Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 25
...-Seperti mercusuar, meski dihempas ombak aku kan selalu menyinari langkahmu-...
...***...
Pagi telah datang. Kediaman yang kerap ramai meski hanya dihuni dua orang saja, kini terdengar lebih riuh dari biasanya.
Suara muntah seorang Shafi, juga rintihan sakit di kepalanya, membuat Latif hendak membungkusnya ke dalam karung dan mengirimnya ke kediaman mewahnya. Sedangkan Yara, gadis ini duduk manis di meja makan, menonton betapa repot paman durjana mengurusi sang adik.
"Bantu, kek, Neng! Kita nggak lagi pertunjukan drama, malah nonton doang," ujar Latif.
"Ya Allah, bantulah kedua pamanku ini." Sambil menadahkan tangan ke atas, Yara hanya membantu dalam bentuk mendoakan.
"Buset, bantu doa doang. Kebangetan kamu, Neng," protes Latif. Dia benar-benar kewalahan mengurusi Shafi.
Huekkk! Uhuk! Uhuk!
Shafi tak berdaya, dia terus muntah karena tak terbiasa mengkonsumsi alkohol. Sungguh, efeknya sangat menyiksa hingga pagi ini.
Sembari memegangi kepalanya. "Kita diapain orang tadi malam, Bang? Dihajar habis-habisan? Kepalaku rasanya sakitttt!"
"Nggak ada yang hajar kita! Kamu aja yang bahlul. Aku ngizinin minum biar kamu semangat main kartunya, malah ketagihan minum, terus mabuk. Bikin makin bangkrut pula!" Memijat bagian pangkal leher Shafi, Latif terus mengomel.
Melipat kedua tangan di dada, Yara berucap, "Fix kalian memang sedarah. Bahas minuman haram sepagi ini kayak nggak takut dosa. Haiyaaa---," keluh Yara menggelengkan kepala.
Melirik sang keponakan yang nampak garang itu. "Jangan marah-marah dong, Neng. Aku dah kapok, nggak lagi-lagi minum yang begituan."
Seolah tak mendengar ocehan Shafi, Yara lebih tertarik dengan ketukan di luar pintu rumah mereka. Sejenak dia menuju ruang tamu dan ...
Yara gegas berlari ke dapur.
"Mati kita! Nenek Sekar datang!!"
Oh tidak! Sisa mabuk kemarin sontak hilang dari tubuh Shafi. Sedangkan Latif, tak ingin kejadian ini diketahui Sekar, dia langsung menyeret adiknya itu ke dalam kamar mandi. Terseok-seok Shafi dibuatnya. Mereka mandi berdua saat itu juga.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Pelan sekali, seperti bergumam saja.
Yara menjawab salam dengan hati gonjang-ganjing, bagaimana ini? Apa yang harus dia katakan kalau Sekar menanyakannya Shafi? Haruskah dia katakan mereka sedang mandi? Berdua?
Oh! Yara belum siap untuk menemui sang nenek, tapi ketukan kembali terdengar dari balik daun pintu.
"Yakin Shafi udah sadar?" tanya Yara, seperti cicak gadis ini menempelkan diri di pintu kamar mandi.
"Yakin!" sahut Shafi. Ada yang salah dengan suaranya, kenapa ya? Dia seperti sedang berkumur-kumur. Jangan-jangan Latif mencekokinya dengan pasta gigi demi menghilangkan bau alkohol.
"Tif! Itu Shafi diapain?"
"Aman," sahut Latif terdengar tenang. Padahal ---
"Serius? Jangan bilang tenggorokannya dicuci pake pasta gigi?"
"Cerewet! Aman, kok. Aman!"
Akh! Yara gemetaran, dia tersudutkan saat ini. Sementara ketukan pintu kembali terdengar, juga ucapan salam. Setengah berteriak dia menyahut salam Sekar kembali.
"Waalaikumsalam!"
"Sebentar, siapa, ya?" serunya berlagak tidak tau.
"Latif, buka!!" perintah Yara, begitu tegas. Dia ingin memastikan keadaan Shafi baik-baik saja.
Saat pintu terbuka, tubuh Shafi telah basah kuyup, terduduk di atas lantai. Dia sedang menggosok giginya menggunakan sikat gigi milik Yara, berwarna merah muda.
Memejamkan mata serta mengeratkan gigi, Yara berusaha menahan emosi.
Demi apapun itu, Yara menguras otaknya agar bisa berpikir lebih cepat. "Aha! Bilang aja Shafi lagi sariawan, sariawan parah! Jadi nggak bisa diajak ngomong. Aku yakin, mau sikat gigi sampai siang juga, mulutnya pasti masih bau alkohol."
"Oke, oke! Boleh juga ide kamu."
Lirikan tajam menghujam Latif. Shafi seperti itu karena dia. Yara gemas ingin mencekiknya, minimal hingga dia terbatuk-batuk.
Secepatnya Shafi menyudahi aksi mandi dadakan. Begitu juga dengan Latif. Lagi-lagi barang milik Yara dipakai oleh paman kedua, kali ini handuk untuk mengeringkan rambut panjangnya. Untung saja handuk itu lebar, jadi tubuh bagian bawah Shafi aman terkendali.
Berlari kecil menuju ruang tamu, Yara semringah saat bertatapan dengan Sekar. Sang nenek datang bersama sang supir, juga seorang suster yang selalu setia menemaninya.
"Eh, Nenek, datang nggak ngabarin dulu."Langsung saja dia memeluk Sekar. Dia juga mempersilakan mereka untuk masuk.
"Nenek kangen sama kamu. Nenek juga mau liat rumah lama ini, sama ... Nenek mau ketemu sama Latif." Mengapit lengan Yara, Sekar nampak sangat menyayangi sang cucu.
Duduk begitu dekat dengan Yara, betapa air mata nyaris luruh di kedua pipi Sekar. Kedatanganya disambut dengan senyuman hangat Handaru. Foto pria itu terpampang besar di ruang tamu, juga foto Hastuti yang tersenyum simpul menghadap kamera.
"Eh, Mami. Sebentar, Shafi pakai baju dulu," ujar Shafi yang datang dari arah dapur. Dia berlagak meringis di depan Sekar.
"Kamu kenapa?"
"Sariawan, Mi," sahutnya dari dalam kamar.
Beberapa detik kemudian Latif keluar dari dapur, dia juga hanya menggunakan handuk pada bagian bawah tubuhnya.
"Ibu," ujarnya. Yara tak percaya Latif akan lebih dulu menyapa Sekar.
"Latif ---" Ada rasa rindu yang dapat siapa saja rasakan, saat melihat dan mendengar Sekar lirih mengucapkan nama Latif.
"Pakai baju dulu, ya, Bu."
"Iya, Nak. Buran pakai baju, nanti masuk angin."
Bergetar suara Sekar. Yara mengeratkan pelukan pada lengan sang nenek. Wanita tua ini tersenyum dalam haru pada sang cucu.
Di dalam kamar Latif, dua pria ini tengah berdebat dalam bahasa isyarat dan bisikan tertahan.
"Jangan baju itu!"
"Kenapa? Bagus bajunya. Pinjaaammm," bisik Shafi. Tangannya memegang erat baju kaos berwarna hitam dengan gambar sendal jepit brand Dagadu.
Menarik kuat ujung baju kaos itu, Latif berbisik dengan mata melotot. "Baju baru iniiii, aku aja belum pernah make!"
"Bodo amat! Pokoknya aku mau pakai baju ini!" Tak sudi mengalah, setelah rasa pusingnya lebih banyak berkurang usai diguyur air dingin, tingkat kesadaran seolah membuatnya semakin menyebalkan bagi Latif.
"Aish! Yang lain aja. Aku juga mau pakai baju ini."
"Pelit banget, sih, Bang! Aku mau baju ini, anggap aja hadiah setelah lama kita nggak ketemu." Sungguh, Shafi sangat menginginkan baju itu.
Memelotot lagi, sayangnya Shafi tak takut akan hal itu. "Gundulmu! Pertemuan ini nggak ada artinya bagi aku. Biasa aja! Jangan lebay, Sapi!"
Saat batu ketemu batu, selain perpecahan rasanya tak ada hal lain yang akan terjadi. Meninggalkan kakak beradik yang seperti bocah ingusan ini, seseorang sedang menuju kediaman mereka saat ini.
Mobilnya telah terparkir di depan gang, seorang gadis cantik memakai kerudung berwarna merah jambu melangkah begitu ceria.
"Huhuhu, mau ketemu Bunda. Arum bahagia~~~." Entah lagu apa ini, sepertinya hanya Arum yang hapal akan liriknya.
Melihat sang putri begitu ceria, tanpa sadar Barra tersenyum.
Meloncat ke sana dan kemari, seperti kodok tingkah gadis ini. Gavin yang juga mengekori langkah Arum tersenyum lebar. Sudah lama dia tak melihat nona kecilnya seceria itu.
Tangan kecil Arum menyeret sang ayah agar lebih cepat melangkah. "Buruan, Ayah. Pintu rumah Bunda kebuka, jangan-jangan Bunda mau pergi."
"Ini masih pagi banget. Memangnya mau kemana dia, udah jadi pengangguran juga."
Sring!
Setajam Samurai, sepasang mata cantik Arum begitu menusuk hati Barra.
Glek!
Sang ayah merasa terintimidasi. Galak sekali putrinya ini.
"Huh! Ayah nggak sopan. Padahal Bunda kehilangan pekerjaan karena Ayah!"
"Hufhhh!" Gavin tak kuasa menahan tawa. Namun, tawa itu segera sirna, karena sekarang giliran Barra yang menatapnya tajam.
Arum mempercepat langkahnya, Barra hanya bisa pasrah mengikuti langkah sang putri.
"Assalamualaikum, Bunda. Putri Bunda yang cantik sudah datang!" Berteriak begitu lantang, Arum terkejut saat ada orang lain yang sedang bertamu di kediaman bundanya.
"Waalaikumsalam, Arum" Betapa terkejutnya Yara kedatangan mereka.
"Bunda ... anak bunda ... Yara sayang. Apa ini cicit Nenek?" tanya Sekar.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan kasih saran yang membangun, ya. ...
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum