Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25. Nek Mojang
“Assalamualaikum Ma, Nia pulang.”
“Walaikumsalam. Sudah pulang? Gak ada kegiatan pulang sekolah? Tumben. Biasanya pulang sampai sore.”
Nurul memberondong pertanyaan melihat putri semata wayangnya Nia sudah berada dirumah sebelum sore. Biasanya, dia akan ada dirumah setelah jam 4 sore. Entah karena kegiatan ekstrakurikuler, atau sekedar mampir makan atau jajan bersama sahabatnya Karina.
“Ih mama gitu. Pergi lagi nih Nia?”
Keduanya tertawa. Hangat.
“Mama juga tumben dirumah. Mama gak ke toko?”
Balas Nia yang juga tidak biasa melihat ibunya berada dirumah saat siang, hari-hari ibunya dihabiskannya di toko sembako tak jauh dari rumahnya.
“Hari ini toko tutup. Jalan depan toko lagi dibenerin aspalnya. Jadi 2 hari ini toko mama tutup.”
“Oh. Trus mama ngapain itu? Berantakin lemari gitu?”
Nurul yang berada duduk bersila diantara tumpukan buku-buku dan barang-barang yang biasanya berada dalam lemari, tersenyum riang.
“Sudah lama mama penginginkan ini. Beresin barang-barang peninggalan almarhum nenekmu. Sudah lebih dari tiga tahun nenekmu meninggal. Tapi mama belum sempet beres-berea barang nenek.”
Nurul memindahkan buku buku dari satu sisi ke sisi lain. Mengelap dengan kain lembab agar debu-debu yang menempel hilang.
“Mumpung hari ini libur, mama jadi ada waktu beresin. Ayo, kamu ganti baju, makan, trus bantuin mama. Oke?”
“Oke nyonya!”
Nia memberi tanda hormat lalu berlari masuk kedalam kamarnya untuk berganti pakaian.
Nurul tersenyum melihat tingkah anaknya. Anak bayinya yang rasanya baru kemarin ia lahirkan, kini sudah besar. Cepat sekali waktu berlalu. Secepat waktu-waktu yang terlewatkan antara dirinya dan ibunya. Juga bibinya. Adik dari ibunya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri juga.
Dibukanya sebuah album lama milik ibunya. Bersampul tebal berwarna putih yang sudah lebih tepat menjadi kuning kecoklatan.
Nurul membuka helai demi helai lembaran foto-foto itu sambil tersenyum. Sesekali ia mengusap wajah wajah difoto hitam putih yang meskipun sedikit memudar di beberapa sisinya.
Terpampang disana foto-foto ibunya dan keluarganya yang memang ada garis keturunan campuran antara tionghoa, sunda, dan pontianak. Ibu dan adik perempuannya, bersama dengab kedua orangtuanya, kakek dan nenek Nurul. Dari ke empat orang yang ada di foto itu, hanya wajah ibunya dan bibinya yang ia kenali. Sementara nenek dan kakeknya tidak pernah ia lihat sama sekali. Keduanya wafat jauh sebelum ibunya menikah.
“Foto siapa itu ma?”
Nia yang sudah berada di belakang Nurul membuatnya terkejut. Nia membungkukan badannya, melongok ke arah foto yang tengah ditatap ibunya lekat lekat.
“Ini? Ini foto kakek sama nenek buyut kamu.”
Nia manggut-manggut. Ikut duduk bersila disamping ibunya.
“Berati itu nenek ya , waktu masih kecil?”
Ia menunjuk pada foto seorang anak belia yang berdiri di samping kiri nenek buyutnya yang duduk disebuah kursi rotan. Wajah yang pernah ia lihat beberapa kali di rumah neneknya dulu saat berkunjung.
“Ini siapa ma?”
Di sebelah kanan foto kakek buyutnya yang juga duduk di kursi rotan samping nenek buyutnya, ada sosok perempuan yang usianya lebih muda dari nenek buyutnya. Berwajah bulat dengan mata cenderung sipit dan rambut coklat yang dikepang dua kanan dan kiri lalu dibiarkan menjuntai ke depan dada. Foto yang baru pernah ia lihat namun wajahnya nampak tidak asing.
“Oh, ini adiknya nenekmu. Kalau mama dulu panggilnya bik Mojang. Nama aslinya kalau gak salah Nani Suryani.”
“Kayaknya Nia dulu pernah denger cerita soal nek Mojang. Yang dulu ngurusin mama waktu nenek merantau Jakarta ya ma?”
“Iya, yang itu. Dulu waktu nenekmu merantau ke sini, mama tinggalnya sama nek Mojang. Nek Mojang ini sayang banget sama mama. Saking sayangnya, sampai nek Mojang lebih memilih untuk tidak menikah dan justru mengasuh mama.”
Nurul mengusap foto wajah orang yang sedang ia ceritakan berkali-kali. Membuat Nia mengerti betapa besar arti orang itu untuk ibunya. Dan betapa nampak jelas rasa rindu dalam usapan tangan itu.
“Sayangnya, nek Mojang meninggal karena sakit sebelum sempet bisa menimang kamu. Bahkan, sebelum mama menikah.”
“Oh iya, yang mama pernah cerita dulu, nenek Mojang sakit lalu dibawa berobat ke Jakarta sama nenek ya?”
Nia ikut membantu mengelap buku buku dan beberapa benda benda kuno peninggalan neneknya sambil mendengar ibunya bercerita menumpahkan rasa rindu.
“He-em. Kok kamu masih ingat? Dulu waktu nek Mojang sakit, mama sedih banget. Akhirnya mama minta sama nenek untuk bawa nek Mojang berobat ke Jakarta. Jadi, nenekmu pulang ke Bandung untuk jemput nek Mojang dan ibu, dibawa ke sini, ke Jakarta.”
Satu nakas berhasil dilucuti isinya, lalu bagian bagian rak dalam nakas mulai mereka lap dan bersihkan dari debu dan sarang laba-laba kecil yang mulai menempel di beberapa sudutnya.
“Trus?”
“Sayangnya, nek Mojang akhirnya meninggal di rumah nenek saat baru beberap kali memulai pengobatannya.”
“Di rumah nenek yang sekarang dibeli tante Nurma?”
Nurul mengangguk. Rumah yang akhirnya direnovasi dan ditempati sahabatnya Nurma sampai hari ini itulah rumah yang penuh dengan kenangan masa lalu Nurul dan keluarganya.
“Kenapa nenek ngizinin om Budiman beli rumah itu diam-diam buat tante Nurma? Kan rumah itu punya nilai history yang spesial buat mama sama nenek?”
Nurul tersenyum, sejenak menatap putrinya yang asik menata buku buku kembali ke dalam nakas.
“Kisah hidup tante Nurma mengingatkan nenekmu dengan kisah hidupnya dan bahkan kisah hidup kita, Nak. Apalagi, nenek sudah mengenak tante Nurma sejak kami masih kecil. Sama seperti mama mengenal Karina dan Dimas.”
Persahabatan antara Nurma dengan Nurul dan Nia dengan Karina memang persahabatan lintas generasi. Tak ayal dua keluarga ini sudah saling mengenal seperti keluarga sendiri.
“Jadi nenekmu dengan senang hati menjual rumah itu kepada om Budiman untuk ditempati Tante Nurma. Mama justru seneng, dengan begitu rumah nenek tetap ada yang jaga dan rawat. Toh kita juga sudah ada rumah baru.”
Bagi keluarga Nurul, dengan berpindah tangannya rumah keluarga mereka kepada Nurma, justru membuat keluarga mereka menjadi lebih dekat. Membentuk keluarha baru yang lebih besar.
“Ma, foto nek Mojang ini, Nia kaya pernah liat, dimana ya?”
“Dimana? Gak ah, ini satu-satunya foto nek Mojang yang tersisa. Mama belum sempat duplikatin.”
Nia berfikir sejenak. Kalau memang foto ini satu-satunya yang dimiliki, jadi dia melihat dimana? Tidak mungkin hanya mimpi. Nia ingat betul pernah melihat wajah ini. Persis seperti yang ada di hadapannya. Mengenakan dress putih tulang, dengan rambut yang dikucir dua mengenakan pita di kanan dan kiri. Nia mengernyitkan dahinya, bayangan bayangan kecil mulai berkelibatan dalam fikirannya, samar-samar hingga akhirnya ia terpekik saat mengingat sesuatu.
“Ma, foto ini Nia bawa ya. Nanti dia duplikatin cetak yg gede. Nia ke rumah Karin dulu ya. Maaf ma gak bisa bantuin sampai selesai.”
“Heh, mau ngapain sore-sore ke sana? Kam tadi udah ketemu di sekolah?”
“Urgent ma!”
Nia berlari menuju kamarnya, berganti pakaian lalu berlari lagi menuju garasi dan mengendarai sepeda motornya.
Nurul hanya bengong melihat putrinya yang tiba-tiba berlari setelah menyambar foto itu.
“Hati-hati…!! Jangan buru-buru gitu..!!”
Nia berlalu, tak mendengar apa yang diteriakan ibunya.
***