Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keringat sehat
Udara pagi di Swiss terasa sejuk menusuk kulit, tapi juga menenangkan. Langit biru bersih tanpa awan, dan lembah di sekitar mansion milik Leo diselimuti kabut tipis yang tampak seperti kapas putih. Di antara taman bunga mawar yang luas, Arinda berjalan pelan sambil memegang ujung cardigan-nya. Di belakangnya, Sofia mengikuti dengan langkah rapi, membawa syal dan termos kecil berisi teh hangat.
Arinda menoleh ke kanan dan kiri dengan mata berbinar. Ia masih seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia luar. “Mbak Sofi, ini rumah punya mas Leo juga?” tanyanya polos, menunjuk bangunan besar bergaya klasik Eropa di hadapan mereka.
Sofia tersenyum kecil, lalu menjawab dengan nada tenang, “Iya, nona. Ini salah satu rumah Tuan Leo. Beliau punya beberapa tempat tinggal di beberapa negara.”
Arinda berhenti melangkah, menatap mansion itu dengan mata bulat. “Banyak sekali rumahnya mas Leo… tapi kenapa ya, mbak, orang tua mas Leo nggak pernah aku lihat?”
Pertanyaan itu keluar dengan nada lugu, membuat Sofia sempat terdiam beberapa detik sebelum menjawab pelan, “Orang tua Tuan Leo tinggal di Amerika, nona.”
“Di Amerika?” Arinda mengulang dengan nada kagum. “Jauh sekali ya, mbak? Arinda pikir di Jakarta.” Ia tertawa kecil, tapi tawanya segera reda, berganti ekspresi penasaran dan syok bercampur takjub.
Sofia hanya tersenyum menatap nona mudanya itu — gadis polos yang bahkan belum tahu banyak tentang dunia, tapi kini berada di antara kemewahan yang bahkan sulit dijangkau banyak orang.
Dari arah pintu utama mansion, Leo muncul bersama Adrian, asisten pribadinya. Keduanya tampak rapi dan tegas, berbicara dalam bahasa Inggris dengan staf mansion. Namun pandangan Leo langsung terhenti saat melihat sosok Arinda berdiri di tengah taman, diterpa sinar matahari pagi yang lembut.
Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Sofia segera mundur memberi ruang, sementara Adrian paham diri, melangkah menjauh.
Leo menghampiri Arinda dari belakang dan tanpa suara, melingkarkan kedua lengannya di pinggang istrinya. Arinda sedikit tersentak dan menoleh cepat, wajahnya memerah. “Mas… nanti ada yang lihat…” ucapnya pelan, menunduk malu.
Leo menggeleng kecil, menunduk ke arah telinganya dan berkata lembut, “Biarkan saja, baby. Kamu istri mas.” Suaranya dalam dan tenang, membuat wajah Arinda makin merah seperti mawar yang bermekaran di sekitarnya.
Arinda mencoba mengalihkan topik, “Mas, mbak Aurelia ke mana?”
“Pergi belanja,” jawab Leo singkat sambil masih memeluk istrinya.
“Oh…” Arinda menatap taman di depannya lagi. “Kita di sini sampai kapan, mas?”
Leo menatap wajah polos itu dan menjawab, “Seminggu.”
Arinda terdiam beberapa saat, lalu menghembuskan napas pelan. “Arinda suka di sini, mas. Di sini Arinda bisa bebas jalan-jalan, lihat bunga, lihat langit. Kalau di rumah utama… Arinda selalu di kamar saja. Kadang terasa kayak dikurung.”
Leo menatapnya lama. Ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak — rasa bersalah yang sulit dijelaskan. Ia tahu, semua itu ia lakukan demi melindungi Arinda, tapi setiap kali melihat mata bening itu, ia merasa seperti lelaki jahat yang mencuri kebebasan seseorang.
Leo memeluk Arinda lebih erat. “Itu demi keamanan kamu, baby,” katanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Mas nggak mau kamu kenapa-kenapa. Dunia luar nggak seaman yang kamu kira.”
Arinda mendongak menatap wajah suaminya. “Mas, nanti ajak Arinda ke rumah orang tua mas, ya?” tanyanya sambil tersenyum polos.
Leo tersenyum lembut, mengusap rambut panjang Arinda yang ditiup angin. “Iya, nanti mas ajak. Kamu mau?”
Arinda mengangguk cepat. “Mau banget! Kata mbak Sofia, orang tua mas di Amerika. Arinda pengin lihat kayak apa Amerika itu. Katanya saljunya tebal banget, ya, mas?”
Leo terkekeh kecil. “Iya, baby. Tapi di sana juga dingin sekali. Kamu bisa masuk angin kalau nggak tahan cuaca.”
“Arinda kuat kok, mas!” katanya penuh semangat, meskipun cardigan-nya sudah membuatnya menggigil kecil.
Leo menatapnya dengan tatapan hangat yang jarang terlihat oleh siapa pun selain Arinda. “Iya, mas tahu kamu kuat. Tapi biar bagaimanapun, kamu tetap tanggung jawab mas.”
Arinda tersenyum bahagia. Dalam hati kecilnya, ia merasa seperti burung kecil yang akhirnya bisa mengepakkan sayap, meski masih dalam sangkar emas. Setidaknya, di tempat ini — di Swiss yang indah — ia bisa menghirup udara kebebasan, merasakan sinar matahari, dan tahu bahwa di balik dinginnya sikap Leo, ada kehangatan yang selalu menjaganya.
Aroma masakan khas Eropa memenuhi ruang makan besar mansion di Swiss. Meja panjang dari marmer putih itu tampak elegan dengan piring porselen berlapis emas dan lilin beraroma lavender di tengahnya. Di ujung meja, Leo duduk dengan postur tegap seperti biasa, wajahnya tenang dan berwibawa. Di sebelahnya, Arinda duduk dengan senyum lembut, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang membuatnya tampak makin polos dan manis.
Sementara itu, Aurelia baru saja kembali dari berbelanja. Rambutnya masih sedikit berantakan karena angin luar, tapi aura elegannya tetap terpancar. Ia duduk di seberang Leo tanpa banyak bicara, hanya melirik sekilas ke arah Arinda dan kemudian fokus pada makanannya.
Sofia berdiri di sisi kanan ruangan, sementara Adrian berada agak jauh di belakang. Mereka berdua menjaga jarak sesuai etika rumah besar itu — tak ikut duduk, hanya siap sedia jika dipanggil.
Arinda yang sejak tadi merasa tidak nyaman dengan suasana terlalu formal itu akhirnya bersuara dengan nada polos dan lembut, “Mbak Sofia, kenapa nggak ikut makan bareng? Sini duduk, Mbak, sama Om Adri juga. Makan rame-rame kan lebih enak.”
Sofia tersentak kecil, menunduk sopan sambil menjawab pelan, “Terima kasih, nona, tapi kami sudah punya waktu makan sendiri.” Adrian pun hanya menunduk hormat, tak berani bicara di depan tuan mereka.
Arinda menatap mereka dengan wajah kecewa, lalu menoleh ke arah Leo, berharap dapat dukungan. Tapi Leo hanya menggeleng pelan. Arinda kemudian menatap Aurelia, yang tanpa ekspresi ikut menggeleng sambil meneguk minumannya.
Gadis polos itu menghela napas kecil. “Oh… ya sudah,” gumamnya lirih, kembali menatap piringnya dan mulai makan lagi dengan tenang.
Setelah makan siang selesai, mereka semua beranjak ke kamar masing-masing. Aurelia lebih dulu naik ke lantai dua, sementara Leo dan Arinda menuju lantai tiga — lantai pribadi mereka.
Begitu masuk kamar, Leo langsung melepas jas hitamnya dan menggantungnya di gantungan kayu. Arinda duduk di ujung tempat tidur, memperhatikan setiap gerakan suaminya dengan pandangan lembut.
“Mas…” panggil Arinda pelan.
Leo menoleh sambil merapikan kancing kemejanya. “Kenapa, baby?”
“Kenapa Mbak Sofi sama Om Adri nggak boleh makan bareng kita?” tanyanya polos. “Kasihan mereka berdiri aja dari tadi, mas.”
Leo tersenyum kecil, lalu duduk di tepi tempat tidur di samping Arinda. “Mereka sudah ada jatah makan sendiri, baby. Di rumah seperti ini ada aturan. Mereka nggak makan bareng kita kecuali kalau sedang bepergian.”
Arinda mengangguk pelan, berusaha memahami. “Oh… jadi kalau di rumah nggak boleh ya, mas?”
“Bukan nggak boleh, tapi begitu aturannya,” jawab Leo lembut, mengusap kepala istrinya.
Arinda mengangguk lagi, tapi matanya masih terlihat bingung. Lalu, dengan nada lembut dan polos, ia berkata, “Mas… Arinda pingin keliling kota Swiss. Cantik banget dari balkon, pengin lihat salju dari deket.”
Leo tertawa kecil mendengar nada ceria istrinya. “Besok, baby. Besok mas ajak kamu keliling Swiss, ya. Sekarang kamu tidur siang dulu.”
Tapi Arinda menggeleng cepat. “Arinda nggak ngantuk, mas. Nggak mau tidur.”
Leo menaikkan satu alis, masih dengan senyum di bibirnya. “Kalau nggak tidur, mau ngapain, hm?”
Arinda menunduk sebentar, lalu menjawab dengan suara lirih tapi penuh semangat, “Arinda pingin berkebun, mas. Kayak dulu waktu sebelum menikah. Nandur cabai, tomat, jagung, terus panen. Kalau keringetan kan sehat, mas.”
Leo menatapnya lama — polos, tulus, dan benar-benar murni. Ia tersenyum miring, sedikit menunduk mendekat ke wajah Arinda. “Biar keluar keringat, ya?” tanyanya pelan dengan nada menggoda.
Arinda mengangguk cepat, belum mengerti maksud lain di balik kata-kata itu. “Iya, mas. Biar sehat.”
Leo menahan tawa kecil di tenggorokannya. Ia menyentuh dagu istrinya lembut, menatap wajah itu lama-lama. “Biar keluar keringat, mas bisa bantu kok,” katanya lirih, suaranya menurun pelan di antara senyum hangat.
Arinda menatap bingung, tak paham dengan arti tersembunyi dari kalimat itu. Ia hanya mengangguk dan tersenyum polos, sementara Leo mengusap pipinya lembut, menatap gadis itu dengan tatapan lembut bercampur rasa sayang yang dalam.
“Beneran, mas?” Mata Arinda berbinar bahagia.
“Beneran,” jawab Leo lembut, mencium kening istrinya.
Leo melumat bibir mungil Arinda dan membaringkan tubuh istrinya ke kasur, dengan perlahan dia membuka kancing kemeja nya dan melempar kemeja itu ke lantai.
"aaahhh mass." desah Arinda dahi di banjiri keringat.
"Sebentar lagi baby." ucap Leo melakukan pelepasan.
Leo berbaring di sebelah Arinda mencium kening Arinda, dia menutupi tubuh mereka menggunakan selimut tebal.
"Mas." panggil Arinda lirih.
"Iya baby."
"Arinda mau lagi." Arinda menggigit bibirnya malu
Leo tertawa. "Kamu capek?"
Arinda menggeleng, Leo pun bangkit dari tidur nya melanjutkan permainan tadi dengan berbagai macam gaya membuat Arinda beberapa kali melakukan pelepasan dan mendesah.