“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seseorang Yang Paling Tidak Ingin Ia Temui Pagi Ini
Begitu Tara dan Dirga menghilang di balik pintu kaca lobby, Alan akhirnya mampu menggerakkan kakinya. Entah apa yang ia pikirkan, tapi pria itu bergegas melangkahkan kaki meninggalkan lobby menuju ke parkiran.
“Sial! Tidak seharusnya aku melakukan hal ini,” gumamnya dalam hati.
Ia juga tidak tahu kenapa ia harus penasaran dan mengikuti Dirga dan Tara yang lebih dulu ke parkiran. Ia ingin berhenti, tapi kedua kakinya bergerak seolah memiliki logika sendiri.
Beberapa menit kemudian, Alan berhenti di samping mobilnya. Dari tempatnya berdiri saat ini ia bisa melihat pemandangan yang membuat dadanya semakin sesak.
Dirga... memperlakukan Tara dengan begitu manis. Pria itu membukakan pintu mobil untuk Tara kemudian hingga memastikan gadis itu duduk dengan tenang di kursi penumpang.
Alan mengeraskan rahang, kedua tangannya mengepal. “Kau masih istriku, Tara. Harusnya kau ingat itu!” geramnya lirih.
Bebarapa saat kemudian, saat mesin mobil Dirga mulai menyala, Alan masuk ke mobilnya. Jam digital di atas dashboard menunjuk pukul 18.03 ketika akhirnya mobil Dirga bergerak pelan meninggalkan area basement.
Tanpa pikir panjang, Alan mengikuti di belakang, menjaga jarak aman tapi cukup dekat agar tidak kehilangan jejak.
Sepanjang perjalanan, Alan tanpa sadar terus mengumpat, melampiaskan kekesalannya entah itu kepada Tara ataupun Dirga. Napasnya naik turun.
Setelah berkendara beberapa hampir dua puluh menitan lamanya, mobil Dirga akhirnya berhenti di sebuah area parkir jalan yang ramai oleh pedagang kaki lima.
Dari kejauhan Alan yang juga ulai menepikan mobil tampak memicingkan mata.
“Kenapa mereka ke tempat seperti ini?”gumamnya sendiri.
Ia akhirnya ikut memarkirkan mobilnya, tapi tak berniat untuk turun.
Dari balik kaca gelap mobilnya, Alan bisa melihat dengan jelas saat Dirga dan Tara berjalan bersisian. Dirga dengan santai menuntun Tara lewat kerumunan, sementara gadis itu tampak mengikutinya dengan langkah ringan.
Keduanya berhenti di depan gerobak bakso sederhana. Penjualnya menyambut dengan senyum ramah, dan Alan dapat melihat bagaimana Dirga membalas sapaan itu dengan akrab.
Beberapa saat kemudian, Dirga dan Tara mengambil duduk berdampingan di sebuah bangku kayu panjang. Keduanya tampak mengobrol dan sesekali tertawa.
Dada Alan kembali mengencang.
Terasa perih.
Menusuk.
Ia ingin turun.
Inging menghampiri.
Ingin menarik Tara menjauh dari sang adik, memasukkannya ke dalam mobil, lalu membawanya pergi entah kemana asal tidak bersama pria lain.
Namun ia tetap diam.
Tangan kirinya mengepal kuat di atas setir.
“Sial...,” desisnya. Sial, sial, sial!”
Alan menunduk, memukul setir dengan tangannya. Napasnya tersengal karena amarah sekaligus panik yang tidak ingin ia akui.
“Kenapa kau bisa seperti ini, Alan?!” gumamnya getir. “Sialan, kau!”
Pria itu mengumpat, menyalahkan diri kenapa harus memiliki perasaan seperti ini. Sejak kapan ini terjadi? Sejak kapan ia tidak rela Tara bersama pria lain?
Beberapa saat kemudian, ia kembali mendongak, tapi lagi-lagi ia harus menyaksikan pemandangan yang membuat dadanya kian sesak. Di bangku itu, Tara terlihat tersenyum kecil ketika menyeka sudut bibirnya. Dirga mencondongkan tubuhnya sedikit, mengatakan sesuatu yang membuat gadis itu mengangguk pelan.
Alan memejamkan mata sesaat. Kesal, tidak rela, dan... sakit oleh sesuatu yang tidak pernah ia rencanakan bercampur jadi satu kekacauan yang sulit ia kendalikan.
Alan mengalihkan pandangan. Ia tidak sanggup melihat lagi.
Dengan helaan napas panjang, ia akhirnya menyalakan mesin mobil.
Perlahan mobilnya meninggalkan area parkir.
Ia tidak kembali ke kantor.
Tidak juga kembali ke rumah.
Alan melajukan mobilnya tanpa tujuan pasti.
Hingga akhirnya mobil hitam mengkilat itu berhenti di depan sebuah bar tua di sudut kota, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama teman-temannya sebelum menikah dengan Lira.
Alan menghela napas sebentar sebelum akhirnya keluar dari mobilnya, melangkah lesu masuk ke dalam bar itu.
Begitu ia masuk, dentuman musik yang mengalun bercampur aroma alkohol menyambutnya.
“Hey... Alan!” seru seseorang dari balik counter membuat pria itu mengalihkan pandangan. Ia lalu melangkah menghampiri pria itu.
Dia adalah Marco, pemilik bar sekaligus teman lamanya.
“Sudah lama tidak kelihatan. Istrimu mana? Tidak ikut?” tanya Marco mengibas handuk di bahunya.
Alan hanya menghela napas, tanpa menjawab. Ia justru mengambil tempat di stool bar.
“Masalah keluarga?” tanya Marco tanpa basa-basi.
“Bukan urusanmu,” jawabnya datar. Ia malas menjelaskan apapun saat ini.
Marco hanya tersenyum lalu menaruh segelas minuman di hadapan Alan. Ia tidak perlu bertanya jenis minuman apa yang Alan inginkan, karena ia sudah hafalselera pria itu.
“Mau ditemani wanita malam ini? Kebetulan aku ada barang baru...”
“Tidak,” potong Alan cepat dengan suara tajam.
Marco mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Baiklah... baik... Aku hanya bertanya.”
Alan meneguk minumannya dalam sekali tarikan. Ia berharap dengan sensasi panas yang membakar tenggorokannya bisa meredakan apa yang tengah bergejolak di dalam dadanya.
“Kau kelihatan kacau sekali, Al,” ujar Marco yang kini bersandar pada counter sambil memperhatikan temannya itu.
“Ya.” Hanya itu jawaban yang Alan berikan.
Tak sampai lima menit, pria itu sudah berdiri lagi, menepuk ringan counter bar.
“Terima kasih, Marc.”
Marco mengerutkan dahi. “Kau yakin tidak...”
“Aku harus pergi,” potong Alan cepat tanpa memberi penjelasan lebih.
Marco mengangkat bahunya sedikit, menatap kepergian pria itu hingga bayangan Alan menghilang di balik pintu.
Alih-alih pulang setelah keluar dari bar, Alan justru mengarahkan mobilnya ke arah kost-an Tara. Ia hanya mengikuti naluri yang tak bisa ia hentikan saat ini.
Ia menghentikan mobilnya di seberang jalan, di tempat yang cukup gelap dan tidak terlihat, namun bisa cukup jelas untuk mengawasi pintu gerbang kecil bangunan lantai dua itu.
Sampai pada akhirnya, saat jam digital di dashboard menunjukkan pukul delapan lewat tiga menit, ia melihat mobil Dirga berhenti tak jauh dari gerbang.
Tara turun lebih dulu, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Dan Dirga membalasnya sambil memberi isyarat kecil dengan tangan dari balik kemudi.
Interaksi sederhana itu kembali menusuk dada Alan.
Sebelum masuk ke dalam kost-an, Tara terlihat melambaikan tangan ke arah Dirga. Dan Dirga menunggu sampai pintu pagar tertutup sebelum akhirnya ia pergi.
Alan memperhatikan itu semua, sampai akhirnya sorot lampu belakang mobil Dirga menghilang di tikungan barulah ia menghela napas sembari memejamkan mata.
Dadanya kembali nyeri. Bukan karena efek alkohol yang tadi ia minum, bukan juga karena lelah setelah bekerja seharian. Tapi karena sesuatu yang ia tahu tidak boleh ia rasakan.
Beberapa saat kemudian, Alan kembali menghidupkan mesin mobilnya.
Namun lagi-lagi ia tidak berbiat pulang ke rumah.
Ia tidak sanggup menghadapi Lira dala kondisi emosi seperti ini.
Sebaliknya, ia mengarahkan mobil menuju ke apartemennta, tempat yang jarang ia tepati semenjak menikah. Tempat itu seringkali ia jadikan pelarian kala hatinya sedang terlalu penuh.
Dan untuk malam ini, ia benar-benar tidak ingin ada siapapun yang melihat betapa kacau dirinya.
*
Pagi harinya, ketika cahaya matahari menembus celah tirai apartemen dan menyorot wajahnya, Alan duduk di tepi ranjang. Ia tidak benar-benar tidur, hanya memejamkan mata sepanjang malam, mencoba meredakan sesedikit mungkin kekacauan yang bergolak di dalam dadanya.
Satu tangan terangkat memijit pangkal hidungnya.
Kepalanya berdenyut.
Dadanya masih terasa sesak.
Ia bahkan tidak yakin apa yang sebenarnya ia cari dengan menghilang seperti ini.
Ponselnya sudah mati sejak malam tadi. Ia sengaja mematikannya, tidak ingin mendengar apa pun dari siapapun.
Setelah merapikan kerah kemejanya dengan gerakan malas, Alan berjalan ke pintu apartemen, siap berangkat lebih pagi dari biasanya. Mungkin bekerja bisa mengalihkan pikirannya, setidaknya untuk beberapa jam.
Ia menarik napas panjang sebelum memutar handle pintu, dan...
Klik.
Pintu terbuka.
Dan dunia Alan seakan berhenti seketika.
Di ambang pintu, berdiri seseorang yang justru paling tidak ingin ia temui pagi ini.