Ketika membuka mata, Dani menemukan dirinya berada di sebuah kamar. Ia tak mengingat apapun tentang dirinya. Di sana dia bertemu dengan pria yang mengaku sebagai bosnya. Pria itu mengatakan kalau Dani merupakan personal trainer di gymnya yang diketahui juga melakukan pekerjaan p|us-p|us.
Namun semua itu tak berlangsung lama, karena ingatan Dani perlahan pulih setelah bertemu wanita yang mengetahui masa lalunya. Saat itulah Dani menggunakan keahlian hipnotisnya dan mengambil alih bisnis gym. Siapa yang menduga? Bisnis itu menjadi sukses besar saat dikelola oleh Dani.
"Layanan trainer-trainer di gym 24 luar biasa. Pokoknya bikin lemas dan banjir lendir. Eh, maksudnya lendir keringat. Hehe..." ucap salah satu tante langganan gym 24.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25 - Mencari Bukti
Siang yang mendung berubah jadi malam yang tenang ketika Dani menepi di ujung kompleks perumahan tempat Kalina tinggal. Ia mematikan mesin motor, memeriksa sekali lagi ponsel murah yang sudah dimodifikasi untuk memotret tanpa suara, dan jam tangan kecil yang mampu merekam audio. Sorenya dia sudah latihan seperti biasa, membuat Kalina semakin nyaman, menanamkan kebiasaan rutin, lalu pamit lebih cepat dengan alasan ada klien lain. Nyatanya, ia hanya memutar lewat blok belakang untuk menunggu lampu-lampu rumah Alamsyah redup.
Rencana Dani sederhana: masuk tanpa mencolok, ambil yang bisa dibawa, pulang tanpa meninggalkan jejak. Tapi ia juga tahu kesederhanaan sering runtuh oleh hal kecil, suara lantai berderit, seekor anjing tetangga menggonggong, atau satu pintu yang tak sengaja tertutup terlalu keras.
Pukul sembilan lewat, pesan dari Deva masuk: “Kalina update: Eddy rapat online sama orang bernama ‘Pak Kus’ jam 21.00–22.00 di ruang kerja. Satpam depan ganti shift 22.10.”
Dani membalas singkat: Siap. Arin di grup yang sama menambahkan, “Kalau ada dokumen soal PT Nirmala Karya atau Yayasan Mentari Timur, foto semua.” Nama-nama itu, menurut Arin, sering muncul dalam paket pengadaan pemerintah yang bau amis.
Pukul 22.15, Dani bergerak. Ia menyusuri gang samping rumah, menyeberangi dinding pembatas pendek yang menghubungkan halaman belakang Kalina dengan rumah tetangga yang kosong. Dari situ ia melompati pagar besi kecil menuju kebun belakang rumah Alamsyah. Langkahnya pelan, napas ditahan tiap tiga pijakan. Kolam ikan berkilau memantulkan cahaya teras, dan di kejauhan terdengar televisi menyala pelan, bukan di ruang kerja, melainkan di kamar tamu, Mungkin pembantu rumah tangga begadang menonton sinetron.
Dani tahu letak ruang kerja Eddy: lantai satu, dekat perpustakaan mini, pintunya kayu tebal dengan gagang metalik. Sore tadi, sewaktu mengambil handuk untuk Kalina, ia sengaja lewat lorong itu; matanya mencatat kunci elektronik dan kamera kecil yang miring, mungkin dummy, mungkin aktif. Ia mengambil senter pena, menutup bagian lampu dengan telapak sehingga cahaya hanya sehalus garis, lalu mendekat.
Kamera di pojok? Mati lampu indikator tidak menyala. Tapi Dani tidak mau berspekulasi. Ia menunduk, bergerak dalam bayang-bayang meja konsol, sampai ke pintu. Kunci elektronik tersambung keypad, empat angka. Dia terkekeh tanpa suara; tadi sore, ia melihat Eddy mengetik “1-2-0-6” sebelum masuk. Tanggal ulang tahun putrinya? Entah. Yang jelas, angka itu ia hafal.
Beep pelan. Pintu membuka. Dani menyelinap, menutup pintu kembali tanpa bunyi. Aroma kayu jati bercampur wangi cerutu mengisi ruangan. Di dinding tergantung foto-foto resmi. Eddy berjabat tangan dengan pejabat-pejabat daerah. Di meja, laptop terlipat, ada docking station dan dua laci terkunci. Sisi kanan ruangan lemari arsip, sebagian tanpa gembok.
Dani mengaktifkan kamera ponselnya. Folder pertama: “Vendor 2022–2025”. Ia memotret daftar penawaran: PT Nirmala Karya, PT Laku Prima, CV Makmur Bersaudara. Banyak dokumen PDF tercetak dengan highlight stabilo. Ia fokus pada nomor kontrak, nilai proyek, dan catatan catatan tangan di margin: “transfer → YMT” dengan panah. YMT? Yayasan Mentari Timur—nama yang Arin sebut. Yayasan itu, kata Arin, berkali-kali menerima donasi setelah tender dimenangkan pihak-pihak dekat keluarga Alamsyah.
Dani beralih ke bundel lain, “CSR & Donasi.” Di situ terdapat bukti transfer ke Yayasan Mentari Timur, nominal ratusan juta rupiah, per triwulan. Tidak ilegal kalau benar CSR. Tapi di kertas lain ada lampiran “MoU Konsultan Pengawas”, ditandatangani pihak yang sama dengan direktur vendor pemenang tender. Putaran uang yang rapi—terlalu rapi. Ia memfoto semua cepat, jemarinya lincah membalik halaman.
Laci pertama terkunci. Dani mengeluarkan alat tipis berbentuk kunci T, menempelkan di slot, memutar perlahan. Klik. Di dalam, ia menemukan USB hitam tanpa label, buku catatan kulit, dan kartu nama bertumpuk. Ia tidak berani mengambil USB, risiko memindahkan barang terlalu besar. Ia memilih memotret halaman buku catatan: tanggal, tempat makan malam, inisial-inisial: “R-U”, “Kus”, “AL”. Di beberapa baris ada angka—seperti persentase 8%, 12% diikuti singkatan “fee T”. T untuk “tender”? Dugaan kuat.
Dari laci kedua, ia menarik berkas tipis: “Proyek Netz-Green 5MW” pembangkit listrik tenaga surya kecil-kecilan. Di bawahnya, catatan margin: “Alokasi real 2.1MW; sisanya dummy site”. Ini lebih dari sekadar bau. Ini busuk. Dani menahan geram; di kota ini, listrik padam masih sering terjadi, namun anggaran menguap jadi papan nama dan foto peresmian.
Ada suara halus dari lorong. Dani membeku. TV di kamar tamu tiba-tiba dimatikan. Langkah kaki mendekat. Ia mematikan senter, menunduk, lalu menyelinap ke balik tirai panjang yang menutupi jendela. Gagang pintu bergetar pelan, ada yang mencoba. Kunci elektronik berbeep dua kali, gagal, lalu… tidak jadi dibuka. Langkah menjauh lagi. Dani baru sadar ia menahan napas terlalu lama. Ia pelan menghembus, menenangkan degup jantung.
Waktunya keluar.
Sebelum pergi, ia menyelipkan jam perekam di bawah lipatan karpet dekat meja, posisi aman, mengarah ke kursi kerja. Jika Eddy rapat atau melakukan panggilan, mungkin ada percakapan bermanfaat yang bisa terekam. Dani menghapus bekas sidik jari dari gagang laci, merapikan posisi kertas, lalu melangkah ke pintu. Ia mengetik “1206” lagi, membuka celah kecil, mengintip, lorong sepi. Ia keluar, menutup, dan bergerak ke arah kebun belakang.
Suara gesekan. Seekor kucing lompat dari pot bunga, membuat jantung Dani melonjak lagi. Ia menyeberang pagar kecil, menuruni sisi dinding, dan akhirnya menyelinap keluar lewat blok tetangga yang kosong. Baru setelah ia sampai di motor, ia berani menyalakan ponsel satunya, yang aman untuk komunikasi.
Ia mengirim batch foto ke Arin dan Deva lewat aplikasi terenkripsi. Captionnya singkat: Nirmala Karya ↔ Yayasan Mentari Timur; Netz-Green dummy site; persentase fee. Butuh cek SIUP/SK pengurus yayasan dan relasi ke keluarga Alamsyah.
Balasan Arin cepat datang: Ini besar, Dan. Kalau bener dummy site, bisa masuk tipikor. Aku coba lacak akta yayasan besok. Hati-hati, ya.
Deva menambahkan: Gua bantu cek vendor-vendor di LPSE. Kita cocokkan nomor kontrak dan nilai.
Keesokan sorenya, Dani tetap datang seperti biasa sebagai personal trainer. Ia menyapa Kalina dengan senyum hangat, membawa smoothie hijau buatannya sendiri. Kalina menyukainya—“Rasanya segar,” katanya, dan Dani memanfaatkan momen untuk “iseng” bertanya, “Kak, Yayasan Mentari Timur itu punyanya siapa? Aku lihat logonya di brosur di ruang tamu kemarin.” Kalina, yang tidak curiga, menjawab apa adanya: “Oh, yayasan sosial itu. Banyak kegiatan bakti. Setahuku, temannya Eddy salah satu pembina.”
Informasi kecil, tapi berarti.
Sesi latihan berjalan seperti biasa, quat, row, stretching. Dani tetap menjaga peran: manis, perhatian, sesekali menggoda. Kalina, yang makin terbiasa, semakin terbuka bercerita. Ia tanpa sadar menyebut rencana gala dinner yayasan minggu depan, menyebut daftar tamu, bahkan menyebut “Pak Kus” akan hadir sebagai donatur utama. Nama yang sama di catatan Eddy.
Selesai latihan, Dani pamit, lalu mengirim pesan: Gala dinner YMT, minggu depan. Target: daftar tamu, sambutan, dokumentasi. Aku bisa masuk sebagai pendamping klien?
Arin: Bisa. Aku urus undangan lewat vendor dekor rekananku. Kita perlu foto-foto close-up amplop donasi, daftar lelang, dan kalau bisa—rekam sambutan Pak Kus.
Malamnya, Dani kembali ke rumah itu dari kejauhan, tidak masuk. Ia hanya menunggu di motor, menatap jendela ruang kerja Eddy dari celah pepohonan. Pukul 21.05, bayangan bergerak. Dani menyalakan aplikasi pendengar jarak jauh yang tersambung ke jam perekamnya, radiusnya pendek, tapi cukup untuk menangkap suara jika pintu sedikit terbuka. Suara Eddy terdengar samar, lalu jelas: menyebut “alokasi konsultan”, “komitmen pasca-pencairan”, dan angka-angka persentase yang mirip di buku catatan.
Dani menekan tombol rekam di ponsel. Setiap detik terhitung.
Ketika rekaman mencapai menit kelima belas, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Pintu terbuka, seorang pria berkemeja abu turun, berperut ramping, berkacamata, raut tegas. Dani mengenal siluet itu dari foto-foto publikasi proyek: Pak Kus. Ia menelan ludah. Pertemuan langsung. Jika ia terlalu dekat, risikonya membesar. Ia memilih mundur, memadamkan layar, menempatkan diri di posisi lebih aman.
Ponselnya bergetar: Deva mengirimkan tangkapan layar dari situs LPSE, nomor kontrak Netz-Green: nilai proyek 68 miliar, vendor Nirmala Karya. Deva menulis: Ada ketidaksesuaian progres. Laporan terakhir 95% padahal foto lapangannya yang beredar warga cuma ada kerangka. Arin membalas: Akta yayasan keluar. Pembina: nama samaran, tapi alamat kantor sama dengan kantor konsultan pengawas. Satu lingkaran.
Dani memejamkan mata sejenak. Potongan-potingan mulai menyusun gambar besar: keluarga Alamsyah, vendor boneka, yayasan “amal” sebagai pipa, dan proyek hijau yang setengah fiktif. Ia membuka mata lagi, menatap rumah itu dengan tekad yang mengeras.
semoga nanti bisa bersatu dengan Dani .
bahagia bersama anak mereka
jangan-jangan nanti Lexy juga hamil...