Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Daisy duduk termangu di tepian tempat tidur. Seharian tadi ia dikurung di kamar, bahkan ponsel pun disita oleh ayahnya.
Pintu kamar hanya dibuka pada waktu makan saja, di mana Larasati―ibunya Daisy―mendapatkan perintah dari Romi Ekadanta untuk mengantarkan makanan untuk putrinya. Larasati sudah mendengar mengenai apa yang terjadi pada putrinya dari suaminya.
Kaget, tentu saja. Mereka kecolongan. Bagaimana bisa putri berharga mereka bersama dengan mantan napi dengan kasus―ah, membayangkannya saja Larasati tak sanggup. Biasanya, Larasati selalu memberikan dukungan putrinya, apa pun itu asal positif. Namun, kali ini Larasati sungguh dibuat kecewa oleh putrinya sendiri.
"Ayo, sayang." Sekecewa-kecewanya Larasati, tetap saja Daisy adalah anaknya. Rasa sayangnya masih tetap sama dan malah sekarang ia semakin menjaga putri kesayangannya.
"Kita mau ke mana, Mah?" Daisy beranjak menuju Larasati yang berdiri menunggunya di ambang pintu.
"Papa mengajak makan di luar."
"Oh, ya?" skeptis Daisy.
Satu jam lalu, mama menyuruhnya untuk memilih baju secantik mungkin. Berhubung Daisy sedang tidak berada dalam suasana hati yang senang, maka pilihannya jatuh pada dress seadanya. Mamanya bahkan turun tangan merias wajah Daisy. Makan malam atau mau kondangan?
"Ayo, papa sudah menunggu." Larasati tersenyum lembut membujuk putrinya.
Daisy menurut patuh dan mengikuti mama menuruni anak tangga menuju ke teras depan.
Romi Ekadanta sekilas menilai penampilan Daisy. Mengamati apakah putrinya tampil memalukan atau―dan seperti biasa putri bungsunya selalu terlihat cantik.
"Jangan cemberut aja," tegur Romi Ekadanta yang belum melihat ulasan senyum mengembang di wajah putrinya. "Sesampainya di sana jangan berulah. Harus banyakin senyum. Paham?"
"Hmp." Daisy menyahut ringkas. Senyumnya masih sulit untuk dikembangkan.
Tanpa perlu berlama-lama, mereka pun berangkat ke tempat tujuan. Entah makan malam di mana dan dengan rombongan pejabat, mungkin?
Tujuan yang tak diketahui oleh Daisy sebelumnya, kini ia tahu setelah mobil memasuki gerbang sebuah restoran berbintang Michellin. Dress, riasan, serta pasang senyum, semuanya hanya untuk satu tujuan rupanya. Yaitu: bertemu dengan keluarga Hanggono. Tanpa penjelasan pun, Daisy sudah dapat membaca tujuan makan malam ini.
Untuk apa lagi?
Tentu saja untuk membangun hubungan yang lebih mendalam lagi di antara dua keluarga. Ugh. Setelah gagal menjodohkan putrinya dengan Angga Djubroto, sekarang ia akan dijodohkan kembali dengan Rolan Hanggono. Emangnya ini masih zaman Siti Nurbaya? Lagipula ia bukan Gendis yang terima dan setuju untuk dijodohkan.
Setelah serangkaian perkenalan, ramah-tamah, pasang senyum, selanjutnya adalah menikmati hidangan.
Tapak tangan Daisy meremas kesal. Senyum tetap mengembang meski harus dipaksakan. Pasalnya, meja yang ditempatinya bersama―Rolan sengaja dipisah dengan meja para orang tua. Alasannya: agar ia dan Rolan bisa saling mengakrabkan diri tanpa rasa canggung.
Daisy mengiris steik tuna kasar sambil mengamati sekilas ke meja para orang tua. Di sana begitu renyah dengan canda dan gelak tawa. Seperti sekumpulan alumni yang sedang reuni.
"Kalau kita nikah, lo bisa makan di sini kapan pun. Setiap hari pun nggak masalah." Rolan mengelakar.
"Nikah aja kamu sama yang punya restoran." Daisy menyuap irisan steik tak acuh.
Rolan tertawa mencemooh. "Lo masih mengharapkan Singgih? Dia mantan napi, Daisy. Hidup lo bakal hancur kalau bersamanya. Mau?"
Gerakan mengiris Daisy terhenti, lalu kembali mengiris dengan anggun. Seakan kalimat Rolan barusan tak memberikan efek di hatinya. "Kekanakan. Kayak cewek aja main lapor-laporan segala." Tantangnya sengit. "Aku berantem sama Sofie nggak pernah tuh laporan ke papaku."
"Gue ngelakuin ini juga demi lo."
"Nggak butuh."
"Menariknya dia apa, sih?" Rolan mengernyit heran. "Papa lo nggak bakal ngizinin lo pacaran apalagi sampai nikah sama mantan napi. Masa depan juga nggak jelas."
"Papaku juga nggak akan ngebiarin putri satu-satunya nikah sama cowok yang pernah menyakiti putrinya." Mata Daisy seakan menantang Rolan. "Kalau aku jadi Ajeng," tatapnya tajam, "aku juga akan memilih Mas Singgih jadi pacarku."
"Mas Singgih?" Rolan tertawa mencemooh. "Gue jauh lebih kaya dari Singgih." Pegangan pisau dan garpu di tangan Rolan mengerat. "Gue bisa beliin lo apa pun yang lo mau."
"Mungkin." Daisy mengangguk setuju. "Kalau aku matre, sudah dari dulu aku mengejarmu." Ia menyodorkan mata pisau ke hadapan Rolan. "Buktinya, aku malah lebih tertarik pada Mas Singgih? Tahu sebabnya?" ia menarik pisaunya, lalu kembali mengiris. "Karena dia punya hati yang jujur."
"Jujur?" Rolan mencemooh. "Kalau dia jujur, dia nggak akan mengkhianati temannya. Hati-hati aja, Dai, dia bisa mengkhianati lo. Saat ini aja Singgih sedang kabur bersama Ajeng. Mantan pacarnya. Lo pasti udah lihat Ajeng, kan?"
"Ajeng yang mana? Ajeng yang di hotel atau Ajeng yang dokter?"
Rolan tak menduga akan mendapatkan serangan balik dari Daisy.
"Waktu di telepon, kamu bilang Mas Singgih sedang reuni sama Ajeng di kamar hotel. Tapi Mas Singgih bilang itu bukan Ajeng. Beberapa hari lalu, aku masuk rumah sakit dan dokter yang merawatku adalah dokter Ajeng. Terus tahu dari mana kamu, mereka kabur? Nggak mungkin kan, kamu mengawasi mereka?"
Mengesiap Rolan. Rahangnya yang mengeras dipaksanya untuk tetap mengangkat senyum.
"Atau diam-diam kamu masih menyukai Ajeng?"
Wajah Rolan terhenyak keras.
"Kenapa?" Daisy tertawa mengejek. "Tebakanku benar?"
Rahang Rolan makin mengeras.
"Gimana ini?" Daisy menarik ujung bibirnya. "Mereka entah berada di mana sekarang. Hanya berdua. Di suatu tempat. Dan, mereka sudah dewasa."
Rolan menggeleng ragu.
Ujung bibir Daisy kembali mengangkat naik. Kalimat pancingannya berhasil mengusik Rolan. Dalam hati Daisy tertawa, jangan pernah bermain-main dengan Daisy Cattleya Ekadanta. Sejurus kemudian, tawa hatinya berubah kalut saat memikirkan kembali kalimatnya barusan. Dan, mereka sudah dewasa...
Suasana hati Daisy makin buruk. Bohong jika ia tak mengharapkan Singgih kembali padanya. Ia selalu berharap pintu apartemennya dibuka dan Singgih pulang.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨