Salahkah jika aku menyukaimu Abang?
Kedekatan Dea dengan Abang tirinya menghadirkan sebuah perasaan yang tak seharusnya ada, sebisa mungkin dia mencoba membuangnya namun tanpa dia sadari ternyata Abangnya juga menyimpan perasaan yang sama untuknya.
Ada yang penasaran? yuk simak cerita mereka 😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Whidie Arista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Aku di antar kembali ke sekolah oleh Ran seperti biasa, dia mengusap kepalaku sebelum pergi, namun saat hendak pergi dia melihat Davi yang baru saja turun dari angkot, seketika wajahnya menjadi suram, dia melayangkan tatapan permusuhan padanya.
“Pagi Ya!” Sapa Davi dengan wajah full senyumnya, “Pagi Bang!” dia menyapa Ran juga.
“Gue juga tahu ini pagi,” Sinis Ran.
“Ya, Abang pergi dulu ya, jangan terlalu dekat sama muka biawak kaya dia, ntar tahu-tahu die nenggelamin kamu.” ujarnya setengah berbisik, namun aku yakin Davi juga mendengarnya.
“Udah ah, Abang pergi sana, nanti telat lagi.” aku mengusir Ran dengan halus, setelah itu dia pun pergi.
Aku melirik Davi, ekspresi wajahnya tetap seperti biasa, tadinya aku cemas takut dia tersinggung oleh kata-kata Ran barusan.
“Dav, sekali lagi aku minta maaf ya soal sikap Bang Ran ke kamu, nanti aku coba deh ngomong ke dia biar sikapnya gak kasar kaya gitu.” ucapku tak enak hati.
“Santai aja kali Ya, aku sih gak masalah dia mau bersikap kaya gimana juga asal gak sampe nonjok aja,” dia terkekeh pelan, “kalau sampe dia nonjok aku, aku tonjok balik gak papa ya?” sambungnya.
“Terserah kalian aja lah, asal tanggung sendiri akibatnya.” ucapku tak peduli.
Aku berjalan masuk melewati gerbang sekolah, entah sejak kapan Davi berjalan di sampingku tanpa aku sadari, setelah tiap pasang mata yang aku lewati menatap kami penuh tanya. Aku melirik Davi yang berjalan santai di sampingku.
“Dav–,”
“Hem?” jawabnya sambil melirik kearahku.
“Kamu duluan gih,” aku menghentikan langkahku membiarkan Davi berjalan lebih dulu.
“Kenapa?” tanyanya bingung, dia malah menghentikan langkahnya sambil menatap kearahku.
“Gak papa, cuma agak risih aja diliatin yang lain kaya gitu.” Davi tertawa pelan.
“Santai aja kali Ya, bukan cuma kita yang pacaran disini,” bisiknya sambil tersenyum.
Aku melempar tatapan sengit kearahnya, “kalau ngomong jangan sembarangan, kalau di denger orang lain gimana?” kesalku sambil berjalan cepat meninggalkan Davi di belakang.
“Emang kenapa sih Ya, kita pake harus rahasia-rahasiaan segala?” Davi berlari mengejarku dan berusaha menyelaraskan langkahnya dengan langkahku.
“Aku malu.” ucapku sambil membuang muka kearah lain, “jadi tolong untuk sementara ini kamu jangan terlalu dekat sama aku.”
Davi memperlambat laju langkahnya dan akhirnya berhenti mengikutiku, aku mempercepat langkahku dan meninggalkannya kembali, kemudian masuk kelas. Setelah beberapa saat dia pun masuk, wajahnya tampak sedih, apa kata-kataku barusan sudah menyinggung perasaannya?
“May, Sita ama Laura belum dateng?” tanyaku pada Maya yang sedang asik membuat gambar kartun di bukunya.
“Belum.” jawabnya pendek.
”Eh itu dia.”
Laura berjalan dengan langkah gontai kemudian duduk di samping Maya, “Astagfirullahhaldzim, gue pikir elu Sacred Riana.” ucap Maya terkaget-kaget.
Laura hanya menoleh dengan pandangan lesu tanpa bereaksi apa-apa.
“Elu kenapa Ra, lesu gitu?” bukannya menjawab dia malah menunduk sambil terisak pelan.
“Lah lah lah, ko elu malah nangis, sorry Ra becandaan gue kelewatan ya?” dia hanya menggelengkan kepalanya.
“Terus elu kenapa nangis? Putus sama Cha Eun woo?”
Plak... Aku menggeplak pundak Maya karena dia terus saja bercanda padahal keadaan Laura sepertinya bukan sedih biasa.
“Aduh sakit tahu Ya, main geplak-geplak aja lu kira bahu cantik gue ini bola poli apa.” keluhnya sambil menggosok-gosok pundaknya dengan telapak tangan.
“Habis elu tuh ngeselin banget, kalo mau becanda itu liat keadaan dong, kasian Laura.” kesalku.
“Gu–gue mau pindah gaes,” lirih Laura dengan suara sesenggukan.
“Oh pindah, santuy aja kali Ra, si Dea aja pindah rumah dia gak sesedih elu, yang penting elu gak pindah sekolah aja.” ucap Maya.
“Gu–gue bukan cuma pindah sekolah Gaes, gue pindah rumah sama pindah kota juga, huaaaaa...” tangisnya seketika pecah.
“Apa?!” teriak kami barengan, tak terkecuali Sita yang baru saja datang dan menaruh tas di mejanya.
“Ko bisa sih Ra? Kenapa elu pindah?” tanya Sita dengan mata berkaca-kaca. Kami berempat selalu bersama selama ini, hubungan kami sudah lebih dari sekedar sahabat kami sudah seperti sodara kembar empat.
“Lu gak lagi becanda kan Ra, lu gak lagi nge-frank gue kan?” Maya melempar tatapan aneh pada Laura, matanya tampak memerah menahan tangis.
“Ini gak bener kan Ra, lu cuma becanda kan?” aku ikut mendesaknya, aku tak ingin kehilangan satu pun di antara mereka, aku ingin selalu bersama selamanya, kami pernah berjanji walaupun kita sudah lulus nantinya, kami akan mengambil universitas yang sama dan kuliah bersama, kami akan selalu menjadi teman hingga kami tua nanti.
“Hiks, gu– gue juga sebenernya gak mau pergi gaes, ta–tapi gue gak bisa apa-apa, keluarga gue semua pindah, gue gak mungkin tinggal sendirian disini.” isaknya lirih, aku pindah tempat duduk ke samping Laura kemudian membawanya dalam rangkulanku, kami semua nangis Bombay bersama.
Kalian kenapa sih?
Semua teman sekelas bertanya pada kami, tapi satu pun tak ada yang kami hiraukan, kami berempat larut dalam kesedihan kami, kami berat menerima fakta bahwa salah satu dari kami harus pergi dan kemungkinan untuk kembali hanya sekitar 5%
Tangisan kami terhenti kala guru kami masuk, kami belajar dalam diam, perasaanku benar-benar tak karuan, aku ingin mencegah Laura agar tidak pergi, tapi apa daya aku hanya seorang anak kecil pun dengan Laura. Laura masih butuh bimbingan kedua orang tuanya di usia sekarang, kini aku hanya bisa merelakan dan mendoakan semoga dia hidup dengan baik nantinya disana, dan semoga suatu hari kami dapat berjumpa dan berkumpul bersama seperti saat ini.
Aku menarik nafas dalam-dalam, sejak tadi semua temanku hanya diam tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir mereka, “Gue punya ide.” mereka sontak menoleh kearahku.
“Ide apa Ya? Lu punya ide biar Laura gak jadi pindah?” sergah Maya.
“Bukan May, gue ingin ngadain perpisahan yang berkesan buat Laura,” Laura kembali terisak lirih, sedang Maya berdecak kesal dan Sita hanya menghembuskan nafas kasar.
“Gaes dengerin gue, kita gak bisa nyegah Laura buat pergi, kenapa? Karena kita gak punya kekuatan apa pun, coba kalian pikir misalnya Laura tinggal disini dan orang tuanya tinggal di Madura, apa kalian sanggup membiayai sekolahnya? Apa kalian sanggup tanggung jawab untuk semua kehidupannya? Bukannya gue gak sedih lu pergi Ra, tapi keputusan orang tua lu bener bawa lu pergi dengan mereka, karena lu masih membutuhkan mereka.” ucapku panjang lebar.
“Dea bener, kita hanya Anak-anak kita gak akan mungkin sanggup hidup tanpa orang tua kita, Ra elu harus ikut mereka kita hidup di jaman modern gaes, teknologi udah canggih kita bisa video call kita bisa chatting tiap hari, meski tubuh kita gak bersama tapi hati kita tetap bersama.” sahut Sita, dia tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya, itulah makanya aku paling dekat dengan Sita, kami selalu sepemikiran dalam setiap hal, Sita atau pun aku tak perlu menjelaskan apa maksud kata-kata kami terlebih dahulu karena dengan sendirinya kami akan mengerti.
“Kalian bener, thanks ya gaes sekarang perasaan gue jadi lebih baik.” Laura menyeka air matanya dan memasang senyum lemah di bibirnya.
“Mungkin nanti pas elu kuliah lu bisa balik lagi kesini Ra, kita kuliah bareng sesuai janji kita.” tambahku dengan wajah sumeringah.
“Hooh bener tuh, kita gapai cita-cita kita bersama.” tambah Sita.
”Yeay!” aku, Sita dan Laura bersorak bersama, kecuali Maya. Dia yang paling dekat dengan Laura memang, meski mereka tampak tak akur setiap saat tapi di balik itu tali persahabatan mereka begitu erat, pertengkaran-pertengkaran kecil itu justru membuat hubungan mereka begitu dekat.
“May,” Laura menyentuh bahu Maya yang sedari tadi berdiri memunggungi kami, dia hanya diam sambil menatap kosong lapangan olahraga dari atas dak gedung sekolah yang kami pijak saat ini.
“Lu temen terbaik gue meski kadang lu suka resek, gue harap lu bisa belajar lebih giat lagi setelah gue gak ada, gue pernah bilang kalau lu tuh pinter hanya lu males aja, jadi so elu harus semangat. Gue pasti bakalan kangen banget sama kelakuan absurd elu, May.” ucap Laura
Bruk... Maya berbalik dan menubrukkan diri pada Laura, tubuhnya bergetar hebat mungkin sedari tadi dia menahan perasaannya, namun kini tumpah sudah, mereka menumpahkan tangis dalam pelukan satu sama lain, begitu pun dengan aku dan Sita kami sama-sama menangis saat melihat mereka menangis, berat memang jika harus berpisah dengan orang yang paling dekat dan kita sayangi dalam hidup ini, namun kita harus berpikir rasional dalam menyikapinya.
maknya menjauh...
❤❤❤❤😀😀😀😀
❤❤❤❤❤
rapi teenyata Dea masih malu2...
😀😀😀❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
awal bertemu di rumah Ran ..
dia kan musuhin Dea..
apa.karena gak yeeima papanya nikah lagi...
😀😀❤❤😘😍😍😙
tapi Dea gak tau...
pantesan Ean betah jomblo..
laahhh...
wmang nungguin Dea...
❤❤❤❤❤
apa masalah flo dimas dan Ran..
❤❤❤❤❤
pasti Ran jujur jga klao suka ma Dea..
😀😀😀❤❤❤😍😙😗
ko bisa flashback Thor
❤❤❤❤
😀😀❤❤❤
akankah dea cemburu kalo tau flora sekampus ama Ran?
❤❤❤❤
bolrh banget malahhh..
halal kok..
😀😀😀❤❤❤❤
biar gak terlambat...
😀😀😀❤❤❤
bingung mau ngaku syka ama Dea...
😀😀😀❤❤❤❤
❤❤❤❤❤❤❤😍😙😙😙
yg ketahuan jadian....
❤❤❤❤❤
mkasi udah up banayakkkk...
❤❤❤❤❤