Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 25
Faizan hanya mengangguk singkat. “Urus semuanya, Raka. Pastikan dia dapat perawatan terbaik.”
“Siap, Pak,” jawab Raka cepat, sudah mencatat semua instruksi di ponselnya.
Gadis itu menatap Faizan sekilas, ada campuran takut, bingung, dan heran di wajahnya. Ia mungkin ingin bertanya banyak hal, tapi Faizan tetap berdiri di sudut ruangan, wajahnya dingin seperti tembok batu.
Dokter dan perawat akhirnya pergi setelah selesai membalut kaki gadis itu dan memberikan obat. Raka juga pamit, berjanji akan mengurus semua biaya dan kebutuhan lain yang mungkin diperlukan.
Kini kamar itu hanya menyisakan dua orang: Faizan dan gadis itu.
Faizan berdiri beberapa saat, menatap jendela hotel yang memperlihatkan cahaya kota Surabaya di bawah sana. Pikirannya masih penuh dengan pekerjaan, namun untuk alasan yang bahkan tak bisa ia jelaskan, ia belum beranjak pergi.
Ia memutuskan duduk di sofa, mengambil ponselnya, lalu mulai membuka beberapa email pekerjaan. Namun, rasa lelah yang sejak pagi ia tahan mulai merayap. Pandangannya terasa berat, hingga tanpa sadar ponsel itu tergeletak di meja dan Faizan tertidur di sofa, dengan jas masih melekat di tubuhnya.
Di kasur, gadis itu—yang tadi sempat menyebut namanya singkat pada perawat sebagai Nayla—diam-diam memperhatikan.
Ada sesuatu pada pria itu: sikapnya yang dingin, caranya bersikap tenang dalam keadaan panik, bahkan wajah lelahnya yang kini tampak jauh lebih manusiawi saat terlelap.
Nayla menggigit bibir pelan. Ia tahu seharusnya ia takut—bagaimanapun, pria ini baru saja menabraknya. Tapi entah kenapa, yang ia rasakan justru campuran kagum dan penasaran.
Cahaya lampu kamar membuat bayangan di wajah Faizan terlihat samar-samar. Dari kasur, Nayla terus memandanginya diam-diam, seolah berusaha membaca pria yang sulit ditebak itu.
Pagi menyapa dengan cahaya matahari yang menembus tirai kamar hotel. Suara riuh kendaraan dari jalanan Surabaya terdengar samar, menandakan hari baru telah dimulai.
Faizan terbangun di sofa, lehernya terasa kaku karena posisi tidur yang tidak nyaman. Ia mengerjapkan mata, menghela napas panjang, lalu melirik sekilas ke arah kasur.
Nayla masih di sana, sudah bangun, tapi hanya duduk bersandar dengan wajah tenang. Kakinya yang bengkak sudah diperban rapi, ada sisa kantuk di matanya.
“Bagaimana kakimu?” suara Faizan datar, tapi tidak sekeras malam tadi.
“Sedikit lebih baik,” jawab Nayla pelan. Ia sempat ragu menambahkan, “Terima kasih… sudah menolong saya.”
Faizan hanya mengangguk tipis. “Raka akan datang membawa sarapan dan menemanimu. Jangan ke mana-mana dulu sampai dokter memeriksa lagi.”
Tanpa banyak bicara, ia beranjak ke kamar mandi, merapikan dirinya dengan cepat, lalu mengenakan jas kerja yang sudah dipersiapkan semalam. Wajahnya kembali berubah ke mode profesional—dingin, terkontrol, seolah kejadian semalam tak meninggalkan bekas.
Tak lama kemudian, Raka muncul membawa sarapan dan beberapa berkas. “Pak, rapat di kantor mulai pukul sembilan. Mobil sudah siap di bawah.”
Faizan mengangguk, meraih tas kerjanya. Sebelum pergi, ia sempat menatap Nayla sekali lagi. “Dokter akan datang siang ini. Raka yang akan urus semua kebutuhanmu di sini.”
Nayla hanya mengangguk pelan, menatap punggung Faizan yang kemudian menghilang di balik pintu.
Beberapa menit kemudian, Faizan sudah duduk di mobil menuju kantornya. Wajahnya fokus, ponselnya penuh dengan pesan terkait rapat penting yang akan menentukan proyek besar perusahaannya. Seolah semalam hanyalah jeda singkat dalam hidupnya yang terjadwal ketat.
Di hotel, Nayla memandang pintu yang telah tertutup, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada rasa ingin tahu yang makin besar tentang pria bernama Faizan itu—pria dingin yang datang membawa badai tapi meninggalkan tanda tanya di hatinya.
.
Di kamar hotel yang kini terasa lebih tenang, Nayla duduk bersandar di kursi dekat jendela. Di depannya ada nampan sarapan lengkap—roti panggang, telur orak-arik, dan segelas jus jeruk. Raka sibuk menulis sesuatu di ponselnya, mungkin mengatur jadwal dokter seperti yang diperintahkan Faizan.
Sesekali Nayla melirik pria berkacamata itu. Raka terlihat rapi, tapi juga punya aura orang yang selalu terburu-buru.
“Mas Raka,” suara Nayla pelan memecah keheningan.
Raka menoleh cepat. “Iya, Mbak? Ada yang kurang dari sarapannya?”
Nayla menggeleng, menyuap roti kecil ke mulutnya. “Bukan. Saya cuma… mau nanya sesuatu.”
Raka berhenti mengetik, kini fokus padanya. “Tentu, Mbak. Tanya saja.”
Nayla sempat ragu, lalu berkata, “Pria itu… Pak Faizan. Dia sebenarnya siapa, sih? Kenapa rasanya semua orang langsung bergerak cepat begitu dia bicara?”
Raka tersenyum kecil, seperti sudah menduga pertanyaan itu akan keluar. “Pak Faiz orang penting, Mbak. Direktur salah satu perusahaan besar di Jakarta. Orangnya… tegas, fokus sama kerjaan. Jarang ada yang bisa dekat, bahkan urusan pribadinya saja hampir tidak pernah dibicarakan.”
Nayla menatap piringnya, lalu kembali bertanya pelan, “Dia selalu sesibuk itu, ya?”
“Sejak saya kerja sama beliau, kayaknya memang begitu,” jawab Raka jujur. “Pekerjaan nomor satu. Urusan lain… ya, kalau sempat.”
Ada nada heran sekaligus sedikit kecewa di wajah Nayla. Ia mengangguk pelan, menyuap sarapannya lagi sambil memikirkan banyak hal. Semakin ia tahu, semakin besar rasa penasarannya terhadap pria dingin yang semalam menolongnya, tapi di balik itu menyimpan begitu banyak rahasia.
Nayla meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Raka dengan ragu. Suaranya lebih pelan kali ini, seolah takut terdengar orang lain.
“Kalau… soal kehidupan pribadinya, Mas Raka tahu?”
Raka mengangkat alis sebentar, lalu menutup ponselnya. “Maksudnya, kehidupan pribadi Pak Faiz?”
Nayla mengangguk, jemarinya menggenggam gelas jus di depannya. “Iya. Soalnya… dia kelihatan seperti orang yang nggak pernah mau didekati siapa pun. Bahkan semalam, dia nolong saya, tapi wajahnya tetap… dingin. Seolah-olah semua cuma formalitas.”
Raka tersenyum kecil, tapi jelas ada keraguan sebelum ia menjawab. “Terus terang, Mbak… saya kerja sama beliau sudah hampir tiga tahun, tapi soal kehidupan pribadinya, saya sendiri nggak banyak tahu. Yang pasti, dia sudah menikah. Istrinya tinggal di Jakarta, setahu saya.”
Nayla menatap Raka cepat, ada sesuatu di matanya—campuran kaget dan… entah apa. “Oh… sudah menikah, ya?”
“Iya,” Raka mengangguk pelan. “Tapi hubungan mereka… sepertinya tidak terlalu harmonis. Saya tidak pernah ikut campur, tapi dari cara beliau bersikap, saya bisa melihat ada jarak yang besar antara mereka.”
Nayla terdiam. Sendok di tangannya berhenti bergerak. Pikirannya dipenuhi potongan-potongan kejadian semalam—cara Faizan menolongnya, tatapan dingin itu, bahkan bagaimana pria itu tertidur di sofa setelah memastikan dirinya aman.
Ada sesuatu dalam cerita Raka yang membuat Nayla semakin penasaran. Siapa sebenarnya Faizan, dan apa yang membuat hidupnya terlihat begitu… dingin dan rumit?
Raka memperhatikan raut wajah Nayla, lalu menambahkan, “Kalau Mbak penasaran, mungkin lebih baik tanya langsung ke beliau. Soalnya, saya rasa cuma dia yang bisa jawab pertanyaan-pertanyaan itu.”
Nayla hanya tersenyum tipis, tapi pikirannya jelas belum berhenti bekerja.
...----------------...
Bersambung...