POV Devan
Mimpi apa aku semalam, mendapatkan sekretaris yang kelakuannya di luar prediksi BMKG.
"MAS DEVAAAAAAANNN!!!" Teriakan kencang Freya berhasil menarik perhatian semua orang yang ada di sekitarnya.
"Teganya Mas meninggalkanku begitu saja setelah apa yang Mas perbuat. Mas pikir hanya dengan uang ini, bisa membayar kesalahanmu?"
Freya menunjukkan lembaran uang di tangannya. Devan memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening. Dengan langkah lebar, Devan menghampiri Freya.
"Apa yang kamu lakukan?" geram Devan dengan suara tertahan.
"Kabulkan keinginan ku, maka aku akan menghentikan ini," jawab Freya dengan senyum smirk-nya.
"Jangan macam-macam denganku, atau...."
"AKU HAMIL ANAKMU, MAS!!! DIA DARAH DAGINGMU!!"
"Oh My God! Dasar cewek gila! Ikut aku sekarang!"
Dengan kasar Devan menarik tangan Freya, memaksa gadis itu mengikuti langkah panjangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiffany
"Devan.."
Wanita cantik itu mendekati Devan. Melihat gerak-gerik Tiffany yang seperti hendak memeluknya, Devan langsung berkelit dan menjaga jarak dari wanita itu. Kening Tiffany mengernyit melihat reaksi dari Devan. Biasanya pria itu tidak menolak jika dia memeluknya. Bahkan bukan hanya pelukan, terkadang Tiffany sering mengecup bibir Devan dan pria itu membiarkan saja. Namun kali ini sikap Devan sungguh bertolak belakang.
"Dev.. what's wrong with you?" tanya Tiffany heran.
"Nothing. Aku hanya ngga nyaman aja."
"Why? Bukannya ini hal biasa?"
"Dulu iya, tapi tidak sekarang. Aku harap kamu mengerti."
Freya sudah seperti kambing congek saja mendengar percakapan kedua orang di depannya. Dia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Mata Freya terus memandangi Devan dan Tiffany bergantian. Tapi paling lama Freya memandangi Tiffany. Wanita itu terlihat sempurna di matanya. Cantik, tubuh yang proporsional dan memiliki s*x appeals yang sukses membuat kamu Adam tertarik jika melihatnya. Sungguh Freya merasa dirinya ibarat remahan biskuit jika disandingkan dengan Tiffany.
"Kamu berubah, Dev," ucapan Tiffany menarik kembali kesadaran Freya. Gadis itu kembali fokus dengan pembicaraan Devan dan Tiffany.
"People changes, Tif. Sudah lupakan saja, kenalkan ini sekretarisku, Freya."
"Freya," Freya langsung mengulurkan tangannya pada Tiffany.
"Tiffany," sambut wanita itu.
"Bisa kita mulai?"
"Kita bicara di ruanganku saja."
Tiffany mengajak Devan dan Freya menuju ruangannya yang ada di lantai lima belas. Ketika berada di dalam lift, posisi Freya berada di tengah-tengah Tiffany dan Devan. Gadis itu mendongakkan kepalanya melihat dua menara di sebelahnya.
"Sekretaris kamu imut banget, Dev," ujar Tiffany sambil tersenyum. Dia baru menyadari setelah gadis itu berdiri di antaranya dan juga Devan.
"Dia emang masih saudaraan sama hobit," jawab Devan cuek. Tidak dipedulikannya tatapan horor Freya padanya.
"Ya ampun, mulut kamu dari dulu ngga berubah ya."
"Bu Tiffany udah lama kenal Pak Devan?"
"Sudah. Kita berteman sejak remaja. Selama di New York kami berteman dekat. Kenapa?"
"Pak Devan hobinya makan Paria ya?"
"Paria? Apa itu?"
"Sayuran yang rasanya pahit. Persis kaya omongannya Pak Devan."
"Hahaha... Oh My God, I like your secretary."
Devan hanya berdecak saja. Keributan antara dirinya dan Freya kembali. Keduanya saling berbalas ledekan dan sindiran. Tiffany tak berhenti tertawa melihat sikap keduanya. Yang dia heran, bersama dengan Freya, Devan jadi lebih banyak berbicara.
Kotak besi yang mereka tumpangi berhenti di lantai lima belas. Tiffany keluar lebih dulu untuk memandu kedua tamunya. Dia meminta sekretarisnya untuk menyediakan minuman. Sebuah ruang kerja yang cukup luas dimasuki oleh Devan dan Freya. Ruang kerja Tiffany tidak kalah luas dengan ruang kerja Devan. Wanita itu memang menduduki jabatan penting di perusahaan sebagai direktur operasional. Tiffany mempersilakan Devan dan Freya duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Wanita itu mengambil duduk di sofa tunggal yang berhadapan dengan sofa yang ditempati Devan.
"Aku dengar kamu merubah konsep yang kami buat," Devan langsung menuju ke inti pembicaraan.
"Iya. Setelah aku melihat secara langsung bentuk bangunan, aku memang mengubahnya. Tapi sebenarnya bukan sepenuhnya merubah. Ada beberapa bagian yang aku tukar penempatannya."
Tiffany berdiri lalu menyalakan in focus. Wanita itu mempresentasikan perubahan yang dibuatnya. Dengan serius Devan memperhatikan sambil sesekali melihat lembaran kertas di tangannya. Membandingkan konsep terdahulu dengan konsep yang disampaikan Tiffany.
"Di konsep awal, kamar di lantai ini akan didesain ala Chinese. Tapi menurutku tidak tepat. Jadi aku mengubahnya menjadi konsep Turki. Ini sangat sesuai dengan keadaan di luar. Lalu untuk beberapa desain kamar lain juga sudah aku ubah. Silakan dilihat sendiri."
Tiffany memberikan buku katalog yang berisi desain interior kamar yang sudah dibuat oleh timnya. Devan memperhatikan dengan seksama desain yang diberikan oleh Tiffany. Pria itu cukup puas dengan hasil yang diberikan wanita itu. Akhirnya Devan menyetujui perubahan yang diusulkan oleh Tiffany.
"Kira-kira kapan pembangunan selesai?" Tiffany melihat pada Devan.
"Kalau tidak ada hambatan, mungkin akhir bulan depan. Kamu dan tim bisa langsung mengerjakan interiornya. Kira-kira berapa lama yang kamu butuhkan untuk mendesainnya?"
"Paling lama tiga bulan kalau semua bahan sudah lengkap."
"Oke. Aku setuju dengan usulanmu."
"Apa kamu akan meninjau langsung prosesnya?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu kita akan sering bertemu."
Tiffany mengedipkan sebelah matanya pada Devan. Dia sudah menantikan momen ini, di mana bisa bekerja sama dan berinteraksi lebih sering dengan Devan. Sejak dulu Tiffany sudah menyukai pria itu, namun dirinya harus menelan kekecewaan ketika Devan bertunangan dengan Julia, Tiffany harus memupus harapannya. Dia sempat menjaga jarak agar tidak jatuh terlalu dalam. Tapi setelah pertunangan mereka kandas, Tiffany memiliki harapan baru. Semoga saja Devan mau membuka hati untuknya.
"Apa kamu mau makan siang denganku?"
Belum sempat Devan menjawab, terdengar suara adzan dari ponsel pria itu. Tiffany nampak terkejut. Setahunya Devan selalu abai dengan kewajibannya sebagai muslim. Tapi setelah hampir tiga tahun tak bertemu, pria itu mengalami banyak perubahan.
"Apa di kantor ini ada mushola?" tanya Devan.
"Ada di lantai enam. Ayo aku antar. Oh ya, soal makan siang gimana?"
"Boleh."
Tiffany tersenyum senang. Wanita itu berdiri lalu memandu Devan menuju mushola yang ada di lantai enam. Dia benar-benar terkejut dengan perubahan Devan. Sekarang pria itu menjadi rajin beribadah. Pantas saja pria itu menolak ketika hendak dipeluk olehnya. Devan sepertinya sudah membatasi interaksi dengan perempuan. Tidak seperti dulu yang selalu bersikap bebas pada siapa saja.
Usai menunaikan ibadah shalat Dzuhur, Tiffany mengajak Devan menuju restoran yang letaknya tidak jauh dari kantornya. Mengetahui kalau mereka akan pergi makan siang, tentu saja Freya sangat bersemangat. Perut gadis itu memang sudah meraung-raung minta diisi. Seorang pelayan langsung menyambut kedatangan Tiffany yang merupakan pelanggan restoran ini. Pelayan wanita itu memandu mereka menuju meja yang ada di bagian sudut.
Freya membaca deretan menu yang tertera di buku menu. Beberapa kali dia menelan ludahnya kelat membayangkan rasa lezat dari gambar masakan yang dilihatnya. Terdengar suara Tiffany memesan menu western untuk makan siangnya, begitu pula dengan Devan.
"Kamu pesan apa, Frey?" tanya Tiffany.
"Pesan soto Betawi dan nasi."
Pelayan segera mencatat pesanan semuanya. Devan menambahkan menu dessert untuk mereka. Dia juga memesankan es krim untuk Freya tanpa sepengetahuan gadis itu. Selesai mencatat semua pesanan, sang pelayan segera meninggalkan meja.
"Dev.. apa benar kamu dan Julia sudah putus?" tanya Tiffany sambil memandangi Devan dengan tatapan penuh cinta.
"Hem.."
"Kamu belum ada niatan menikah atau menjalin hubungan dengan perempuan lagi?"
"Saat ini belum."
"Kalau begitu, apa aku boleh mencoba mendaftar jadi calon istrimu?"
Sontak Freya melihat pada Tiffany. Dia sungguh tidak menyangka wanita di sebelahnya ini cukup berani juga mengutarakan perasaannya. Gadis itu mencoba bersikap tak peduli, namun telinganya terbuka lebar, menantikan jawaban dari Devan. Dia ingin tahu reaksi bos dinginnya ini. Namun sayang tidak ada jawaban apapun dari Devan. Pria itu tetap fokus membaca e-mail yang dikirimkan Ega.
"Dev.." panggil Tiffany yang merasa diabaikan oleh Devan.
"Apa?"
"Pertanyaanku tadi kamu belum menjawabnya."
"Untuk saat ini aku belum memikirkan soal pernikahan. Bagiku, untuk menikah ada kriteria yang harus dipenuhi oleh calon istriku. Dan untuk saat ini, kamu belum memenuhi kriteria itu."
"Memangnya apa kriteria menjadi istrimu? Katakan saja, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya."
Terdengar tawa kecil Devan. Pria itu hanya menggelengkan kepalanya saja. Menurutnya Tiffany tidak akan pernah bisa memenuhi kriteria yang dia inginkan. Saat ini Dita masih menjadi standarnya dalam memilih pasangan. Tiffany cukup kecewa melihat reaksi Devan, namun wanita itu sudah bertekad untuk bisa mendapatkan Devan. Mungkin dia harus mendekati Ega agar tahu kriteria wanita seperti apa yang diinginkan Devan.
***
Selesai makan siang, Devan mengajak Freya kembali ke kantor. Pria itu menjalankan kendaraannya membelah jalanan Ibu Kota. Perjalanan memakan waktu sedikit lama karena kepadatan arus lalu lintas. Beberapa kali mereka harus tertahan di lampu merah. Devan menghentikan mobilnya ketika lampu lalu lintas berubah merah.
"Ehm.. Pak, boleh nanya ngga?"
"Soal apa?"
"Soal Bu Tiffany. Dia teman Bapak ya?"
"Hem.."
"Bu Tiffany cantik ya, Pak. Pasti banyak laki-laki yang suka sama dia. Bapak beneran ngga tertarik sama dia?"
PLETAK!
Freya terkejut ketika sebuah sentilan di kening yang didapatnya alih-alih jawaban Devan. Gadis itu mengusap keningnya yang terasa panas sambil memajukan bibirnya. Matanya menatap tajam pada Devan, tapi pria itu nampak tidak peduli dan tidak merasa bersalah sama sekali.
"Pantes aja masih jomblo, siapa juga yang mau sama-sama cowok jutek, dingin dan nyebelin," gerutu Freya pelan namun masih bisa terdengar oleh Devan.
"Saya dengar ya!"
"Bodo. Apa yang saya bilang kenyataan kok."
Devan mengangkat tangannya, bermaksud memberikan lagi sentilan maut untuk sekretarisnya. Secepat kat Freya menutup kening dengan kedua tangannya.
"Lampunya udah hijau, Pak," seru Freya mencoba mengalihkan perhatian Devan. Pria itu segera menekan pedal gas. Freya dapat bernafas lega terhindar dari sentilan maut bosnya.
***
Freya tengah berbaring di atas kasurnya. Tubuhnya benar-benar terasa penat seharian mengerjakan tugas dari Devan yang tidak ada habisnya. Sepertinya satu hari tidak menyiksanya, membuat Devan terkena virus mematikan. Baru saja Freya hendak memejamkan matanya, tiba-tiba ponselnya berdering. Dengan malas Freya mengambil ponselnya. Nampak di layar nama sang pemanggil adalah Devan. Mau tidak mau Freya menjawab panggilan tersebut.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Besok kita tidak ada jadwal makan siang dengan klien. Sesuai kesepakatan, kamu bawakan makan siang untuk saya. Bawakan juga untuk Ega dan Ganjar. Saya mau menunya ayam saos tiram, perkedel kentang dan cah brokoli. Buatkan juga sarapan untuk saya dan yang lain. Besok saya jemput kamu ke apartemen, jam tujuh harus sudah siap di lobi!"
Baru saja Freya hendak menjawab, panggilan sudah diakhiri secara sepihak oleh Devan. Freya menggeram kesal.
"Dasar bos nyebelin! Gue harus bangun jam berapa buat masak pesanan dia. Huaaaaa.. dasar bos devil!!!"
***
Bangun jam 2 aja sekalian sahur🤣
Devan perhatian sama Freya tahu ultahnya semoga berjodoh ya...
apa saran Ega akan di jalani Devan ???? Bagaimana nanti Devan cara mengajak menikah Freya ya...???
Ngikut Bunda aja ahc. EndingNya pasti Happy
Devan panas nih melihat Gavin bersana Freya