Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 : Suka Sikapnya Begini
“Kalau begitu jangan tanyakan lagi kapan kamu bisa hidup bebas, karena itu tidak akan pernah terjadi, kalau kamu berada jauh dariku, itu akan membuka peluang bagi pria lain untuk mendekatimu. Kamu itu sangat cantik Hulya, tidak ada yang bisa menolak pesonamu, jadi jangan harap aku akan melepaskanmu, kamu itu milikku,” tegas Marchel memberikan penekanan di setiap perkataannya.
“Kamu itu sangat egois,” balas Hulya.
“Atau begini saja, aku akan menyiram wajahmu dengan air keras agar wajahmu rusak dan tidak akan ada yang mau denganmu selain aku, bagaimana?” Hulya melotot mendengar ide gila di kepala Marchel.
“Kau sudah gila ya?”
“Kamu itu sangat cantik, kalau aku merusak wajah cantikmu itu, tidak akan ada lagi pria yang mencintaimu dan hanya ada aku. Aku akan menerima kamu apa adanya walau kamu tidak cantik lagi,” tutur Marchel yang membuat Hulya semakin takut.
“Jangan aneh-aneh, kau sakit jiwa. Kau membuat aku takut.” Marchel tersenyum lalu kembali fokus menatap jalanan.
“Kalau begitu, berhenti meminta untuk dibebaskan.”
Hulya menaikkan kaki lalu memeluk kedua lututnya sambil menatap keluar jendela, memalingkan wajah dari Marchel, dia merasa sedikit menggigil sekarang karena ac di dalam mobil cukup dingin.
“Marchel,” panggil Hulya, yang dipanggil menoleh sebentar.
“Hm?”
“Dingin.” Marchel melipirkan mobilnya lalu melihat ke bangku tengah, dia menyimpan selimut tipis di sana. Marchel memalutkan selimut pada Hulya seperti seorang bayi hingga Hulya mulai merasa hangat.
“Masih dingin?”
“Tidak terlalu.” Marchel kembali menghidupkan mesin mobilnya.
“Marchel.”
“Hm?” Marchel kembali menoleh pada Hulya.
“Cium aku.” Marchel mengangkat sebelah alisnya mendengar permintaan Hulya.
“Ada apa denganmu?”
“Aku merindukanmu.” Marchel tersenyum, dia mendekatkan wajahnya pada Hulya dan mencium bibir Hulya dengan lembut.
Beberapa saat mereka hanyut dalam ciuman mesra tersebut, Hulya dan Marchel memejamkan mata, dengan perlahan, ciuman itu terlepas lalu mata mereka saling menatap.
“Aku sangat mencintai dirimu yang seperti ini, Marchel. Aku merasa memiliki pelindung dan tempat bermanja. Sampai detik ini, belum ada siapa pun di hatiku selain kamu, aku sangat mencintaimu dan di saat yang sama aku juga takut padamu,” ungkap Hulya dengan isak tangis yang dia coba tahan, Marchel menangkup wajah cantik itu lalu menciuminya.
“Aku juga tidak mengerti dengan diriku, Hulya. Aku hanya takut kehilanganmu, tetaplah bersamaku, aku akan membahagiakan kamu semampuku,” janji Marchel, Hulya meraih wajah suaminya lagi dan kembali mencium bibir tegas itu.
Praanggg!!!!
Marchel dan Hulya kaget mendengar suara mobil menghantam pembatas jalan, samar-samar mereka mendengar tangisan seorang anak kecil.
"Kecelakaan, Marchel." Hulya memberitahu.
"Iya, kamu tunggu di sini." Hulya melihat sekeliling jalan yang sepi dan sedikit menakutkan.
"Tidak mau, aku ikut."
"Ayo."
Hulya keluar dari mobil bersama dengan Marchel, mereka memeriksa kondisi orang yang ada di dalam mobil itu. Seorang wanita hamil bersama dengan anak perempuan usia 4 tahun terjebak di dalam mobil tersebut.
Marchel mengeluarkan mereka dan kondisi mobil kini telah mengeluarkan asap. Sedangkan Hulya menggendong anak tersebut sambil memeluknya, Marchel memapah wanita hamil itu untuk masuk ke dalam mobilnya.
Baru saja mereka memasuki mobil Marchel, mobil si wanita hamil itu meledak, membuat tangis anak di pangkuan Hulya semakin kuat.
"Jangan nangis lagi Nak, kamu aman di sini, kita ke rumah sakit ya, kepala kamu pasti sakit, kan?" kata Hulya dengan sangat lembut sambil mengusap kepala anak itu dan mempererat pelukannya.
Marchel membawa mereka ke rumah sakit, anak itu tidak mau melepaskan pelukannya pada Hulya, dia terus memeluk Hulya karena takut melihat wajah ibunya yang dipenuhi darah— darah yang mengalir dari kepala.
Setelah semua administrasi selesai, Marchel memberikan sejumlah uang pada wanita hamil itu.
"Terima kasih Tuan, Nyonya. Kalau tidak ada anda dan istri anda ini, mungkin aku dan anakku sudah mati," ucap wanita tersebut, Marchel dan Hulya tersenyum lalu mengangguk.
"Iya sama-sama, keluargamu belum aku hubungi sama sekali, kamu mau hubungi suamimu?" tawar Marchel, si wanita tersebut langsung memalingkan wajah pada anaknya.
"Sebenarnya kami kabur, suamiku sudah keterlaluan, dia mau membunuh aku dan anakku. Aku tidak memiliki keluarga selain anakku ini," ucap Wanita hamil itu. Membuat Hulya prihatin, berbeda dengan Marchel, dia justru kembali teringat apa yang telah dia perbuat pada Hulya dulu hingga Hulya memilih kabur ke Los Angeles.
"Jaga dirimu baik-baik, kami pergi dulu," pamit Marchel dengan cepat lalu menarik tangan Hulya yang dia genggam.
"Terima kasih sekali lagi, Tuan."
Marchel dan Hulya berjalan keluar rumah sakit menuju mobil dalam pikiran yang sama-sama berbeda, Marchel terpikir kesalahannya sedangkan Hulya terpikir betapa beruntung dia dicintai oleh Marchel. Di depan rumah sakit, Hulya menahan tangan Marchel, seketika langkah tegas itu terhenti.
"Ada apa?" Hulya langsung saja memeluk erat Marchel, membenamkan wajahnya di leher itu dan terasa leher Marchel basah karena air mata Hulya, tentu saja Marchel membalas dengan hangat pelukan itu dan mengecup puncak kepalanya.
"Ada apa, hm?"
"Aku suka kamu yang begini, aku nyaman dan ingin manja terus." Hulya melepas pelukannya lalu menatap Marchel, matanya berbinar, sejurus kemudian dia mengecup bibir Marchel sejenak.
"Aku mau di gendong punggung olehmu," pinta Hulya dengan manja.
"Oke." Marchel membalikkan tubuh lalu Hulya naik ke punggungnya, Hulya menutup mata Marchel dengan telapak tangannya.
"Gimana aku mau jalan Hulya," protes Marchel ketika matanya ditutup.
"Aku akan pandu kamu ke arah mobil, ikuti kataku ya."
"Oke."
"Sekarang jalan lurus." Marchel berjalan lurus. "Stop, melangkah lebih besar karena di depan ada selokan." Marchel membesarkan langkahnya dan melewati selokan itu.
"Lurus lagi, ya ... belok kanan."
"Lurus, stop, ada tong sampah, geser sedikit ke kiri, nah benar, lurus." Marchel masih mengikuti arahan dari Hulya.
"Terakhir belok kiri, oke, terus, teruss daann sampaaaaaiiiiii." Hulya menyingkirkan tangan yang menutup mata Marchel, mereka sampai di mobil.
"Hebat kan aku," pujinya pada diri sendiri dengan mata berbinar bangga dan Marchel mencium pipi Hulya dengan gemas.
“Hebat sekali,” sahut Marchel dengan kekehan kecil.
...***...
Hulya langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur saat sampai di kamar. Perutnya yang sudah kenyang membuat tidurnya semakin nyaman, ditambah lagi Marchel yang tidur sambil memeluk dirinya.
Marchel membuka mata, pagi ini sangat istimewa baginya— melihat wajah cantik yang selama ini selalu membuatnya menggila. Marchel mengalungkan kakinya ke tubuh Hulya seolah Hulya adalah guling, wanita yang masih memejamkan mata tersebut merasa nyaman dan semakin membenamkan wajahnya di leher Marchel.
Karena tidak ingin mengganggu tidur Hulya, Marchel memilih untuk memeluknya sambil memainkan ponsel. Tak lama dia melihat ponsel Hulya bergetar yang menandakan ada notifikasi masuk.
Dengan hati-hati, Marchel meraih ponsel Hulya dan melihat pesan dari Dexter.
Hulya, kamu ada di mana? Kenapa kamu belum pulang juga ke apartemen? Aku khawatir padamu.
Karena kesal dan cemburu, Marchel langsung memblokir nomor Dexter dari ponsel Hulya.
"Ternyata benar yang aku pikirkan, Dexter memang menyukai Hulya. Dari awal aku melihat dia menatap istriku, aku sudah tau ada yang beda dengan dia," kata Marchel dalam hatinya. Dia mematikan ponsel itu lalu memeluk erat Hulya kembali.
Tak ada yang boleh merebut Hulya darinya.