ini lagi. Seolah-olah lorong ini tidak ada ujungnya."

Wanita pemilik kedai hanya tersenyum samar, tidak memberikan komentar apa-apa. Senyumnya mengingatkanku pada senyum kakek yang kutemui di luar tadi. Sebuah firasat buruk merayapi benakku.

"Sudah berapa lama Mas di sini?" tanyaku pada pria itu.

"Sepertinya sudah berjam-jam," jawabnya frustrasi. "Saya rasa saya sudah berjalan berkilometer, tapi kembali ke titik yang sama."

Aku merasa merinding lagi. Ini tidak masuk akal. Pekanbaru tidak punya lorong aneh seperti ini. Lalu, aku teringat kakek tadi. "Tadi saya bertemu seorang kakek di depan. Dia juga bilang lorong ini aneh."

Pria itu tiba-tiba menatapku tajam. "Kakek? Rambutnya putih, pakai tongkat?"

Aku mengangguk. "Betul."

"Itu kakek yang sama! Dia menyapaku saat pertama kali masuk ke lorong ini. Dia bilang 'jangan terlalu jauh masuk, nanti tersesat'," kata pria itu, matanya melebar.

Kami berdua saling pandang, rasa panik mulai menyelimuti. Wanita pemilik kedai hanya diam, membersihkan meja dengan gerakan lambat, seolah tidak peduli dengan percakapan kami.

"Bu, Ibu tahu sesuatu tentang lorong ini?" tanyaku, mencoba menahan kegugupan.

Wanita itu akhirnya menoleh, menatap kami bergantian dengan senyum misterius. "Lorong ini… sudah ada sejak lama, Nak. Sejak orang-orang tersesat dan mencari jalan pulang."

"Tersesat?" pria itu mengulang, suaranya bergetar.

"Iya. Kalian berdua, sepertinya sudah tersesat," jawab wanita itu, suaranya kini terdengar lebih dingin. "Lorong ini adalah tempat bagi mereka yang tersesat. Mereka yang terus mencari, tapi tidak pernah menemukan."

Aku melihat ke arah pintu. Hujan masih deras di luar, tapi lorong itu tampak tak berujung. Aku mencoba mengingat-ingat peta jalanan di kepalaku, tapi tidak ada lorong seperti ini di dekat rumahku. Atau di mana pun di Pekanbaru.

"Ini tidak masuk akal!" teriakku, bangkit dari kursi. "Saya harus keluar dari sini! Ibu, tolong tunjukkan jalan keluar yang sebenarnya!"

Wanita itu hanya menggeleng. "Jalan keluar ada di dalam diri kalian sendiri, Nak."

Pria di sampingku tiba-tiba berteriak, "SAYA INGAT SEKARANG! Kakek itu! Dan Ibu! Kalian adalah… arwah penunggu lorong ini, kan?!"

Mendengar itu, wanita pemilik kedai tertawa pelan, tawanya terdengar kering dan mengerikan. "Kau pintar, Nak. Tapi terlambat."

Ketakutanku mencapai puncaknya. Aku berlari menuju pintu, menarik pegangannya dengan sekuat tenaga. Tapi pintu itu terkunci rapat. Aku mencoba membukanya lagi, berkali-kali, tapi tidak berhasil.

Pria itu mencoba menendang pintu, tapi tidak ada gunanya. "Kita terjebak!" teriaknya putus asa.

"Tidak ada yang bisa keluar dari lorong ini, Nak. Kecuali… jika kalian menemukan apa yang sebenarnya kalian cari," suara wanita itu terdengar mendekat.

Aku berbalik. Wanita itu berdiri di belakangku, tepat di depan cermin besar yang terpasang di dinding kedai. Bukan cermin biasa, melainkan cermin dengan bingkai kuno yang rumit, serupa dengan cermin yang kulihat di cerita horor lain. Di pantulan cermin, aku melihat diriku, dan di sampingku… bukan pria tadi. Melainkan sebuah ruangan asing yang tampak familiar, penuh dengan peralatan dan arsip.

Tiba-tiba, sebuah suara wanita memanggilku dari balik cermin, suara yang sangat aku kenal. "Risa! Kamu sudah selesai dengan bab 1?"

Aku menoleh ke belakang, ke arah wanita pemilik kedai dan pria yang bersamaku. Mereka menghilang. Kedai itu pun lenyap, berganti dengan dinding kamar yang familier, penuh dengan tulisan, sketsa, dan layar komputer yang menyala. Aku berdiri di depan monitor, tanganku memegang keyboard.

Mataku mengerjap-ngerjap, berusaha mencerna apa yang terjadi. Aku melihat ke bawah, ke arah keyboard di depanku. Jari-jariku menempel pada tombol-tombolnya. Layar monitor menampilkan naskah cerpen yang baru saja kutulis: "Lorong Berulang". Dan di paragraf terakhir, ada kalimat yang baru saja kuketik: "Pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai."

Aku menoleh, dan di ambang pintu kamarku, berdiri Sari, sahabatku, memegang secangkir teh. "Risa, kamu melamun lagi? Sudah selesai belum ceritamu?"

Aku memandanginya, lalu kembali ke layar monitor, lalu ke tanganku sendiri. Semua yang kualami di lorong itu, kakek misterius, wanita pemilik kedai, pria yang terjebak… semua itu hanyalah imajinasiku, duniaku sendiri yang kubangun lewat kata-kata.

Aku menghela napas panjang. Ternyata, yang selama ini "tersesat" di lorong berulang itu bukan hanya karakter dalam ceritaku, melainkan diriku sendiri, terhanyut dalam dunia yang kubangun. Dan mungkin, kakek tua yang bilang "hati-hati saja, Mas, nanti tersesat" itu, sejatinya adalah diriku yang lain, memperingatkan agar aku tidak terlalu jauh tenggelam dalam ciptaanku sendiri.

"Sudah," jawabku, suaraku sedikit bergetar. Aku tersenyum pada Sari, senyum yang kali ini terasa sangat nyata. "Ceritanya baru saja selesai. Atau mungkin, baru saja dimulai."

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!