Istri penurut diabaikan, berubah badas bikin cemburu.
Rayno, pria yang terkenal dingin menikahi gadis yang tak pernah ia cintai. Vexia.
Di balik sikap dinginnya, tersembunyi sumpah lama yang tak pernah ia langgar. Ia hanya akan mencintai gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya.
Namun ketika seorang wanita bernama Bilqis mengaku sebagai gadis itu, hati Rayno justru menolak mencintainya.
Sementara Vexia perlahan sadar, cinta yang ia pertahankan mungkin hanyalah luka yang tertunda.
Ia, istri yang dulu lembut dan penurut, kini berubah menjadi wanita Badas. Berani, tajam, dan tak lagi menunduk pada siapa pun.
Entah mengapa, perubahan itu justru membuat Rayno tak bisa berpaling darinya.
Dan saat kebenaran yang mengguncang terungkap, akankah pernikahan mereka tetap bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Retak yang Tak Terlihat
Langkah kaki berat bergema di lorong menuju kantin.
Begitu pintu terbuka, suara sendok dan gelas langsung mereda seketika.
Beberapa karyawan menatap ke arah pintu, dan nyaris bersamaan terdengar bisik-bisik kecil.
“Ya ampun, itu… Tuan Rayno, 'kan?”
“Gila, aku gak salah lihat? CEO ke kantin?”
“Apa dia mau makan di sini? Serius?”
Bisikan itu cepat menyebar seperti angin.
Bahkan sampai ke telinga Hana, Hani, dan Vexia yang sedang makan di salah satu meja bersama Bira.
“Mau ngapain dia ke kantin?” batin Vexia, matanya hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus ke piringnya.
Dani berjalan setengah gugup di belakang bosnya, mencoba terlihat tenang.
“Tuan, silakan duduk di sini,” ujarnya sopan, menuntun Rayno ke meja di sisi selatan. Meja panjang yang biasa disediakan untuk jajaran petinggi bila sesekali inspeksi.
Rayno duduk tanpa banyak bicara.
Dani menelan ludah. “Tuan ingin makan apa?”
Rayno menatap meja, suaranya datar.
“Yang menurutmu enak.”
Dani mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
Ia segera bergegas ke konter, tak ingin majikannya menunggu lama.
Begitu Dani menjauh, pandangan Rayno perlahan mencari sesuatu, atau seseorang.
Dan akhirnya berhenti di meja ujung.
Vexia.
Duduk bersama Hana, Hani, dan Bira.
Hana bersuara pelan sambil mencondongkan tubuh ke Hani.
“Kok aku merasa Tuan Rayno menatap ke arah kita, deh.”
Hani menoleh cepat. “Hm… kayaknya iya.”
Bira terkekeh kecil. “Ada angin apa CEO kita makan di kantin? Jangan-jangan salah minum obat.”
Vexia menatapnya sekilas, datar.
“Xi, nih kerupuk. Buat temen makan,” ujar Bira, menyodorkan sebungkus kerupuk kulit.
“Thanks,” jawab Vexia singkat, menerimanya.
Bira tersenyum senang. Hana dan Hani saling melirik nakal.
“Kok aku merasa ada yang lagi PDKT, ya?” sindir Hana setengah berbisik.
Bira yang duduk di sebelah Vexia tertawa canggung. “Jangan blak-blakan gitu dong.”
Hani menimpali dengan senyum menggoda. “Tiba-tiba banget, padahal biasanya kamu jutek, Bir.”
Bira menggaruk kepala yang tidak gatal. “Sebenernya aku udah terpesona sejak pertama lihat Xia. Cuma… dulu sempat kebawa omongan Vega.”
Vexia mendesah pelan, lalu menatapnya tegas.
“Mending mundur aja. Aku menutup hati.”
Bira tertawa pendek. “Kalau gitu, biar aku yang coba buka pintunya.”
Vexia menghela napas kasar, sementara Hana dan Hani menahan senyum.
Di sisi lain ruangan, tatapan Rayno semakin tajam. Tangan kanannya di atas meja mengepal erat.
Dani kembali membawa nampan berisi makanan.
“Tuan, ini makanannya.”
Rayno menoleh sekilas, terhenyak dari lamunan.
“Letakkan saja.”
Dani meletakkan nampan perlahan, menatap wajah bosnya yang suram.
Ia mengikuti arah pandang Rayno, lalu menemukan sosok Vexia di sana.
"Tuan menatap Vexia?" batinnya gelisah, lalu menatap majikannya. "Apa arti tatapan ini?"
Rayno mengambil sendok, menyuapkan makanan tanpa benar-benar merasakannya.
Rasa dan aroma menguap begitu saja, tak meninggalkan apa-apa selain hampa.
Yang tertinggal hanyalah tatapan yang terpaku pada satu arah.
Ke meja di sudut kantin.
Tempat istrinya duduk bersama seorang pria. Pria yang jelas-jelas sedang mencoba mendekatinya.
Mereka duduk cukup dekat, terlalu dekat, hingga sesuatu dalam diri Rayno menegang tanpa alasan yang bisa ia terima.
Jari-jarinya mencengkeram sendok lebih kuat.
Ada desir asing di dadanya. Antara marah dan… perasaan lain yang tak ingin ia akui.
Di sisi lain, Vexia meletakkan sendok perlahan. Tatapannya sekilas menyorot Bira.
Ia mulai merasa tidak nyaman. Bukan karena Bira yang duduk di sebelahnya, tapi karena tatapan tajam yang terus menusuk dari sudut ruangan.
Tatapan yang ia kenal betul.
Ia tak perlu menoleh untuk tahu dari mana datangnya.
Rayno.
Ia menarik napas, menatap jam di pergelangan tangan.
“Aku ke toilet dulu,” ucapnya pelan pada Hana dan Hani.
“Sendirian?” tanya Hana.
Vexia tersenyum kecil. “Aku cuma sebentar.”
Ia bangkit dari kursi, melangkah tenang melewati deretan meja. Beberapa karyawan menoleh, otomatis menunduk ketika matanya bertemu tatapan dingin Vexia.
Dari meja VIP, Rayno memerhatikan setiap langkah itu.
Ada sesuatu di dadanya yang berdenyut. Aneh, menyesakkan.
Begitu Vexia menghilang di balik lorong menuju toilet wanita, kursinya bergeser pelan, lalu berdiri.
Dani, yang baru saja duduk menyuapkan makanan, menoleh refleks.
Alisnya berkerut.
“Eh… Tuan? Anda mau ke mana?”
Rayno hanya menjawab singkat. “Udara di sini pengap.”
Langkahnya panjang dan tegas, tapi arah yang dituju jelas. Lorong yang sama dengan tempat Vexia pergi.
Dani menatap punggung bosnya yang menjauh, lalu menggaruk kepala yang tak gatal.
“Udara pengap? Tapi kok arahnya ke toilet? Jangan-jangan…”
Ia mendesah panjang. “Hari ini beneran aneh, deh.”
Sementara itu, di koridor sepi yang berlapis cahaya putih dari lampu langit-langit, Vexia berdiri di depan cermin toilet, membasuh tangannya perlahan.
Ia menatap pantulan dirinya. Wajah dingin, rapi, tanpa ekspresi.
Vexia keluar dari toilet, menepuk tangannya dengan tisu. Saat membuka pintu, langkahnya otomatis terhenti.
Di ujung koridor, Rayno berdiri bersandar di dinding, tangan terlipat di depan dada. Jas hitamnya masih rapi, tapi sorot matanya tajam, menahan sesuatu yang tak terucap.
Udara seketika menegang.
Vexia menatapnya beberapa detik, lalu melangkah tenang melewatinya. Namun baru dua langkah, suara berat itu terdengar.
“Kau masih ingat 'kan kalau kau itu sudah bersuami?”
Nada datarnya tak sepenuhnya tenang. Ada getar aneh di baliknya.
Vexia berhenti, menoleh setengah.
“Aku ingat dengan jelas kalau aku ini hanya istri formalitas. Sekadar memenuhi janji keluarga. Yang tak pernah dianggap, diakui, apalagi dicintai.”
Rayno terdiam. Kata-kata itu menohok, tapi tak sepenuhnya salah.
“Apa pun yang terjadi di antara kita, kau tetap istriku. Jadi seharusnya kau menjaga jarak dengan pria lain.”
Tatapan Rayno tajam.
Vexia mengerjap pelan, lalu menatapnya penuh tanya.
“Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan? Tiba-tiba muncul, mengingatkanku pada status yang bahkan kau sendiri abaikan.
Nggak jelas banget.”
Rahang Rayno menegang.
“Rekan kerjamu itu. Dia jelas menatapmu dengan cara yang—”
“Cara apa?” potong Vexia cepat, suaranya datar.
Akhirnya ia tahu penyebab pria ini menghampirinya.
“Cara yang kau sendiri tak pernah lakukan?”
Senyum tipis muncul di bibirnya. Dingin.
“Oh, jangan-jangan... kau cemburu.”
Rayno sedikit tersentak, tapi segera menutupi reaksi itu.
“Siapa yang cemburu? Aku hanya... tak suka harga diriku sebagai suami kau injak-injak.”
Vexia terkekeh pendek.
“Alasan klasik. Laki-laki dan egonya.”
Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal.
“Jangan sok berkuasa dan menyetir hidupku atas nama status suami yang bahkan—”
Tangan Vexia terangkat, ujung jarinya menyentuh dada Rayno.
“—kau sendiri tak tahu bagaimana menjadi seorang suami.
Apalagi memperlakukan istri.”
Ia menarik tangannya pelan, lalu mundur selangkah.
“Kalau tidak ada hal penting terkait pekerjaan, izinkan saya kembali ke meja saya, Tuan Rayno Amartya.”
Ia menatap Rayno lurus untuk terakhir kalinya.
“Dan satu lagi... jangan berlagak seperti suami yang baik, kalau memperlakukan istri saja kau tak lebih baik dari orang asing.”
Vexia berbalik dan melangkah pergi.
Rayno tetap diam di tempat.
Matanya mengikuti langkah itu sampai hilang di tikungan.
Tangannya mengepal di sisi tubuh . Entah karena amarah, penyesalan,
atau rasa kehilangan yang baru kini terasa begitu nyata.
Vexia berjalan cepat di lorong kantor, sepatu haknya beradu dengan lantai marmer, menghasilkan bunyi yang berirama dengan nada kesalnya.
Wajahnya menegang, ekspresinya sukar dibaca. Antara jengkel, bingung, dan… sedikit lelah.
“Menyebalkan,” gumamnya setengah berbisik.
“Kenapa tiba-tiba dia begitu peduli padaku? Biasanya aku jungkir balik pun dia diam saja. Sekarang malah sok berkuasa, ngatur-ngatur, pakai alasan ‘suami’ segala.”
Ia menghela napas kasar.
“Marah-marah gak jelas… kayak cewek lagi datang bulan.”
Vexia menepuk tangannya dengan tisu, lalu membuangnya ke tempat sampah sebelum berbelok menuju ruangannya. Ia tak menyadari bahwa seseorang di ujung lorong sempat melihat dan mendengarnya.
Dani, sang asisten, berdiri terpaku, menatap punggung Vexia yang kian menjauh dengan dahi berkerut.
"Dia… bilang soal suami? Jadi dia sudah menikah? Tapi siapa…"
Ia menggaruk kepala yang tak gatal, mencoba merangkai potongan logika yang belum nyambung di kepalanya.
Namun rasa penasaran mendorong langkahnya menuju arah toilet.
Begitu memasuki lorong, Dani refleks terdiam.
Suara benturan keras membuatnya mematung.
BUKH!
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Kepo banget sampai mengecek rekaman lain. Bukan urusan Dani - apa yang terjadi diantara Rayno dan Vexia.
Rayno sekarang silahkan menikmati sikap Vexia yang dingin, tak begitu peduli dengan keberadaanmu.
Istri yang dulu begitu ia abaikan - sekarang mengabaikan Rayno.
Vexia masak di dapur - Rayno tertegun - matanya tak berkedip terpaku melihat tampilan istrinya yang sedang memasak.
Rasain - memang enak makan sendiri.
Vexia sudah makan - pemberitahuan lewat kertas - tak mau bicara sama Rayno.
Hari ini gajian pertama Vexia.
Salah satu staf menanyakan janjinya Vexia yang mau traktir makan setelah gajian.
Vexia bilang tak akan ingkar janji.
Vega semakin sirik ajah.
Vega punya rencana jahat apa ini kepada Vexia.
Yang benar motor sport hitam berkilat atau motor sport merah nih Author 😄.
Dani jadi kepo - menyelidiki Bos-nya yang belakangan ini, sebelum jam kantor berakhir sudah pergi.
Dani mengekor mengikuti mobil Rayno - sayangnya dia tak tahu siapa yang di kejar Rayno. Tak tahu siapa pemilik motor sport.
Rayno, rasakan - Vexia bersikap dingin sekarang.
Dani kaget juga kagum tak percaya - setelah mengecek CCTV kantor ternyata yang membawa motor sport - Vexia.
Tuh kan Rayno jadi kesepian, emang enak makan sendiri, masih untung ga masak sendiri jg.
si Vega itu sangat iri sama Xia...mau main² dengan Vexia lagi kamu di klub...
semoga Vexoa dapat menghindar dari tuk itu dan selamat....seorang Pembalap kamu Xia...pasti bisa menghindar dari bahaya