NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Kelly Astriky

Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.

Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.

Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps. 17 Nyaman

Kami akhirnya tiba di hotel. Tubuh terasa lelah, tapi hati tetap ringan. Setelah mandi, kami kembali ke tempat tidur, mengenakan pakaian santai, dan menikmati sisa malam yang sunyi tapi damai.

Martin merebahkan tubuhnya di atas kasur, lalu mengambil remote dan mulai mengganti-ganti channel TV tanpa benar-benar mencari sesuatu.

"Aku nggak ngerti acara di sini, tapi aku suka denger kamu ketawa waktu nonton," katanya sambil melirik ke arahku.

Aku duduk di sisi tempat tidur, mengeringkan rambut dengan handuk kecil.

"Kadang TV-nya nggak penting… yang penting siapa yang nonton bareng," jawabku pelan.

Martin tertawa pelan, lalu menarikku pelan ke sisinya.

Kami berbaring berdampingan. Suasana kamar temaram, hanya lampu kecil di sudut yang menyala redup. Suara TV mengalun samar, tapi percakapan kami lebih menarik dari semua acara yang ditayangkan malam itu.

Sampai di satu momen, ketika aku menoleh menatap wajahnya, dia juga sedang menatapku. Tak ada yang perlu dijelaskan.

Martin mendekat pelan, tangannya menyentuh wajahku dengan lembut,

lalu bibir kami bertemu dalam ciuman yang hangat dan tenang.

Tidak tergesa, tidak penuh gairah berlebihan.

Hanya dua hati yang saling merasa aman dan diterima.

Kami saling memeluk. Tubuh kami bersandar satu sama lain, seolah mencari pelukan yang selama ini hilang. Tidak ada kata-kata, hanya detak jantung yang pelan dan napas yang menyatu dalam keheningan.

Malam itu bukan tentang romansa murahan.

Malam itu tentang kenyamanan yang sulit ditemukan.

Malam itu masih berjalan pelan.

Setelah pelukan yang menenangkan dan percakapan ringan, kami kembali merebahkan tubuh di atas kasur. TV masih menyala, menayangkan acara dokumenter alam yang entah kenapa terasa pas menemani malam kami. Martin menggenggam tanganku dengan lembut.

Tiba-tiba, ponselku bergetar.

Layar menyala, menunjukkan panggilan dari nomor tanpa nama.

Aku diam. Tidak berniat mengangkat.

Tapi hanya dalam hitungan detik, panggilan itu muncul lagi.

Martin melirik ke arah ponselku. Wajahnya tetap tenang, tapi aku tahu dia memperhatikan.

"Kamu nggak angkat?" tanyanya lembut.

Aku menggeleng.

"Nggak penting."

Dia tidak langsung bertanya lagi.

Hanya menatapku sebentar, lalu matanya kembali ke layar TV.

Aku meletakkan ponsel menghadap ke bawah, menutup suara getarnya dengan bantal kecil di sampingku. Lalu aku berbalik menghadap Martin.

"Aku cuma ingin malam ini tetap tenang," kataku pelan.

"Memangnya siapa yang tadi nelpon kamu?"

Aku tersenyum tipis tanpa menjawab. Tapi dia bisa menebaknya dari mataku.

"Pacarmu?" Tanyanya santai

Aku menggeleng.

"Aku tidak punya pacar"

"Terus??"

"Yah, dia hanya masa laluku"

"Mantanmu? Tapi kenapa kamu tidak mengangkat telfonnya?"

"Tidak penting"

Maarten diam tanpa berusaha bertanya apapun lagi.

Martin tersenyum tipis.

"Kalau itu ganggu kamu… ya jangan dibuka. Kadang masa lalu memang suka nyelip tanpa permisi. Tapi kamu berhak nolak."

Aku terdiam, menatapnya. Ada rasa lega di balik kata-katanya. Ia tidak menuntut penjelasan. Ia hanya ingin memastikan aku baik-baik saja.

"Terima kasih ya…" ucapku pelan.

Martin menyentuh pipiku dengan ibu jarinya.

"Apa pun yang kamu sembunyikan sekarang… aku nggak maksa kamu cerita. Tapi kalau suatu saat kamu siap, aku di sini."

Aku menarik napas dalam.

Mungkin itulah kenapa aku nyaman bersamanya. Karena dia tidak mendesak. Dia hanya hadir, penuh, tenang, dan nyata. Dia membawa kedewasaan lebih dari yang aku bayangkan.

Dan malam itu, aku memutuskan untuk memeluknya lebih erat.

Bukan untuk melupakan masa lalu, tapi untuk mengingat… bahwa aku sedang ada di masa sekarang. Dan masa sekarangku… terasa aman.

Malam semakin larut, tapi kami belum mengantuk.

TV menyala tanpa suara, dan hanya lampu meja yang memberi cahaya lembut di kamar itu. Martin sedang memainkan ponselnya, sesekali tertawa kecil melihat video-video lucu yang muncul di berandanya.

Lalu tiba-tiba dia menoleh ke arahku, matanya berbinar seperti anak kecil yang punya ide.

"Kelly," katanya sambil mendekat, "kalau aku minta kamu rekomendasiin satu tempat keren di Indonesia, yang paling kamu sukai, hm, maksudku tempat yang punya suasana beda, kamu bakal jawab apa?"

Aku mengernyit, berpikir sebentar, lalu tersenyum pelan.

"Jogja."

Martin memiringkan kepalanya. "Jogja?"

"Yogyakarta," aku memperjelas. "Tapi orang sini biasa memanggilnya Jogja. Itu kota yang punya seni, budaya, makanan enak, tempat-tempat bersejarah, dan suasana yang... nggak bisa dijelasin. Kamu harus datang sendiri biar tau"

Martin langsung membuka Google di ponselnya.

"Tunggu… tunggu… ini aku cari."

Dia mengetik "Yogyakarta Indonesia", dan beberapa detik kemudian wajahnya berubah takjub.

"Whoa… look at this! There's a temple Borobudur? And this street… Malioboro… it looks magical."

Aku tertawa melihat reaksinya.

"Iya, Malioboro itu tempat yang wajib kamu kunjungi kalau kamu ke Jogja. Malam-malam jalan kaki di sana, makan angkringan, lihat seniman jalanan… suasananya beda."

Martin menatapku, senyumnya makin lebar.

"Kamu udah pernah ke sana?"

"Udah, beberapa kali. Dan setiap kali ke sana rasanya kayak pulang ke tempat lama, tapi tetap bisa jatuh cinta lagi."

Martin tampak benar-benar terpesona.

Lalu dia meletakkan ponselnya, menatapku serius.

"Oke. Setelah aku balik dari Sumatera… aku mau ke Jogja. Tapi aku nggak mau pergi sendiri."

Aku mengangkat alis.

"Maksudnya?"

Dia tersenyum, lalu mengambil tanganku.

"Kamu ikut sama aku. Kita pergi bareng. Aku pengen kamu tunjukkin tempat favorit kamu di sana. Anggap aja… kita mulai cerita baru di kota yang kamu cinta."

Aku terdiam sebentar, lalu tertawa kecil.

"Martin, kamu bahkan belum ke Sumatera, udah mikirin Jogja."

"Karena kamu bikin Jogja kedengeran kayak mimpi yang harus aku kejar," katanya pelan."Dan sekarang aku harus mengubah petaku lagi".

Dia mengeluarkan kertas dan mengubah rute perjalanan, yang sebelumnya ia rencanakan.

Dan malam itu, di antara selimut tipis dan cahaya redup kamar hotel, kami merencanakan sebuah perjalanan kecil yang mungkin bisa jadi langkah baru.

Langkah menuju sesuatu yang lebih dari sekadar liburan.

Aku menatapnya, masih tersenyum setelah percakapan soal Jogja tadi.

Lalu aku bertanya pelan,

"Jadi… kamu ke Sumatra itu mau ngapain sebenernya?"

Martin menoleh padaku, matanya langsung berbinar.

"Aku mau ke hutan. Lihat orangutan. Dan kalau beruntung… mungkin bisa lihat harimau Sumatra."

Aku sedikit terkejut.

"Serius kamu? Harimau Sumatra?"

Dia mengangguk mantap.

"Iya. Itu satwa langka. Aku selalu tertarik sama kehidupan liar. Di Belgia aku gak bisa lihat hal kayak gitu. Paling cuma taman kota atau kebun binatang. Tapi di Indonesia… semua masih alami. Masih liar, masih jujur."

Aku memiringkan kepala.

"Kamu nggak takut masuk hutan?"

Martin tertawa pelan.

"Kalau ada kamu, mungkin aku lebih takut… karena kamu bisa buat aku lupa jalan pulang."

Aku tertawa, memukul pelan lengannya.

"Dasar nakal kamu."

"Tapi serius," katanya sambil menatapku lebih dalam.

"Aku suka alam. Suara daun yang digesek angin, aroma tanah basah, sinar matahari yang masuk di antara pepohonan tinggi... Semua itu bikin aku merasa hidup. Dan Indonesia punya semuanya."

Aku mengangguk pelan, mulai paham sisi lain Martin yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Bukan hanya pria yang suka senyum dan bicara manis, tapi seseorang yang punya jiwa petualang dan rasa cinta besar pada dunia.

"Aku suka kamu cerita kayak gini," kataku akhirnya.

"Kenapa?"

"Karena kamu bikin semuanya terdengar penting. Alam, binatang, bahkan pohon pun kayak punya cerita sendiri waktu kamu ngomongin."

Martin tersenyum hangat.

"Dan kamu, Kelly… kamu juga bagian dari cerita yang pengen aku jaga."

Malam itu, kami tidak banyak bicara lagi.

Setelah percakapan tentang Jogja dan rencananya ke Sumatra, kami hanya duduk berdua dalam diam yang nyaman.

Aku melirik ke arahnya. Dia masih menatap langit-langit kamar, seolah membayangkan hutan lebat Sumatra, orangutan yang bergelantungan, dan suara alam yang hanya bisa didengar oleh mereka yang benar-benar ingin mendengarkan.

Dan aku… aku hanya memandangnya diam-diam.

Seseorang dari negeri jauh, yang datang hanya untuk liburan, tapi berhasil menyentuh sisi terdalam diriku yang sempat mati rasa.

Aku menarik napas pelan.

Dalam hati, aku tahu… tidak semua yang datang akan tinggal. Tapi beberapa pertemuan memang ditakdirkan untuk mengubah kita, walau hanya sebentar.

Dan kalaupun nanti dia benar-benar pergi ke Sumatra, ke hutan, ke tempat-tempat jauh yang belum pernah aku lihat, setidaknya malam ini, dia ada di sini.

Bersamaku.

Menjadi cerita yang indah… sebelum dunia kembali memisahkan langkah kami.

1
Kelly Hasya Astriky
sangat memuaskan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!