 
                            Masih saling sayang, masih saling cinta, namun terpaksa harus berpisah karena ego dan desakan dari orang tua. Ternyata, kata cinta yang sering terucap menjadi sia-sia, tak mampu menahan badai perceraian yang menghantam keras.
Apalagi kehadiran Elana, buah hati mereka seolah menjadi pengikat hati yang kuat, membuat mereka tidak bisa saling melepaskan.
Dan di tengah badai itu, Elvano harus menghadapi perjodohan yang diatur oleh orang tuanya, ancaman bagi cinta mereka yang masih membara.
Akankah cinta Lavanya dan Elvano bersatu kembali? Ataukah ego dan desakan orang tua akan memisahkan mereka dan merelakan perasaan cinta mereka terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jesslyn Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan semu
Mama Erika mendadak mendapatkan kabar bahwa Vano dan Bella telah terbang dari Paris. Meski merasa kesal dengan keputusan sepihak yang dibuat oleh Vano, tapi mama Erika juga mendapatkan kabar bahagia dari Bella. Semoga saja setelah ini Vano dan Bella segera mendapatkan momongan, dan hubungan mereka semakin erat.
Mama Erika berencana mengadakan penyambutan kepulangan anak dan menantunya tersebut.
"Kirana... Ayo temani Mama ke rumah Vano, kita harus mempersiapkan semuanya," Mama Erika menarik selimut yang membungkus tubuh Kirana.
"Ma... Mereka baru akan tiba besok siang, Tidak usah terburu-buru." ucap Kirana dengan mata yang masih mengantuk. Ia sedikit kesal karena mama Erika membangunkannya.
"Ayo... Jadi perempuan jangan malas," Mama Erika menarik tangan Kirana.
Meski terpaksa, Kirana tetap bangun dan mengikuti mama Erika.
"Astaga! Anak gadis malasnya... Mandi dulu sana," Mama Erika mendorong Kirana ke kamar mandi.
Setelah berpakaian rapi Kirana menemui Mama Erika yang telah menunggu di lantai bawah.
"Lihat anak gadis papa! Sudah siang begini baru bangun. Kalau bukan mama yang bangunkan, sudah pasti tidur sampai sore nanti," adu Mama Erika pada pak Dharma yang tengah bersantai sambil menonton berita.
"Sudahlah ma.. Lagian hari libur," Kirana membela diri. Memang apa salahnya jika sesekali bermalas-malasan? Dirinya juga butuh istirahat.
"Kamu ini perempuan, pantas saja jauh jodoh kamu, lihat teman-teman seumuran kamu sudah pada menikah!"
"Tunggu bang Aska dulu lah ma.. Abang bahkan lebih tua dari Kirana." Askara memang sudah masuk usia matang untuk menikah.
"Aska lagi.. Apa yang bisa di harapkan dari anak urakan itu." ucap mama Erika yang selalu kesal jika ada yang menyebut Askara, putra keduanya.
"Jangan bilang begitu ma. Mama doakan saja yang terbaik untuk anak-anak kita." Tegur papa Dharma bijak.
"Papa itu selalu memanjakan anak-anak, jadinya begini kan? mereka jadi pembangkang semua." kesal suaminya itu selalu saja membela anak-anaknya.
"Sabar ma..." papa Dharma mengelus lengan sang istri.
-
-
-
Hari yang di nanti telah tiba. Vano dan Bella telah tiba di bandara. Keluarga kedua belah pihak pun menyambut kedatangan mereka dengan suka cita.
"Harusnya kalian tinggal lebih lama di Paris," Ucap mama Erika memeluk Vano dan Bella bergantian.
"Tidak apa-apa ma... Ini lebih dari cukup," Bella membalas pelukan mama Erika.
"Kamu sih Vano! Kan mama sudah bilang kosongkan jadwal untuk seminggu, masih saja khawatir sama pekerjaan," Mama Erika seolah tak tahu waktu dan tempat jika sudah kesal.
"Tidak apa-apa jeng.. Nanti kan bisa bulan madu lagi, atau mungkin baby moon," ucap Mama Citra menenangkan, ibu kandung dari Bella.
"Iya benar juga jeng," Raut wajah mama Erika pun berubah bahagia.
"ya sudah sekarang kita pulang ke rumah, mama sudah siapkan sesuatu," Mama Erika pun mengajak rombongan untuk pulang ke rumah yang di tempati Vano dan Bella.
Dan benar saja Mama Erika memang sudah menyiapkan pesta penyambutan untuk mereka berdua. kini rumah tempat tinggal Vano dan Bella telah di dekorasi, meski simple namun terlihat elegan, dan bahkan mama Erika juga memesan makanan terbaik dari Grand hotel.
"Mama memang selalu berlebihan," Bukannya senang, Vano malah kesal.
"Sayang... Hargai usaha mama," Bella mengelus lembut lengan Vano. Ia tahu jika Vano tidak suka dengan apa yang di lakukan mama Erika.
"Ayo sebaiknya kita makan terlebih dahulu," Pak Dharma mengajak keluarga besan untuk malam terlebih dahulu sebelum melanjutkan perbincangan.
"Kirana tidak ikut ma?" Bella tak melihat sahabat sekaligus adik iparnya itu sedari tadi.
"Ah anak itu, biasalah alasan sibuk terus. tapi ini semua dia yang dekorasi."
"Wahh pantas saja.. Selera dia memang bagus dari dulu, tidak salah jadi designer," Puji Bella.
Setelah acara makan bersama selesai akhirnya kedua belah pihak keluarga pulang.
"Sayang.. kamu kelihatan lelah sekali, kamu lebih baik istirahat,"
"Aku akan menemui Elana,"
"Iya aku tahu kamu pasti merindukan Elana, tapi setidaknya kamu istirahat dulu. besok baru temui Elena."
"Tidak, malam ini juga aku akan menemui Elana." Vano Berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Aku harus benar-benar paksa mama untuk ambil Elana," Bella kesal karena Vano tak menghiraukannya sedikitpun.
-
-
-
Seperti apa yang di rencanakannya tadi, Vano pun pergi ke Apartemen Vanya.
Vanya dan Elana tengah asyik membuat cookies untuk stok camilan, selain itu Elana juga ingin memberikan cookies itu untuk teman-temannya di sekolah.
Vanya dan Elana begitu menikmati momen mereka berdua, bahkan kini dapur mereka terlihat berantakan.
"Sini mami belum pakai bedak," Elana mengolesi hidung Vanya dengan tepung.
"Hey anak kecil sudah tahu bedak ya," Vanya membalas dengan mengolesi pipi Elana dengan krim cokelat.
Tiba-tiba suara bell berbunyi.
"Sebentar ya sayang mami lihat dulu," Vanya pun beranjak dari tempat duduknya.
"Jangan lama mami, nanti cookies nya gosong," ucap Elana dengan wajah yang serius sambil memandangi oven.
Vano telah berdiri di depan pintu apartemen Vanya. Namun kali ini pria itu terlihat sedikit berbeda, tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya, pipinya pun tampak lebih tirus, serta wajah yang kurang terawat yang sudah mulai di tumbuhi bulu-bulu halus di wajahnya.
"Apa yang terjadi?" Entahlah Vanya merasa sakit saat melihat Vano sepeti itu. Wanita itu hendak menyentuh pipi Vano, namun pria itu segera menghindar dan langsung masuk ke dalam untuk menemui Elana.
Vanya hanya diam memandangi kepergian Vano, yang jelas hatinya begitu sakit saat Vano mengabaikannya.
"Vanya.. Aku merasa tak pantas lagi untukmu, aku bahkan tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku sudah mengkhianatimu," Vano hanya membatin, sekuat hati ia menahan agar tak menoleh ke arah Vanya.
"Sayang..." panggil Vano lembut.
"Papi....! " Elana segera menghambur dalam pelukan Vano. "El kangen," Gadis kecil itu tiba-tiba ceria.
"Papi juga kangen sayang," Vano membalas pelukan Elana dengan erat.
"Elana dan mami sedang membuat cookies," dengan bangga Elana menunjukan cookies yang telah di buatnya sedari tadi. "Ayo cobain papi," Elana menyuapi cookies yang masih hangat itu ke mulut Vano.
"Enak kan?" Elana bertanya dengan wajah bangga.
"Enak sekali," puji Vano dengan mulut yang penuh.
Vanya hanya diam di kejauhan, biarlah mereka berbagi cerita, melepas rindu. Vanya tak ingin merusak suasana.
"Papi kemana saja tidak pernah telpon Elana?" tanya Elana dengan wajah cemberut.
"Maaf ya sayang.. Papi ada pekerjaan di luar negeri." jawab Vano berbohong, tak mungkin dirinya jujur kalau sebenarnya ia pergi liburan.
"Mami juga melarang Elana telpon duluan. Kata mami, papi sibuk jadi tunggu papi yang telpon duluan, tapi papi gak ada telpon Elana." Penjelasan Elana panjang lebar.
"Papi minta maaf ya sayang, Sekarang kan papi sudah pulang," Vano sebenarnya juga merasa bersalah karena tidak pernah menghubungi Elana selama berada di Paris.
"Papi tinggal disini ya, please..." mohon Elana dengan penuh harap.
"Maaf sayang... Untuk saat ini papi belum bisa,"
seketika wajah Elana berubah murung.
"Suatu hari nanti kita akan tinggal bersama lagi." Vano mencoba menghibur Elana, dia akan mencari cara agar mereka bisa bersatu kembali.
"Papi janji ya...?" Elana senang walaupun hanya di beri harapan, ia percaya Vano akan menepati janjinya.
"Iya sayang..." jawab Vano yakin.
"Minumlah." Vanya memberikan segelas teh jahe hangat untuk Vano.
"Terimakasih," Vano bahkan tak melirik Vanya sedikitpun.
"Bisa kita bicara sebentar?"
"Katakanlah..." lagi-lagi Vano tak menghiraukan Vanya.
"Tidak di depan Elana."
"Kalau begitu, tunggu Elana tidur. Aku masih merindukannya,"
Vanya mengangguk, ia pun memilih pergi ke dapur untuk membereskan kekacauan yang telah ia buat dengan Elana tadi.
Setelah lelah bermain, Vano pun mengajak Elana untuk tidur dan menemaninya.
"Mau bicara apa?" Vano menghampiri Vanya yang tengah duduk di ruang tengah.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Vanya langsung pada inti permasalahannya.
"Tidak ada apa-apa Vanya. Semua baik-baik saja," Jawab Vano seolah tidak terjadi apa-apa.
"Tapi kata Andre..." belum sempat Vanya melanjutkan ucapannya, Vano langsung memotong.
"Sudahlah jangan pura-pura perduli, bukannya kamu sendiri yang bilang kita sudah tidak ada ikatan," Kini Vano seolah membalikkan ucapan Vanya
"Aku tahu.. Tenang saja, aku tidak akan menggangu kamu dan Bella. Tapi setidaknya kamu lebih memperhatikan kesehatan demi Elana,"
"Aku bukan anak kecil lagi. Tidak perlu kamu ingatkan!" kini Vano benar-benar bersikap acuh terhadap Vanya.
"Bagus kalau begitu." ucap Vanya yang langsung meninggalkan Vano begitu saja.
Sejujurnya hati Vano juga sakit saat berkata seperti itu, rasanya ingin dia memeluk Vanya saat itu juga.
***
Jangan lupa like, komen, dan subscribe yaa...
lari vanya.. lari.... larilah yg jauh dr vano n org2 di sekitaran vano pd gila semua mereka