NovelToon NovelToon
SUAMI TAK PERNAH KENYANG

SUAMI TAK PERNAH KENYANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Angst / Suami Tak Berguna / Ibu Mertua Kejam / Pihak Ketiga
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: Euis Setiawati

Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional

Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.

Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.

Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kepulangan laila

Pagi itu matahari baru saja naik, sinarnya menerobos kaca bus yang berembun. Laila duduk tenang di bangku dekat jendela, sesekali tersenyum sambil membayangkan wajah Arfan, suaminya. Meski empat hari saja ia berada di kampung, rasanya sudah seperti berbulan-bulan ia meninggalkan rumah. Ia merindukan rumah kecilnya, bau khas kamarnya, dan tentu saja kehadiran Arfan yang biasanya selalu menuntut perhatian penuh.

Di pangkuannya, koper sederhana sudah ia peluk erat. Tas itu berisi pakaian, sedikit oleh-oleh dari kampung, dan obat-obatan herbal titipan ibunya untuk Arfan. Perjalanan enam jam dengan bus terasa panjang, tapi Laila justru tidak lelah. Hatinya lah yang terus berdebar, membayangkan bagaimana Arfan akan menyambutnya.

Ia teringat bagaimana suaminya selalu gelisah kalau ditinggal lama.

 “Mas pasti sudah menahan hasratnya empat hari ini. Pasti nanti malam aku harus benar-benar siap. Aku harus bisa membuatnya bahagia,” batinnya sambil menatap keluar jendela.

Sementara itu di rumah, suasana berbeda jauh dari apa yang Laila bayangkan.

Arfan duduk di ruang tamu dengan wajah gusar. Malam sebelumnya ia menghabiskan waktu bersama Bi Ratmi pembantu rumah tangga yang belakangan selalu berusaha menggoda dan menguasainya. Arfan tahu perbuatannya salah, tapi tubuh dan pikirannya terasa lemah. Godaan Ratmi begitu kuat, apalagi ia selalu menampilkan sisi yang liar dan penuh gairah, berbeda jauh dari Laila yang lembut dan kaku.

Arfan menatap bayangan dirinya di kaca jendela.

 “Aku harus terlihat tenang di depan Laila. Aku harus pura-pura biasa saja, jangan sampai ia curiga.”

Di dapur, Bi Ratmi sedang memasak air sambil memegang ponsel. Suara perempuan lain terdengar di seberang telepon. Ratmi berbicara dengan lirih, namun tetap penuh keyakinan.

“Ya, hari ini Bu Laila datang. Aku harus lebih hati-hati. Tapi tenang saja, semua sudah aku lakukan. Dia tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini.”

Seseorang di balik telepon menjawab singkat dengan nada perintah. Wajah Ratmi tampak serius.

“Baik, aku akan terus dekati Pak Arfan. Dia sudah dalam genggaman.”

Ternyata benar, ada dalang lain di balik tingkah Ratmi. Ia tidak sekadar ingin menjadi istri kedua Arfan, melainkan menjalankan rencana besar yang belum Laila sadari.

Suara motor ojek online terdengar berhenti di depan rumah.

 “Mas! Mas!” panggil Laila dengan nada riang.

Arfan terkejut mendengar suara itu. Ia segera berdiri, merapikan pakaian, dan melangkah cepat keluar. Senyuman dipaksakan muncul di wajahnya.

“Syukurlah, sayang, kamu sudah sampai. Bagaimana perjalanan, macet nggak?” tanya Arfan dengan suara seramah mungkin, seolah tak ada beban.

“Alhamdulillah tidak, mas. Lancar,” jawab Laila sambil tersenyum lebar. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya berbinar bahagia bisa bertemu suaminya lagi.

“Terus, ibu gimana? Sudah sembuh?” tanya Arfan dengan pura-pura perhatian.

“Sudah mas, alhamdulillah ibu sudah jauh lebih baik,” jawab Laila sambil menurunkan koper dari motor.

Arfan segera mengambil koper itu.

 “Ayo masuk, kamu pasti capek. Istirahat dulu di kamar. Nanti biar aku suruh Bi Ratmi bikinkan minuman segar.”

Laila hanya mengangguk. Ia mengikuti Arfan masuk, merasa lega akhirnya tiba di rumah.

“Bi, tolong buatkan jus untuk Bu Laila,” perintah Arfan sambil melirik kikuk ke arah Ratmi.

“Baik, Pak,” jawab Ratmi dengan nada datar.

Namun saat berbalik, wajahnya berubah masam.

Dalam hati ia bergumam, “Sayang, sayang. Terus saja manjain si Laila itu. Kita lihat nanti siapa yang lebih lama bertahan.”

Setelah meneguk jus buatan Ratmi, Laila merasa segar. Ia merebahkan tubuh di kamar bersama Arfan. Namun ada yang berbeda kali ini. Arfan terlihat canggung, tatapan matanya seperti menghindar.

“Mas, kamu sehat kan? Kok wajahmu pucat sekali?” tanya Laila sambil meraih tangan suaminya.

Arfan buru-buru menarik senyum.

 “Ah, nggak apa-apa kok. Mungkin karena kerjaan aja, aku agak capek.”

Laila mengangguk, meski hatinya sedikit ragu. Ia memang peka terhadap perubahan kecil pada suaminya. Tapi ia mencoba berpikir positif.

Namun semakin lama ia berada di rumah, semakin ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ratmi terlihat begitu berani menatap Arfan di depannya. Sesekali ia bahkan tersenyum samar, seakan memberi kode tertentu.

Laila mencoba menepis pikiran buruk itu.

 “Ah, mungkin aku yang terlalu capek. Jangan sampai aku suudzon sama pembantu sendiri,” batinnya.

Malam itu, setelah makan malam, Laila berharap bisa kembali merasakan kehangatan bersama Arfan. Ia sudah menyiapkan dirinya, bahkan mengenakan daster kesukaan suaminya. Tapi Arfan tampak gelisah. Ia menyalakan televisi, duduk bersandar, tapi matanya kosong.

“Mas, kamu nggak kangen sama aku?” tanya Laila sambil mendekat.

Arfan menelan ludah. Bayangan wajah Ratmi muncul di kepalanya. Tubuhnya masih menyimpan sisa kenikmatan malam sebelumnya. Ia ingin dekat dengan Laila, tapi pikirannya kacau.

“Tentu saja kangen,” jawabnya akhirnya sambil memeluk istrinya.

Laila tersenyum lega, tapi dalam hatinya ia tetap merasakan jarak. Pelukan Arfan terasa hampa, tidak sehangat biasanya.

Di dapur, Ratmi yang pura-pura membereskan piring justru menguping percakapan mereka. Ia tersenyum sinis.

“Sebentar lagi, Bu Laila. Kamu akan tahu kalau suamimu bukan hanya milikmu.”

Hari-hari berikutnya, Laila semakin curiga. Arfan sering mencari alasan untuk keluar rumah atau sibuk di kamar kerja. Ratmi juga semakin berani. Pernah suatu sore, saat Laila baru saja keluar kamar, ia melihat sekilas Ratmi dan Arfan berdiri terlalu dekat di dapur.

“Mas, lagi ngapain?” tanya Laila dengan nada datar.

Arfan terkejut dan langsung mundur.

“Nggak, nggak apa-apa. Bi Ratmi cuma tanya belanjaan besok.”

Ratmi ikut menunduk, pura-pura sibuk dengan piring di tangannya. Tapi senyum samar di bibirnya nyaris membuat Laila marah.

Laila mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Hatinya sakit, tapi ia mencoba menahan. Ia berusaha percaya bahwa suaminya tidak mungkin mengkhianatinya.

Namun jauh di lubuk hati, ia tahu badai besar akan segera datang.

Malam semakin larut. Lampu-lampu di ruang tamu masih menyala, menyisakan cahaya kekuningan yang samar masuk melalui celah pintu kamar. Arfan baru saja tiba dari luar setelah menenggak jamu kuat di warung jamu langganannya. Napasnya masih sedikit memburu, bukan karena lelah, melainkan karena darahnya yang berdesir cepat akibat efek jamu yang sudah mulai bekerja dalam tubuhnya.

Sesaat ia berhenti di depan pintu rumah, menarik napas dalam-dalam. Wajahnya mencoba tenang, meskipun di dalam hatinya ada rasa bersalah yang semakin menekan. Sejak pertemuannya dengan Bi Ratmi beberapa malam di dapur, bayangan itu tak mau hilang dari kepalanya. Ia tahu telah melangkah terlalu jauh, bahkan ketika Laila sedang tidak ada di rumah. Namun kini, ketika Laila sudah kembali dari kampung setelah empat hari, Arfan sadar ia harus berperan sempurna sebagai suami yang setia.

“Mas, dari mana saja? Dari tadi aku cari-cari nggak ada,” suara Laila terdengar dari dalam rumah begitu Arfan membuka pintu.

Arfan tersenyum kikuk, menutup pintu dengan cepat.

“Tadi keluar sebentar, sayang. Cari angin segar. Kamu udah makan?” tanyanya sambil menghampiri.

Laila menatap Arfan dengan sorot penuh tanya. Tatapan itu membuat jantung Arfan berdegup lebih cepat. Seakan-akan Laila sudah tahu ada yang disembunyikannya.

“Udah, mas. Aku makan sedikit tadi. Tapi kenapa kamu keliatan... beda? Kayak buru-buru gitu.”

Arfan cepat-cepat mengalihkan topik. Ia meraih tangan Laila, menuntunnya menuju kamar.

“Sayang, udah malem. Yuk ke kamar, aku kangen banget sama kamu,” ucapnya dengan nada setengah berbisik.

Laila menghela napas. Ia tahu betul kode itu. Sejak awal menikah, setiap kali Arfan berkata dengan nada lembut seperti itu, sudah pasti ada maksud di baliknya: ranjang. Ia tersenyum samar, lalu mengangguk pelan.

“Baik, mas.”

Lampu kamar diredupkan. Hanya tersisa lampu tidur kecil di sudut ruangan yang memancarkan cahaya oranye lembut. Arfan duduk di tepi ranjang, membuka kemeja yang tadi ia kenakan. Tubuhnya mulai memanas, efek jamu membuat otot-ototnya terasa lebih tegang.

Sementara itu Laila menatapnya, mencoba memahami. Sejak dari kampung, ia sudah bertekad untuk berubah. Ia sadar bahwa dalam pernikahannya, salah satu hal yang paling membuat Arfan gelisah adalah soal ranjang. Selama ini ia sering mengeluh lelah, menolak halus ketika Arfan menginginkan dirinya. Namun setelah bercakap panjang dengan ibunya di kampung, Laila sadar: ia tidak bisa terus-menerus menolak. Kalau ia terus menjauh, bisa saja Arfan mencari pelarian di luar.

“Mari, mas,” ucap Laila lembut sambil menghampiri. Ia berusaha menyingkirkan lelah perjalanan panjang enam jam tadi. Tangannya terulur, membuka resleting celana Arfan dengan gerakan penuh kerelaan.

Arfan mendesah pelan.

 “Tumben kamu yang mulai duluan,” katanya setengah terkejut.

“Iya mas,” jawab Laila.

“Setelah aku pulang kampung kemarin, aku banyak berpikir. Aku sadar... aku harus ikhlas melayani mas di ranjang. Aku nggak mau mas merasa kekurangan.”

Mendengar kalimat itu, dada Arfan terasa sesak. Sejenak ia menahan gerakan tangannya, lalu memeluk Laila erat-erat.

“Sayang... jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak pernah bikin aku merasa kekurangan. Justru aku yang sering egois,” bisiknya.

Namun efek jamu yang sudah ia minum mulai menuntut pelepasan. Hatinya bergejolak antara rasa bersalah dan hasrat yang menggebu. Pelukan erat itu berubah menjadi ciuman panas, dan akhirnya malam itu mereka larut dalam permainan panjang.

Di tengah momen intim itu, pikiran Laila melayang. Ia memang ingin berusaha ikhlas, tetapi jauh di dasar hatinya, ada rasa lelah yang sulit ia bohongi. Sudah lama ia merasa tubuhnya seperti mesin, selalu harus siap kapan pun Arfan menginginkan. Kadang malam, kadang pagi, kadang bahkan di waktu yang ia tidak duga.

Namun ia ingat ucapan ibunya sebelum ia kembali ke kota:

“Nak, seorang istri memang harus kuat. Tapi kamu juga harus pandai menjaga dirimu. Kalau kamu merasa tidak sanggup, bicarakan dengan baik. Jangan hanya menahan sendiri.”

Ucapan itu terus terngiang. Laila ingin sekali bisa bicara jujur kepada Arfan, ingin mengatakan betapa ia sering merasa letih, betapa ia ingin dihargai bukan hanya karena bisa memenuhi hasrat suami. Tetapi setiap kali melihat Arfan, ia merasa takut. Arfan bisa saja marah, bahkan bisa menuduhnya tidak taat sebagai istri.

Malam itu, ia memilih diam. Ia pasrah, menyerahkan tubuhnya seutuhnya kepada Arfan.

Sementara Arfan, meski tubuhnya bergairah, hatinya diliputi rasa bersalah yang pekat. Jamu yang ia minum membuat dirinya lebih bertenaga, lebih lama, dan lebih panas. Ia merasa Laila pasti merasakan perbedaan.

“Bagaimana kalau Laila curiga? Bagaimana kalau dia tahu aku minum jamu dulu di luar?”

Namun di sisi lain, ia juga tidak bisa berhenti. Dorongan itu terlalu kuat, menguasai pikirannya, membuatnya semakin intens malam itu.

Selesai melampiaskan, Arfan terbaring dengan napas terengah, memeluk Laila erat.

“Maaf ya, sayang. Aku... aku kangen banget sama kamu,” ucapnya pelan.

Laila hanya tersenyum kecil, membelai dada Arfan.

“Aku juga kangen, mas.”

Namun dalam hatinya, Laila tahu malam-malam berikutnya akan semakin berat. Kalau Arfan semakin terbiasa dengan tenaga barunya ini, ia harus lebih siap.

sementara di dapur gelap Ratmi mendengar suara-suara samar dari kamar majikannya. Wajahnya muram, bibirnya menggumam lirih,

“Seenaknya saja manjain si Laila. Padahal aku sudah menyiapkan segalanya untuk dia. Tunggu saja... semua nggak akan berjalan mulus.”

Ia masih menyimpan rahasia besar: sosok di balik dirinya yang menjadi dalang semua rencana. Dan ia tahu, suatu saat Laila pasti akan terjebak dalam permainan yang lebih besar.

1
Agnes Gulo
semoga Laila pisah dgn arfan, arfan tuh gak tegas, alasan takut tapi dibaliknya nafsu
Agnes Gulo
terimakasih sdh up kk, semangat terus utk menulis, ceritanya bener2 buat penasaran 😍
Agnes Gulo
semangat terus utk up tiap hari kakak
Euis Setiawati: semangat....💪💪
total 1 replies
Agnes Gulo
semangat kakak utk UP, alur cerita nya bagus, semoga Laila mendapatkan yg terbaik ☺
Euis Setiawati: terimakasih say....😍😊
total 1 replies
I Love you,
emang kamujuga sundal ardhan! KLO istri diruma di buat kayak pemuas" nafsu! giliran gada, karna ada sesuatu mendadak..BKN Brati senaknnya kamu main tidurin perempuan lain ; mbantu lgi OMG aku bik no!! oond
Vanni Sr
ini laila ny terlalu bodoh sib klo kt aku mah ya, udh tiap mlm d gempur terus apa² d pendem, gada ketegsan jg, laki ny jg seenk ny sndri, crta ny kek yg udh² suami main sm pembatu. tnggl cari org but rawat ibu ny yg skit ini malah lama2 d kampung , mending dah pisah aja. krn g cm sekali berhubungn psti tuh mereka
Zoe Medrano
Aku yakin ceritamu bisa membuat banyak pembaca terhibur, semangat terus author!
Euis Setiawati: terimakasih ka....😍
total 1 replies
Mepica_Elano
Emosinya terasa begitu dalam dan nyata. 😢❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!