Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Julian menoleh ke belakang, ternyata Charles yang datang pria itu berkunjung menemui Raven keponakan tercintanya. Ia baru sempat menemui anak itu, karena urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Charles duduk di kursi menatap aneh ke arah Julian. Ia heran kenapa pria itu begitu akrab dengan keponakannya bahkan jadi orang pertama yang mengetahui kalau anak itu di rumah sakit malah sampai menjaganya.
Julian melirik ke arah Charles. "Maaf, kenapa kau menatapku seperti itu? "
Charles menatapnya sinis. "Kenapa kau bisa ada di sini dan kelihatannya, kalian sangat akrab,"
Julian terkekeh, lalu menaikkan satu alisnya. "Aku hanya sedang membangun kebersamaan antara ayah dan anak. "
"Apa! jadi kau—" Charles tidak mampu melanjutkan kata-katanya, ia sangat terkejut dengan kenyataan itu.
"Ya kau benar. Aku adalah ayah kandung Raven, " ucap Julian percaya diri.
"Ayah serius?" tanya Raven yang baru tahu kalau pria itu benar-benar ayah kandungnya.
Julian hanya mengangguk, sementara Charles hanya bisa menganga membuka mulutnya mengamati wajah Raven dan pria itu, secara bergantian. "Aku percaya kalau kau adalah ayahnya. Lihat saja wajah kalian berdua sangat mirip,"
"Ya, harusnya tidak perlu tes DNA lagi." Julian mengedikkan bahunya.
Charles tersenyum sinis. "Kau terlalu percaya diri,"
Julian terkekeh. "Percaya diri? seharusnya kau tanya sama dia." Ia menunjuk Aruna yang masih terlelap di sofa.
"Berarti kau pria 5 tahun yang lalu, yang berhasil merebut kesucian Aruna?" tanyanya seraya menaikkan satu alis.
Julian tertegun sejenak, ia mengingat samar kejadian itu. "Ya, kita tidak sengaja melakukannya seseorang menjebak kita memasukkan obat ke dalam minumanku. kebetulan yang ada di depanku adalah Aruna dia sedang mabuk, jadi kita melakukan itu," ia berusaha menjelaskan.
Charles mengerutkan keningnya. "Lalu kenapa kau sekarang bisa peduli kepada mereka, sementara dulu kau tidak mau tahu adanya mereka?"
Julian menggelengkan kepalanya, "Kau salah. Aku berusaha mencari Aruna tapi aku tidak menemukan jejaknya sama sekali, bak hilang tertelan bumi begitu saja dan pada akhirnya aku memutuskan pergi ke kota ini, untuk urusan bisnis. Takdir yang mempertemukan kita kembali,"
Charles menatapnya sinis, ia masih tidak yakin dengan ucapan pria itu. "Lalu apa yang akan kau lakukan setelah bertemu dengannya dan juga Raven?" tanyanya.
Julian menundukkan kepalanya sejenak, lalu menatap pria itu. "Aku harus bertanggung jawab kepada mereka, walaupun sudah sangat terlambat."
Charles menepuk bahu Julian. "Baiklah aku melihat kesungguhanmu, jaga mereka. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan mereka aku tidak mengampunimu."
Pria itu terkekeh. "Jangan mengancamku begitu, kau tidak cukup menakutkan," Julian tersenyum tengil ke arah Charles. "Tanpa kau minta, aku sudah menjaga mereka," sambungnya. sementara Charles hanya memutar bola matanya, malas.
"Ayah kenapa tidak pernah datang menemuiku selama ini? apakah ayah tidak sayang kepadaku dan juga mama?" tanya Raven dengan mata berkaca-kaca.
Julian menggenggam erat tangan Raven, sesekali mencium punggung tangannya. "Maafkan ayah. Raven, saat kau dewasa akan mengerti. Tolong jangan benci ayah, ya."
Raven menghapus air mata di pipi Julian. Yang tanpa sadar telah menetes. "Ayah, bagai mana aku bisa membencimu, sementara aku selalu merindukan ayah," ucapnya begitu dewasa. Seseorang yang mendengarnya tidak akan menyangka kalau kata-kata itu keluar dari mulut anak berusia hampir lima tahun."
Julian membelai lembut wajah anak itu, penuh haru. "Terima kasih."
Charles menyela pembicaraan di tengah momen penuh haru itu. "Raven, Paman bawakan sesuatu untukmu. Kau pasti menyukainya." Ia mengulurkan paperbag besar.
"Terima kasih, paman kau baik sekali," ucapnya, lalu tersenyum.
Julian berdehem melonggarkan dasinya. "Ayah, juga membawa sesuatu untukmu. Sebentar, ya. Biar, paman Vincent ambilkan." pria itu meraih ponselnya, lalu mengetikkan sesuatu.
"Iri adalah penyakit hati," gumam Charles.
"kalian meributkan apa?" tanya Aruna. Ia terbangun mendengar kebisingan itu, lalu beringsut duduk.
Tidak lama kemudian Vincent datang membawa banyak paperbag. Yang berisi barang-barang mahal dan juga makanan. Ia meletakkannya ke meja, lalu pergi keluar lagi.
"Astaga, banyak sekali." Aruna heran melihatnya.
"Itu hadiah untuk Raven dan makanan untukmu." Julian mendekati Aruna, lalu duduk di sebelahnya. Pria itu meraih paperbag yang berisi makanan dan di sodorkan ke arah wanita itu dan ia mengambil beberapa paperbag lagi di bawa ke anak itu.
"Terima kasih, ayah. Terima kasih paman Charles, kalian pria hebat." Raven tersenyum bahagia.
Julian dan Charles saling menatap sejenak, lalu kembali menatap Raven seraya tersenyum. Julian mengulurkan tangannya mengusap pipi anaknya.
Berkat Raven, Charles dan Julian menjadi akur. Anak itu bukan hanya membawa keberuntungan untuk Julian, tapi juga memberinya banyak pelajaran berharga. Ia salut dengan Aruna yang berhasil mendidik anak mereka dengan baik.
Tiga hari berlalu, kondisi Raven sudah membaik, dan hari ini di perbolehkan untuk pulang. Aruna sangat bahagia, ia tidak perlu lagi repot bolak-balik ke rumah.
Selama tiga hari ini, ia dan Julian bergantian menjaga Raven di rumah sakit. Atas inisiatif pria itu. Mungkin ia juga akan merawat anaknya di rumah.
"Ayah, hari ini menginap di rumah, ya. Mama pasti masak makanan lezat untuk kita," ucap Raven, tangannya mengerucut memohon. "Please,"
Julian mencubit pelan hidung Raven. "Baik, kalau mama tidak masak makanan lezat untuk kita, kira-kira kau akan memberi hukuman apa untuk mama?" tanyanya melirik Aruna dengan ekspresi tengil.
Aruna mencondongkan badannya, agar sejajar dengan mereka. "Jadi kalian mau menghukum mama, ya," ia mencolek hidung Raven, lalu mengetuk pelan jidat Julian dengan jari telunjuk. Raven terbahak karena itu.
Julian menarik tubuh Aruna, hingga duduk di pangkuannya. Wanita itu agak terkejut. "Raven, apakah mama dan ayah sangat cocok?" tanyanya.
"Ya, mama dan ayah sangat serasi. Kapan kalian akan menikah?" tanya Raven, membuat Aruna menutupi wajahnya. Tidak bisa di pungkiri pipinya memerah saat tersipu.
Aruna menggelitik Julian, ia sangat geram dengan candaannya yang baru saja. Namun, pria itu tidak merasa geli, justru menatap wanita itu seraya tersenyum, dan tiba-tiba menciumnya.
Raven menutup matanya, "O, ow. Jangan lupakan Raven di sini," ucapnya.
Aruna dan Julian menoleh, "Raven, seperti kau harus menghukum ayahmu ini, nanti!" ucapnya kesal. Ia berdiri melanjutkan mengemasi barang yang akan di bawa pulang.
Julia hanya terkekeh melihat tingkah Aruna, lalu membantunya berkemas mengeluarkan beberapa barang, lalu dimasukkan ke dalam mobil.
Sebelum Raven pulang, dokter datang untuk memeriksa. Ia menyatakan kalau anak itu sehat, perkembangannya luar biasa bagus pasca operasi. Aruna dan Julian menghembuskan napas lega.
Dokter memberikan jadwal kontrol seminggu sekali selama beberapa bulan ke depan, tergantung bagai mana kondisinya. Setelah itu mereka keluar dari rumah sakit. Julian menggendong Raven, anak itu sangat bahagia bisa pulang kerumah, lagi.
Setelah mereka sampai di rumah, mereka langsung istirahat. Julian menemani Raven sampai tertidur pulas. Tanpa sengaja ia pun ikut terlelap di samping anaknya itu.
Aruna memandangi mereka, lalu tersenyum. "Terima kasih, kau sudah berusaha bertanggung jawab dan menyayangi Raven. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi," gumamnya.
ponsel Julian bergetar di atas nakas. Berkali-kali, Aruna penasaran siapa yang menelpon pria itu. Ia mendekati meja, mencondongkan badannya sedikit untuk melihat ada apa di layar ponsel itu.
"besok, kau harus pulang. Papa sudah menyiapkan pernikanmu dan juga Celine."
Terima kasih.