Zhavira adalah seorang gadis yang manja. Dibesarkan oleh ayahnya seorang diri setelah mamanya pergi entah kemana.
Kehidupan zha berubah total ketika ayahnya meninggal, terutama setelah seorang pria datang dan mengambilnya atas wasiat sang ayah. Pria bernama Edo Lazuardo itu mengemban amanat untuk mengurus zha setidaknya hingga ia dewasa.
Zha merasa hidupnya terkekang bersama Om bekunya, dan selalu saja ada masalah diantara mereka berdua. Apalagi dengan jarak usia yang cukup jauh untuk saling mengerti satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna Surliandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam tapi masih perhatian
Zha sore itu sudah keluar dari kelasnya. Ditempat biasa ia menunggu jemputan, ia dan zavan tengah duduk berdua berhadapan. Zha saat itu tengan membersihkan wajah zavan dengan tisu basah yang ia beli dikantin agar lebih cepat bersih karena disana tak menjual alat pembersih wajah.
Van menatap wajah cantik zha selama tengah membersihkannya. Diam, seakan begitu mengagumi keindahan yang tercipta didepan matanya. "Kak Van kok gitu?" tanya Zha yang menatapnya aneh.
"Sesuatu yang begitu sulit ku alihkan saat ini ada didepanku," jawab Van yang semakin intens dengan tatapannya.
"Ih, apaan? Masih kecil udah bisa gombal." Zha merapikan sisa tisu yang ada dilantai, kemudian pergi sejenak membuangnya ke tong sampah. Ia lalu kembali pada Van yang memang sejak tadi tak beranjak dari dirinya.
"Kau kira aku masih kecil?" tanya van.
"Ya... Ya iyalah, emang gimana? Kita masih kelas Tiga SMA loh. Zha aja 17tahun, dan sepertinya kakak baru 18?" Saat itu zavan tertawa mendengar tebakan zha padanya. Ia terkekeh, bahkan nyaris berguling dilantai karenanya.
Dan zha hanya terheran. Ia bahkan menoleh Kanan kiri takut jika banyak orang lain yang melihat mereka berdua seperti itu saat ini. Bahkan zha menegur van untuk mengerem tawanya yang memenuhi sudut itu.
"Kakaaak!!" tegur zha menepuk kakinya. Van kemudian diam, duduk bersila dan kembali menatap zha dengan tatapan hangatnya.
"Kau menebak usiaku semuda itu, apa kau kira aku bocah?"
"Hah?" Zha ternganga lagi mendengar ucapan van padanya seakan meminta kejelasan sejelas-jelasnya.
"Aku 20 tahun, zha. Dan bahkan Dua bulan lagi aku 21tahun," sambung Van dengan segala kenyataan tentang dirinya. Dan jangan ditanya lagi bagaimana ekspresi zha saat itu, langsung cengo dan seakan tak percaya dengan apa yang van katakan padanya.
Zavan lantas mengeluarkan dompet dan mencabut KTPnya disana. Ia segera menunjukkan pada zha agar ia percaya jika apa yang ia katakana adalah sebuah kenyataan. "Dan aku bukanlah orang yang suka bermain-main, Zha. Tertawa saja mungkin hanya denganmu," jujur van padanya.
Zha menelan saliva. Sayangnya ia belum memiliki kesempatan bertanya lagi karena Om edo sudah menjemputnya saat itu. Ia segera bersiap, pamit pada van dan berlari menghampiri om edo yang menunggunya didalam mobil.
"Om, Kok lama?" tanya zha yang langsung mengulurkan tangan, dan om edo segera menyambutnya untuk dicium zha.
"Dia siapa?" tanya om yang justru tak menjawab pertanyaan zha padanya.
"Temen," tunduk zha tak berani menatapnya.
Perjalanan keduanya begitu sunyi, hingga mereka tiba dirumah dan zha masuk dengan tergesa-gesa. Ac dari mobil om edo yang dingin membuat wajahnya sedikit gatal dan ia ingin segera mencucinya dengan air hangat.
"Kau harus jaga diri, Zha. Aku dan yang lain tak akan bisa sepenuhnya mengawasimu. Kami punya pekerjaan diluar," ujar om edo yang mendadak masuk kekemar zha dengan segala nasehat untuknya. Tapi, saat itu zha seperti kesal dengan makin ketatnya peraturan yang ada. Ia menatap om edo dengan tatapan yang cukup tajam dan menggambarkan kekesalan yang mendalam dari dalam hatinya.
"Jaga diri dari apa, Om? Itu kan zha bilang cuma temen. Om kenapa jadi ngekang zha sekarang?"
"Zha_"
"Iya, Zha ngerti kalau zha itu tanggung jawab om sekarang. Zha udah nurut sekolah disana, zha udah nurut ngga cari lagi temen lama zha untuk niat kumpul sama-sama. Bayangin, niat aja zha urungkan," tegas zha pada omnya.
Mendengar racauan zha padanya, om edo hanya bisa diam menaatap dan mendengar mulut cerewetnya yang sejak tadi bicara seakan mulutnya terkatup dan bahkan tak mampu mebalas ucapan gadis itu.
"Zha mau ganti baju. Om keluar sekarang," pinta zha dengan kesal padanya.
"Zhavira Anastasya!"
"Keluar, Om!!!" Zha mendorong tubuh besar dan kekar itu sekuat tenaganya hingga benar-benar keluar, dan ia segera menutup pintunya.
Om edo mematung disana selama berapa saat berharap zha kembali menemuinya. Tapi, itu semua tak terjadi dan pada akhirnya ia beralih untuk kembali kekamar miliknya sendiri.
Sementara zha didalam kamarnya segera meraih bear. Ia merobohkan dirinya ditubuh bear beberapa kali dan menindihnya seperti tengah bergulat sumo pada boneka besar itu. "Om jahat! Om edo ja-hat!! Aaarrrggh!!" Zha terus menyikuti body bear dengan kuat seakan tangah berkelahi dengan om edonya saat itu.
Hingga akhirnya perasaan zha begitu puas dan lega, kemudian ia merapikan bear kembali pada tempatnya semula. Ia lantas mengganti pakaian dan istirahat sejenak sebelum mandi dan mengerjakan tugasnya yang menumpuk begitu banyak didalam tas. Dan kegiatan monoton lain, yang akan membuatnya terus bertemu dengan om bekunya yang menyebalkan itu.
Zha bahkan tak semangat keluar menonton drakornya sore ini. Ia hanya ingin dikamar, terus mengolesi bentolnya dengan salep agar segera sembuh dan tak diejek lagi disekolah besok pagi. Ia juga tak mau van berkorban lagi untuknya karena ia merasa tak enak hati dan terus akan berhutang budi.
"Masa iya, kak van 21? Tua amat, baru kelas Tiga SMA? Dia kenapa? Ngga naik kelas?" Seribu pertanyaan menggelayut dalam fikiran zha saat itu, yang merasa van seperti sebuah misteri yang harus ia ungkap secepatnya.
"Tapi emang gating. Pembawaannya dewasa aja dibandingin temen sekelasnya, yang lebih tenang, berwibawa. Seperti_... Eh, kok malah om beku?" tepuknya pada kepalanya sendiri ketika justru sosok om beku yang hadir dan membayang dalam kepalanya.
"Zha, makan malam yuk," ajak wika yang masuk kedalam ruangan zha saat itu.
"Zha males, ada om disana." Zha justru menyandarkan diri di dashboard ranjangnya.
"Gimana ngga ketemu, kalian kan tinggal serumah. Ya jelas ketemu terus sama om edo. Ayo makan, nanti zha maghnya kumat," bujuk wika padanya.
Dan akhirnya zha mengalah, ia menggandeng wika turun kebawah menuju meja makan dan om edo sudah menunggunya disana. Mereka diam dan bahkan tak bertegur sapa sama sekali hingga makan malam mereka dimulai, bahkan wika tak berani menjadi penenga antara mereka disana. Andai ada o yan, pasti sedikit lebih hangat dari ini semua.
Bunyi sendok zha beradu dengan cukup kuat hingga om edo lantas meliriknya tajam. Tapi zha sama sekali tak menghiraukan dan tetap menikmati santapannya, hingga tanpa sadar mulutnya belepotan kemana-mana.
"Apa? Zha udah diem loh daritadi, masih juga dilihatin begitu." Tatap tajam zha pada om bekunya.
"Kau tak bisa sedikit pelan? Tergesa-gesa seperti itu justru akan membuatmu tersedak dan sakit,"
"Biarin aja sakit. Biar zha ngga sekolah, dan ngga ketemu temen-temen zha lagi nanti." Tukasnya.
Om edo hanya menggelengkan kepala dan menarik napasnya. Ia kemudian meraih selembar tissue, lalu mengusap pinggiran bibir zha yang kotor dengan sisa makanannya.
Deggg!!! Degup jantung zha bergemuruh dengan begitu kuatnya. Denyutnya terasa tak normal hingga menimbulkan nyeri didada, tapi masih bisa zha tahan didepan omnya.
Ia hanya menoleh, dan om edo hanya diam merapikan tissue yang baru saja ia pakai untuk mengusap kotoran di bibir zha barusan. Entah perasaan apa, dan zha sama sekali belum bisa menggambarkannya.
"Astaga, mereka. Dalam diam saja masih bisa menunjukkan perhatian," gumam wika yang menggelengkan kepalanya.