Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Bandung - 26
...Apa kamu tau kenapa aku menyukai semesta? ...
...Karena ada kamu di dalamnya. ...
...***...
Tempat-tempat penting di kota kelahirannya sudah terlihat oleh mata. Seperti gedung sate dan masjid agung kota Bandung, serta gedung merdeka sudah ia lewati barusan.
Rasa rindu yang kemarin membuncah kini sirna bergitu saja. Apalagi ketika mobil milik Dikta hampir sampai di rumahnya.
"Sebentar lagi, Rai. Beresin barang bawaan kamu." Ucap Ananta yang melihat jok belakang terlihat berantakan oleh barang Rai yang berserakan.
Rai menurut, dengan gerakan cepat dan asal ia memasukkan barangnya ke dalam tas. Membuat Ananta menggelengkan kepala di tempatnya.
Dikta mulai menghentikan laju mobilnya karena memang sudah sampai. Dan Rai langsung keluar untuk masuk ke dalam rumahnya yang terlihat ramai. Sepertinya keluar besar sedang berkumpul sekarang.
"Assalamu'alaikum!" Ucapnya memberi salam pada semua.
"Wa'alaikumsalam."
Ah~, Rai senang kembali mendengar suara mereka. Apalagi ketika melihat Ibunya yang tersenyum ke arahnya sembari merentangkan tangan untuk menerima pelukan.
Rai berjalan cepat untuk menuju Sang Ibu yang ada di ujung ruangan. Dan ketika sampai, mereka berpelukan.
Aroma Sang Ibu memang selalu Rai suka, apalagi dengan pelukan hangatnya. Astaga, ini waktu bisa dihentikan sebentar tidak, ya? Rai ingin merasakannya lebih lama lagi.
"Mamah apa kabar?"
Terasa jika Ibu mengangguk di dalam dekapannya. "Baik, Nak. Kamu baik juga, 'kan?"
"Rai baik, kok! Kayak yang Mamah lihat sekarang."
Setelah puas menyalurkan rindu, pelukan mereka mulai melonggar. Dan Rai tersenyum lebar ke arah Ibunya yang terlihat segar dari biasanya.
"Udah gede aja si bungsu." Ucap Bi Rina-salah satu Tantenya.
Rai hanya terkekeh ringan sembari mengangguk-anggukan kepalanya pelan.
"Makan siang dulu, sana!"
Karena perutnya sudah keroncongan, Rai mengangguk dan mulai beranjak ke meja makan. "Makan dulu ya, Mah!"
"Iya, makan yang banyak."
Rai tak memberi respon untuk kalimat terakhir itu. Ia sibuk melangkahkan kaki ke arah meja makan yang sudah ramai oleh sepupunya yang sengaja datang. Jadilah rumahnya terlihat ramai sekarang.
"Yo! Rai!" Sapa Adhisty-Salah satu sepupunya dengan semangat.
"Titi! Kamu bikin aku iri aja! Tubuhmu kok udah tinggi lagi? Minta tips nya, dong!" Rai mulai duduk di sampingnya, karena memang tempat itulah yang tersisa. Sepupunya ternyata banyak juga.
"Kamu mau tips cepatnya?" Sekarang, Guntur yang bersuara, salah satu sepupunya juga.
Rai tentu saja mengangguk penasaran.
"Makan tiang listrik." Ucap Guntur tanpa dosa dengan senyuman lebar yang membuat Rai kesal di tempatnya.
"Mana bisa, atuh!"
"Bisa-bisain aja, atuh." Balas Guntur tak mau kalah.
"Aku yang tambah tinggi, atau kamu yang semakin menyusut?" Adhisty menaik turunkan alisnya.
Astaga, pertanyaan apa lagi ini?! Menyebalkan sekali.
Rai langsung memanyunkan bibirnya, membuat mereka semua tertawa di atas kekesalannya. Sepupu macam apa mereka? Bahkan Dikta dan Ananta saja ikut tertawa, padahal mereka sedang sibuk makan. Rai do'akan semoga mereka tersedak.
"Maaf, maaf. Bercanda. Jangan manyunin bibir gitu, dong! Gak banget keliatannya." Ucap Adhisty setelah selesai tertawa.
"Emang ada yang nyuruh kalian bercanda? Orang aku nanya serius juga."
Adhisty mengelus punggungnya lembut. "Iya, maaf. Kita salah. Maaf, ya?"
Ini waktu yang seharusnya Rai pakai untuk kangen-kangenan, bukan marah-marahan. Makanya Rai langsung memaafkan.
"Iya."
Adhisty tersenyum setelah mendengar jawaban Rai. Lalu ia melanjutkan makan siangnya yang tersisa setengah.
Suasana di meja makan hening seketika. Mereka mulai fokus mengisi perutnya sebelum kembali memanen rindu yang kemarin terenggut waktu.
Karena Adhisty yang selesai duluan, ia yang membuka kembali obrolan.
"Kemarin Bumi nanyain kamu, Rai. Kalian masih sering chat-an, 'kan?"
Bumi adalah sahabatnya disini. Yang selalu menemaninya dikala suka dan duka. Dan Bumi adalah salah satu alasan ia merindukan Bandung nya.
"Udah jarang. Tapi nanti sore aku mau ngabarin dia kalau aku ada disini."
Adhisty menganggukkan kepalanya.
"Kamu sama Bumi itu pacaran, Rai? Bukannya pacar kamu itu Rey?" Pertanyaan Ananta membuat sepupunya menatap Rai penuh tanya.
Pacar darimananya? Mereka hanya teman dekat saja.
"Mana ada. Aku sama mereka cuman temenan."
"Tapi keliatannya Bumi suka sama kamu lho, Rai." Ucap Adhisty membuat Rai tersipu malu.
"Rey juga keliatannya suka sama kamu."
"Rey itu siapa?" Jelas Adhisty tidak akan tau.
"Tetangga depan rumah, temen sekolahnya juga." Balas Ananta membuat Adhisty mengangguk mengerti.
"Cie, Rai banyak yang suka."
Guntur memang selalu hobi menggoda. Dan itu mampu memberikan efek yang begitu besar pada hatinya.
Bumi orang yang sudah ia kenal lama, sedangkan Rey orang baru yang mampu membuat dirinya merasa nyaman berada di dekatnya.
Apa benar mereka berdua menyukainya? Jika iya, ia harus memilih yang mana?
***
Renata dari tadi tak berhenti menggerutu. Ia merasa iri karena Kakaknya libur dan bisa seharian diam di rumah. Padahal ia juga ingin seperti itu.
"Enak banget bisa libur. Aku juga pengen! Pengen baca buku sambil ngemil, pengen nonton TV sambil ngemil, terus pengen tidur-"
"Sambil ngemil juga." Potong Angkasa yang begitu khusyuk mendengarkan celotehan Renata.
"Ih, bukan! Pengen tidur sambil mimpiin dia."
"Dia siapa?" Tanya Ibunya sedikit menggoda.
Dan Renata hanya menyengir di tempatnya.
"Jangan dulu pacaran, fokus dulu belajar. Udah sana berangkat, nanti terlambat."
Renata yang sudah menghabiskan sarapannya mengangguk mengiyakan. Dan hari ini Angkasa lah yang akan mengantarkan.
"Berangkat dulu, ya! Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam."
Setelah Angkasa dan Renata keluar, Ibu mulai melangkah ke belakang untuk menyelesaikan pekerjaan. Meninggalkan Rey yang kembali sibuk dengan laptopnya.
'Apa kamu tau kenapa aku menyukai semesta?
Karena ada kamu di dalamnya.'
Rey baru saja menulis kalimat itu di project buku yang akan ia buat untuk Rai, harus terhenti ketika Sang Ibu menyuruhnya untuk mengangkat telepon yang sekarang meraung kencang.
"Itu Ayahmu pasti, jam segini biasanya emang suka telpon." Ucapnya dari arah dapur.
Dan benar saja, nama 'Ayah Rey' tertera di atas layar.
"Hallo?"
"Eh, ini Rey? Kenapa gak sekolah? Biasanya Ibumu yang angkat kalau jam segini. Kamu gak kenapa-napa, 'kan?"
Rey menyimpan handphone Sang Ibu di samping laptopnya dan mengeraskan volumenya, sembari ia kembali menulis agar karyanya bisa cepat dibaca oleh Rai.
"Rey baik-baik aja. Gak sekolah karena emang libur. Kemarin baru selesai simulasi ujian kelulusan soalnya."
"Adikmu libur juga?"
"Enggak, dia baru berangkat tadi sama Angkasa."
"Angkasa siapa? Pacarnya?"
Rey baru saja akan membuka mulut untuk menjawab, langsung urung ketika Ibunya berteriak mewakili jawabannya.
"Masa Ayah lupa?! Angkasa, lho! Temennya Rey yang sering nginep di rumah."
"Ohh, dia...Ayah lupa namanya. Maafkan."
Setelahnya mereka diam cukup lama. Sang Ayah entah sedang apa di sebrang sana, Ibunya sedang sibuk mencuci piring, dan dirinya fokus menulis puisi.
"Nanti udah kelulusan kamu sama Ibu kesini. Kita coba obatin disini. Ada temen Ayah yang in syaa allah bisa nyembuhin kamu."
Hingga akhirnya ketika suara Sang Ayah kembali terdengar, langsung membuat suasana hatinya tidak nyaman.
Karena sebenarnya ia tidak mau melakukannya. Untuk apa? Menghamburkan waktu dan uang saja. Sembuh atau tidak, akhirnya ia tetap pulang juga, 'kan? Jadi untuk apa berobat?
Tapi karena ia mengingat Ibunya yang sangat ingin dirinya sehat lagi. Jadilah ia setuju untuk berobat di tempat Ayahnya bekerja.
"Iya."
Ibunya yang sangat tau jika topik ini tidak pernah ia suka, langsung mengambil handphonenya demi kenyamanannya. Dan Rey sangat berterimakasih akan hal itu. Ia jadi bisa kembali menulis dengan tenang.
Ibu memang selalu menjadi pahlawan.
***
^^^27-Mei-2025^^^