Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teguh
Ketenangan yang Hail rasakan sesaat, tiba-tiba pecah saat ponsel milinya, yang ada di saku celana berdenting pelan. Ia mengangkat, melihat nama "Papa" terpampang jelas di layar. Hail menghela napas berat, lalu melangkah ke luar kamar, menutup pintu pelan agar tak mengganggu tidur Evelyn, ia lalu melangkah menjauh dari kamar rawat wanitanya. Dia tahu, Papa angkatnya bukan menelfon hanya untuk menayakan kabar, pasti akan terjadi perdebatan. Hail tahu pasti itu akan terjadi.
Klik. Sambungan tersambung.
"Hail." Suara berat dengan nada tak biasa itu langsung menyapa telinga Hail tanpa basa-basi.
"Ya Pa, ada perlu apa Papa menelfonku selarut ini?" tanya Hail dengan tenang.
"Apa seorang ayah butuh alasan khusus untuk menghubungi anaknya?"
Hail mendengus kecil, terkekeh pelan seolah mengejek apa yang baru saja ia dengar.
"Tidak .... tentu saja tidak Pa, hanya sedikit aneh saja."
Hening sejenak. Helaan nafas berat terdengar dari ujung sambungan telefon. Jemari Hail mengenggam kuat benda pipih yang menjadi penghubung mereka. Pelan, ia menyandarkan tubuh pada tembok rumah sakit yang dingin. Tatapannya luruh kearah pintu lift, tatapan yang seolah bersiap seolah bahaya ada di depan matanya.
"Sepertinya kau sudah tau maksud Papa. Kalau begitu Papa tidak akan basa-basi lagi, apa benar kau menjalin hubungan dengan anak penghianat itu?"
Hail menyeringai tipis, tepat seperti dugaannya. Sepertinya Kakak pertama sudah mengambil langkah.
"Namanya Evelyn Pa," tegas Hail dengan nada masih merendah.
"Anak seorang penghianat tidak butuh nama Hail!" bentak Indra geram.
Hail memejamkan mata sesaat, mencoba menahan diri.
"Pa, Hail tahu apa yang terjadi empat tahun lalu di perusahaan Papa. Tapi apa Papa yakin jika yang terjadi itu benar? Apa Papa sudah cek kebenarannya?"
"Apa maksudmu? Kalau kau tahu ayahnya hampir menjatuhkan perusahaan kita, kenapa kamu masih menjalin hubungan dengan wanita itu. Saham kita sempat anjlok, kita diambang kebangkrutan karena dia. Kau pikir hubungan ini tidak akan mempermalukan nama kita?!"
Suara dari seberang itu meninggi. Nada tegas yang biasa Hail dengar dalam rapat direksi, kini ditujukan kepadanya. Tapi Hail berdiri tegak, di lorong rumah sakit yang sunyi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Matanya perlahan menatap ujung sepatu yang ia kenakan.
"Aku tahu siapa Evelyn. Tapi yang kulihat bukan masa lalu ayahnya, Pa. Aku lihat perempuan yang kuat, yang bertahan sendiri setelah semua yang terjadi. Yang tidak lari meski dipandang rendah. Dia tidak pernah membenarkan ayahnya. Bahkan dia dihukum karena kesalahan yang bukan miliknya. Tidak seharusnya kita berlaku seperti itu padanya Pa."
"Itu bukan urusan kita! Tinggalkan wanita itu Hail!"
"Tidak Pa, tidak akan pernah. Evelyn bukan cuma seseorang yang aku suka, Pa. Dia perempuan yang ingin aku lindungi. Yang ingin aku perjuangkan. Aku nggak akan lepaskan dia hanya karena masa lalu yang bukan dia yang buat."
Keheningan sejenak. Bahkan suara napas dari ujung sambungan pun menghilang. Hail melanjutkan dengan nada yang lebih tenang, tapi penuh makna.
"Papa bilang, pemimpin itu harus tahu apa yang dia pilih dan berdiri atas pilihannya. Aku sudah pilih Evelyn, Pa. Dan aku nggak akan tarik kata-kata itu kembali."
Ada jeda. Lalu suara dari seberang terdengar lebih pelan, berat, dan entah marah atau kecewa.
"Kau pikir kau bisa hadapi konsekuensinya?"
"Bersama Evelyn… aku tahu aku bisa!" tegas Hail penuh tekad.
"Kau sudah dipengaruhi wanita itu Hail. Pulang nak, jangan terlalu jauh. Papa tidak ingin kehilangan kamu hanya gara-gara seorang wanita," suara Indra lebih rendah, seolah meminta.
"Evelyn tidak pernah mempengaruhi aku Pa. Ini murni pemikiranku sendiri," tegas Hail, meski ia bisa mendengar dengan jelas bagaimana sang ayah mengumpat frustasi, tapi itu sama sekali tidak mengentarkan keteguhan Hail.
"Papa begitu yakin kalau Pak Regan Rahadja yang melakukan penggelapan itu, apa Papa sudah benar-benar menyelidikinya .... " Hail menggeleng pelan dengan wajah yang terlihat sedikit muak.
"Apa maksudmu Hail, semua sudah jelas. Dan dia sudah membusuk menjadi m4ya4t di pe3njara!"
"Papa hanya mellihat dari satu sisi, hanya melihat laporan yang orang-orang Papa berikan tanpa mengeceknya lagi."
"Sudah cukup! Apa mau mu, jangan bertele-tele," suara Indra kembali meninggi, ego-nya tersayat saat Hail mulai menyudutkannya.
"Aku cuma tidak ingin Papa membuat kesalahan lagi, cukup tentang Cakra kemarin Pa ....Sekarang jangan lagi, jangan buat seseorang menanggung dosa orang lain lagi. Hail mohon, biarkan Hail membuka kasus ini lagi dan menyelidiki kebenarannya."
Hening, Indra hanya mendengar. Berkutat dengan ego dan pikirannya.
"Pa ...."
"Tiga bulan, bekerja di perusahaan Papa dan cari tau apa yang kamu mau," potong Indra.
"Terima kasih Pa," seulas senyum lebar tersungging di bibir tebal pria itu.
Hail menurunkan ponselnya, menggenggamnya erat di sisi tubuh. Pandangan yang kosong beberapa saar yang lalu, kini lalu berbinar terang penuh tekad. Ia menarik napas panjang, bersiap untuk pertarungan yang pasti tidak akan mudah. Tapi dia tidak akan menyerah, demi Evelyn, demi masa depan mereka.
Dengan senyumnya, Hail hendak kembali berjalan kembali ke kamar rawat wanita kesayangannya, melangkah masuk. Tapi ponsel Hail kembali berdering, kali ini sebuah pesan manis dari Evelyn. Pesan yang sederhana tapi sangat manis bagi Hail.
📱 Evelyn : Kamu dimana?
📱Hail : Aku diluar, cari makan sebentar.
*Kenapa?Kangennya? 10 menit lagi aku kembali*.
Hail sengaja berbohong agar Evelyn tidak curiga, tidak sepenuhnya bohong sih. Karena sejak siang tadi dia belum makan apapun.
📱Evelyn : Cepetan.
*Aku nggak ada temennya 😔*
📱Hail : On my way sayang
*3 menit, aku lagi di lift*.
Saat yang bersamaan seorang OB baru saja keluar dari lift, sambil menenteng kantong plastik berisi makanan.
"Mas .. mas!" panggil Hail.
"Iya Pak." Ob itu berhenti, Hail segera menghampirinya.
"Masnya habis beli makan?" Hail melirik kantong plastik bening, dengan dua kotak stereofoam di dalamnnya.
"Oh ... iya Pak, abis beli mie goreng di kantin bawah." Ob itu sedikit mengangkat kantong yang ada di tangannya.
"Boleh buat saya Mas?"
"Maksud Bapak? Bapak-nya mau saya bantu beliin?" tanya Ob itu bingung.
Hail menggeleng.
"Punya Mas-nya aja saya beli, terus mas beli yang baru." Hail mengeluarkan dua uang seratus ribu dari dompet, dan memberikannya pada pria muda itu.
"Tapi Pak-"
"Mas beli lagi ya, ini buat saya. Ambil aja kembaliannya." Hail mengambil paksa makanan dari tangan pria itu, lalu mengenggamkan uangnya.
Ob itu masih tertegun bingung, sementara Hail sudah berjalan sedikit menjauh dengan senyum lebar yang tak luntur. Dengan begini dia bisa lebih cepat kembali ke kamar Evelyn, dengan membawa makanan seperti yang ia katakan.
"Kalau ginikan gue nggak bohong," ujarnya terkekeh.
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve
saking senengnya byr mie goreng aja sampe 200k 🤭 pdhl di kasih 50k aja msh kembalian nya kali 🤣🤣🤣