Nayla Marissa berpikir jika pria yang dikenalnya tanpa sengaja adalah orang yang tulus. Pria itu memberikan perhatian dan kasih sayang yang luar biasa sehingga Nayla bersedia menerima ajakan menikah dari pria yang baru berkenalan dengannya beberapa hari.
Setelah mereka menikah, Nayla baru sadar jika dirinya telah dibohongi. Sikap lembut dan penuh kasih yang diberikan suaminya perlahan memudar. Nayla ternyata alat buat membalas dendam.
Mampukah Nayla bertahan dan menyadarkan suaminya jika ia tak harus dilibatkan dalam dendam pribadi suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mami Al, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Beberapa hari lalu Dhea meminta Kavi untuk meninggalkan Nayla tetapi Kavi akan memikirkannya lagi. Dhea memberikan pilihan kepada adiknya itu buat memilih antara dirinya atau Nayla.
Malam ini Kavi memutuskan takkan pernah menceraikan Nayla meskipun Dhea membencinya. Dia tak mau kehilangan istri dan calon anaknya.
"Jadi, kamu benar-benar memilih anak yang sudah menyakiti Kakak, Kavi?" Dhea begitu marah karena adik sambungnya lebih memilih Nayla.
"Kak, selama ini aku sudah salah paham. Papanya Nayla tak seburuk yang Kakak katakan!" ucap Kavi menjelaskan.
"Oh, jadi kamu menganggap Kakak berbohong?" Dhea tak terima Kavi lebih mendengar ucapan Nayla.
"Ma, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Mama sangat membenci Nayla?" Erick yang penasaran lantas bertanya.
"Tidak ada apa-apa, Erick!" kata Dhea.
"Sudahlah, Kak. Buang rasa sakit hati Kakak itu, tidak ada gunanya juga!" nasihat Kavi.
"Kenapa kamu sekarang malah menasehati Kakak?" lagi-lagi Dhea tak terima.
"Kakak sudah berumah tangga dengan Papanya Erick. Fokus saja mencintainya dan lupakan masa lalu itu!" kata Kavi lagi.
"Benar apa yang dikatakan Paman Kavi, Ma. Sekarang Mama tinggal memilih saja. Papa sangat menyayangi Mama, bahkan dia memberikan semuanya. Mengapa Mama masih menyimpan rasa sakit hati itu?" ucap Erick.
Dhea terdiam dan berpikir.
"Jadi, aku mohon jangan pernah sakiti Nayla lagi!" pinta Kavi kepada kakaknya agar tak mengusik rumah tangganya.
"Baiklah, Kakak akan menerima dia sebagai ipar!" kata Dhea.
Mendengar ucapan itu membuat Laura mengalihkan pandangannya kepada Dhea, ia begitu terkejut sebab Dhea akhirnya menerima istrinya Kavi.
Kavi lantas tersenyum lebar, sang kakak mau melupakan rasa sakit hatinya kepada kedua orang tuanya Nayla.
Erick juga senang, ibu sambungnya tak menyimpan dendam lagi.
Setelah obrolan itu, Kavi kemudian pamit pulang. Hatinya sekarang lega, hubungan dirinya dan Nayla tak ada kendala lagi. Ia ingin memperbaiki semuanya, menyayangi istrinya dan calon anaknya sepenuh hati.
"Kak Dhea serius menerima Nayla menjadi adik ipar?" tanya Laura selepas Kavi berlalu dan Erick juga sudah masuk ke kamarnya.
"Aku pikir memang lebih baik aku menerimanya. Menyimpan rasa sakit hati membuatku menjadi sosok yang aneh. Aku sudah punya suami yang menyayangiku jadi biarkan melepaskan masa laluku," jawab Dhea yang akhirnya sadar.
"Lalu bagaimana dengan aku, Kak? Aku sangat mencintai Kavi. Bukankah Kak Dhea berjanji akan menyatukan kami?" Laura menagih janji Dhea untuk membantunya dekat dengan Kavi.
"Kavi sudah memilih istrinya, lebih baik kamu melupakan dia saja," kata Dhea memberi saran.
"Tidak bisa, Kak. Aku harus memiliki Kavi!" ucap Laura.
"Aku tidak bisa membantumu, maaf!" kata Dhea lagi.
"Baiklah, jika Kak Dhea tidak mau membantuku. Aku akan memakai caraku sendiri!" ucap Laura mengepalkan kedua tangannya sebab kecewa.
"Jangan sampai kamu melukai adikku!" Dhea memberikan peringatan.
Laura tak berkata lagi, ia kemudian berlalu.
Melihat kepergian membuat Dhea menghela napas. Ia membiarkan Laura menggunakan caranya sendiri untuk menaklukkan Kavi.
Di tempat lain, Kavi tiba di rumahnya. Ia melihat istrinya sudah terlelap tidur di ranjang. Menarik ujung bibirnya sekilas lalu bergegas ke kamar mandi membersihkan diri dan mengganti pakaian. Setelah itu, ia naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping istrinya lalu mengecup keningnya.
Nayla lantas membuka matanya dan menatap wajah suaminya dengan heran.
"Maaf, aku sudah membuatmu terbangun!" ucap Kavi.
"Apa yang tadi kamu lakukan?" tanya Nayla.
"Aku hanya mengecup keningmu. Apa kamu marah?" Kavi balik bertanya.
"Tidak. Aku malah heran saja," jawab Nayla.
"Tidak usah heran, aku akan melakukan ini setiap hari!" Kavi menarik tubuh istrinya dan memeluknya.
"Apa aku sedang bermimpi?" tanya Nayla lagi.
Kavi menjawabnya dengan mengecup ujung kepala istrinya.
"Kamu sedang tidak menipuku lagi, 'kan?" tanya Nayla belum percaya suaminya romantis.
"Tidak," jawab Kavi.
***
Esok paginya, selepas menikmati sarapan bersama Kavi memberikan kecupan singkat di kening istrinya. Hal tersebut membuat para pelayan terperangah sebab tak biasanya Kavi melakukan itu.
"Aku berangkat kerja, ya!" pamit Kavi.
"Apa aku hari ini boleh ke rumah orang tuaku?" Nayla meminta izin.
"Tentu saja boleh. Kamu akan ditemani Una dan diantar sopir," kata Kavi.
Nayla tersenyum senang, "Terima kasih."
Kavi mengangguk mengiyakan.
Sejam setelah keberangkatan Kavi ke kantor, Nayla pun pergi ke rumah orang tuanya bersama Una dan sopirnya.
Ditengah perjalanan, tiba-tiba mobil yang ditumpangi Nayla dan Una dihentikan sebuah motor. Kaca mobil diketuk secara kuat membuat ketiganya yang didalamnya ketakutan.
"Siapa mereka, Una?" tanya Nayla.
"Saya juga tidak tahu, Nyonya." Jawab Una gemetaran.
"Telepon Tuan Kavi saja, Nyonya!" sopir memberi saran.
"Aku tidak punya ponsel!" kata Nayla.
"Biar saya telepon saja!" ucap Una segera membuka ponselnya.
"Jalankan saja mobilnya!" perintah Nayla.
"Tapi mereka ada di depan kita, Nyonya!" kata sopir yang tak berani ambil resiko.
"Mereka juga akan minggir!" ucap Nayla.
"Baiklah, Nyonya!" sopir kembali menyalakan mesin mobilnya dan membunyikan klakson panjang.
Mobil pun bergerak dan 2 pria yang menghalangi kendaraan mereka gegas menjauh.
"Mereka mengejar kita, Nyonya!" kata sopir yang terus menyetir.
"Fokus saja menyetir!" titah Nayla kepada sang sopir.
Sementara itu, Una akhirnya dapat menghubungi Kavi. "Halo, Tuan. Mobil kami, dikejar pengendara motor. Mereka mencoba menggedor kaca jendela."
"Kalian sekarang berada di jalan mana?" tanya Kavi.
Una lalu menyebutkan nama jalan yang dilalui mereka.
"Jaga istriku, aku akan memerintahkan Rio ke sana!" kata Kavi.
"Baiklah, Tuan!" ucap Una lalu menutup teleponnya.
Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi, Una yang khawatir hal buruk terjadi kepada Nayla dan kandungannya mengingatkan sopir agar tetap berhati-hati.
Motor yang mengejar berhasil menghentikan laju kendaraan lagi. Mereka bahkan sempat menghancurkan kaca depan mobil membuat ketiganya berteriak terkejut.
"Bagaimana ini, Nyonya?" Una memegang tangan Nayla yang juga ketakutan.
Dua pria berpindah posisi ke arah pintu bagian penumpang belakang yang ditempati Nayla. Keduanya berusaha membuka pintu tetapi kesulitan karena pintu terkunci.
"Saya akan keluar melawan mereka, Nyonya!" kata sopir yang hendak membuka pintu.
"Kamu yakin?" tanya Una.
"Tuan Rio sedang menuju ke sini, 'kan?" tanya sopir.
"Iya, tapi aku tidak tahu apakah mereka tiba secepatnya," jawab Una.
Sopir melepaskan tali pinggang yang digunakannya, ia kemudian keluar dari mobil. Ia pun mengalihkan perhatian 2 pria yang sedang berusaha membuka pintu belakang.
"Una, bagaimana kalau dia mati?" tanya Nayla ketakutan.
"Semoga saja tidak, Nyonya. Tuan Kavi biasanya akan merekrut para pekerja pria yang bisa beladiri," jawab Una.
"Semoga dia baik-baik saja!" harap Nayla.
Selang beberapa detik sopir menghadapi para pria tak dikenal itu, 2 mobil mendekat ke mobil yang ditumpangi Nayla.
"Mereka sudah datang, Nyonya!" kata Una tampak lega karena salah satu mobil yang ditumpangi Rio telah tiba.
"Syukurlah!" ucap Nayla yang juga lega.