menceritakan seorang guru yang ingin hidup sederhana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M syamsur Rizal (Rizal), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tegang
Hana terdiam, matanya membesar tak percaya. Ucapan ibunya barusan membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Dengan langkah cepat ia mendekati Andre, wajahnya cemas.
“Paman Andre, paman memang… sedikit kelewatan,” ucap Hana pelan, menunduk, mencoba meredam amarah semua orang.
Namun Benny sudah tak bisa menahan diri. Wajahnya merah padam, matanya memancarkan amarah yang nyaris membara.
“Cukup! Pelayan! Cepat seret dia keluar!” teriaknya, suara menggema di ruang besar itu.
Beberapa pelayan segera menghampiri Andre, menunduk takut tapi tetap menurut perintah. Mereka menggenggam lengan Andre, siap menariknya keluar.
Namun sebelum langkah Andre benar-benar dihela ke pintu, suara tajam memecah ketegangan.
“Tunggu.” ucap nesia
Semua menoleh. Master Nesia berdiri tegak, matanya menatap tajam pada Andre.
"berani bicara sombong di depanku?” katanya dengan nada sinis, bibirnya melengkung dingin.
“Kalau kau berani bicara begitu, pasti ada sesuatu yang kau yakini. Katakan! Aku ingin tahu apa yang bisa keluar dari mulutmu!”
Pelayan berhenti. Ruangan itu hening, seolah udara menahan napasnya.
Hana menatap ke arah Master Nesia dengan wajah pucat. Ia tahu betul siapa Nesia — murid dari tabib besar yang dihormati seluruh negeri. Kalau keduanya bentrok… ini bisa jadi bencana untuk Andre.
“Gawat… gawat…” gumam Hana cemas, langkahnya ragu.
“Master Nesia,” katanya gugup, “paman saya ini mungkin sedang… mabuk. Mari saya bawa keluar dulu, ya?” Hana mencoba menarik lengan Andre.
“Paman, ayo. Kita keluar dulu, segarkan pikiran.” ucap Hana
Namun Andre tetap tenang. Tatapannya tajam, namun suaranya datar, penuh keyakinan.
“Hana, aku tidak mabuk. Aku tahu betul apa yang kukatakan.” ucap Andre sangat tenang
Ketegangan makin terasa. Semua menatap Andre yang kini berhadapan langsung dengan Master Nesia.
“Baik,” kata Nesia, menantang. “Katakan kalau kau memang tahu sesuatu. Aku ingin dengar.” ucap master nesia ingin tahu apa sebenarnya yang di yakini Andre ini, nesia sudah berusaha semaksimal mungkin.
Andre menarik napas panjang. Matanya menatap lurus ke arah Nesia, lalu ke arah pasien di ranjang.
“Kau sudah mempertimbangkan waktu, kau sudah mempertimbangkan orang… apakahkau sudah pertimbangan geografis?”Andre katanya datar namun dalam.
“Geografis?” ulang Nesia dengan dahi berkerut.
Andre melangkah pelan ke arah jendela, menatap keluar.
“Kediaman Zion ini berdiri di tanah yang unik dan tanah harta karun. Matahari terbit dari timur tepat di depan rumah ini, dan rumah ini menghadap ke selatan — arah energi panas tertinggi.” ucap Andre
Suara Andre rendah tapi tegas, setiap katanya seperti mengguncang udara.
“Bahkan di musim hujan, energi panas di tempat ini tiga kali lipat dibandingkan tempat lain. Pil yang hendak kau berikan, pil penambah energi—di tanah seperti ini akan memicu ledakan panas dalam tubuh pasien. Efeknya bukan penyembuhan…”
Andre menatap tajam pada Nesia.
“...melainkan kematian perlahan.” ucap Andre dingin
Ruangan itu membeku.
Master Nesia terpaku, pupil matanya bergetar.
“Tidak… mustahil… tapi…” gumamnya pelan, lalu terdiam. Karena semua yang dikatakan Andre… benar.
Kenny yang sejak tadi terdiam menelan ludah.
“Ini… apa yang sebenarnya terjadi? Ucap Kenny
"Mungkinkah yang dikatakan pria tua itu benar?”ucap Kenny
Hana menatap Nesia yang kini menunduk lesu.
“Kalau paman Andre salah… kenapa wajah Master Nesia seperti itu jadi..?” ucap Hana perlahan.
Lena yang sebelumnya meremehkan Andre kini menatapnya dengan rasa bersalah.
“apa.. Apa ucapan Andre iti beneran? Jadi… aku salah menilai dia…,” Gumam lena lirih.
Namun Benny masih menolak percaya.
“Tidak mungkin! Ini cuma omong kosong! Master Nesia, kau jangan terpedaya! Kau pewaris dokter kerajaan! Jangan biarkan pria tua ini menggertakmu!” ucap Benny sangat yakin
Benny melangkah cepat ke arah ranjang ibunya, tangannya menggenggam pil yang hendak ia suapkan.
“Aku akan beri ibuku pil ini!” ucap Benny
Tapi belum sempat pil itu menyentuh bibir sang ibu, suara Nesia tiba-tiba menggema.
“Berhenti!” ucap nesia
Semua menoleh kaget. Master Nesia menggenggam tangannya sendiri, wajahnya pucat.
“Ucapan tuan Andre benar…” katanya gemetar. “Pil penambah energi ini… tidak boleh dimakan oleh nyonya Feby!” ucap nesia
“APA?!” Benny terkejut, hampir menjatuhkan pil di tangannya.
Nesia segera mengemasi barang-barangnya, wajahnya menunduk dalam rasa malu. Ia melangkah ingin pergi dari tempat tersebut lalu berhenti tapat di depan Andre master nesia menunduk rendah, memberi hormat.
“Terima kasih, tuan… karena telah menghentikan kebodohanku hari ini. Kalau tidak, aku sudah mencelakai orang lain. Aku akan mengasingkan diri selama tiga tahun… untuk memperdalam ilmu, dan tak akan menerima pasien lagi.” ucap nesia
Andre hanya melipat tangannya di dada, menatap tenang.
“Ingat, nak… segala sesuatu tak boleh terburu-buru. Perbanyak latihan. Waktu adalah bagian dari pengobatan.” ucap andre
Mester nesia berbalik badan ingin pergi, namun seketika dia teringat akan ucapan yang baru saja terlepas dari mulut andre.
Mata Nesia membesar. Kalimat itu—
Itu kata-kata yang sama dengan pesan terakhir dari kakek gurunya dulu.
Ia teringat masa kecilnya, bermain sepeda di taman sambil mendengarkan gurunya berkata,
“Nak, ingatlah. Segala sesuatu tidak boleh terburu-buru. Perbanyak latihan.” ucap kakek guru
Nesia menggigil. Perlahan ia berbalik, menatap Andre dengan mata berkaca-kaca. Lalu tanpa ragu
BRUK!
Ia berlutut di hadapan Andre, menyembah dengan hormat.
Semua terkejut, napas mereka tercekat.
Seorang master tabib besar… berlutut pada seorang pria tua misterius.
“Siapa sebenarnya… pria ini?” gumam Kenny lirih, suaranya hampir tak terdengar.
Udara di kediaman Zion seolah ikut membeku, menyisakan satu pertanyaan di benak semua orang
"Master Nesia, kenapa kau berlutut? Apa yang kau lakukan?"
Ucap Lena dengan nada terkejut, matanya membesar melihat sosok tabib ternama itu menunduk di hadapan Andre.
Namun Master Nesia tak menghiraukan perkataan Lena. Ia tetap berlutut, kedua tangannya diletakkan di depan dada dengan penuh rasa hormat.
“Melihat Anda masih sehat… saya sangat bahagia. Semoga Anda dan keluarga hidup bahagia selamanya,” ucapnya dengan senyum tenang, seolah menemukan sesuatu yang telah lama hilang.
Sebelum ada yang sempat bertanya, Master Nesia berdiri perlahan, membenarkan jubahnya, lalu melangkah pergi. Ia tidak menoleh, tidak menjelaskan apa pun. Hanya langkahnya yang bergema di ruangan yang mendadak sunyi.
Semua orang membeku. Tatapan mereka berganti-ganti antara Andre dan pintu yang baru saja tertutup di belakang Master Nesia.
“Paman Andre, ada apa sebenarnya? Kenapa Master Nesia bisa begitu hormat padamu?”
tanya Hana dengan nada penasaran.
Andre hanya tersenyum samar. “Mungkin karena aku pernah memecahkan kecelakaan medis untuknya dulu,” jawabnya tenang, meski matanya menyiratkan sesuatu yang jauh lebih dalam.
Ia jelas sedang menyembunyikan sesuatu. Identitasnya yang sebenarnya belum pantas diketahui oleh semua orang di tempat itu.
Lena yang tadi sempat menghina Andre kini menunduk, wajahnya memerah karena malu. Ia segera melangkah mendekati pria itu.
“Maaf, Andre… tadi aku—”
Andre langsung memotong, suaranya lembut namun tegas.
“Tidak masalah. Lupakan saja.”
“Haah? Apanya yang tidak masalah!” seru Benny tiba-tiba, matanya menyipit penuh emosi. “Master Nesia sudah pergi! Lalu bagaimana dengan ibuku?!”
Andre menatap Benny dengan tenang. “Bukankah pil-nya masih ada?”
Benny menegang. “Tapi… bukannya kau bilang pil itu tidak bisa dimakan?”
Andre tersenyum kecil. “Tadi kakak tidak percaya padaku.”
“Hentikan! Siapa kakakmu, hah?” bentak Benny kesal.