Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ado-Mirror
Caroline meremas jarinya dengan cemas. Tidak berani menoleh ke atas. Biarpun telah tiba jam makan pun rasanya ia tidak akan mau beranjak keluar dari kamar ini. Pram yang baru saja menyaksikan kejadian konyol itu tengah di bawah.
Apa yang tengah dipikirkan oleh Tasya dan Pram sekarang?
“Aduh,” gumamnya frustasi.
Caroline menoleh saat pintu terbuka dan menampilkan tubuh jangkung itu. Wanita itu menghembuskan nafas keras sebelum berani membuka mulutnya. Namun saat bibirnya terbuka, ia justru disumpal dengan buah semangka. Tangannya menarik sisi semangka itu dan mengeluarkannya dari bibirnya. Lalu ia berbicara, “Pram, mulutku sakit!”
“…Hah?”
Caroline mengatakannya ulang, namun matanya yang jeli bahkan tidak perlu bekerja keras untuk mendeteksi kebingungan dari lengkungan alis dan kerutan di tepi kelopak mata Pratama. Tetapi ini bukan kebingungan yang harusnya ditampilkan saat melihat istrinya mengaku bahwa dia orang lain, melainkan..
“Lin, Bahasamu tidak kupahami.”
Caroline mengernyit, “Mengapa?”
Pratama membalasnya, “Baru saja kamu berbicara dalam bahasa asing. Apakah kau mencoba bermain kata denganku?”
Tidak. Ia sama sekali tidak bermain-main. Dia serius. Sekarang.
Wanita itu bangkit dan mencoba mengatakan identitas lalunya, namun ia melihat kembali ekspresi yang sama dari pria di depannya. Kemudian pria itu mengatakan bahwa ia menyerah dan tidak ingin bermain sama sekali. Caroline melahap habis semangka yang tersisa dan bertanya, “Apakah ada buku penerjemah atau semacamnya? Aku tidak sedang bermain, namun rasanya yang kukatakan dan kau dengarkan berbeda.”
Lawan bicaranya hanya terdiam dan tidak menanggapi pertanyaan Caroline. Pram terlihat berbeda sikapnya sekarang, dan itu membuat Caroline kebingungan.
“Bahasamu tidak kupahami. Kali ini bukan bahasa Prancis, Spanyol, atau Mandarin. Apakah kamu sedang mempelajari bahasa baru?”
Kenapa dia bisa memahami apa yang Pram ucapkan tetapi lelaki itu tidak bisa? Caroline mengangkat telapaknya seolah menyuruh suaminya menunggu beberapa saat. Dia menghentakkan tangannya dan lari ke laci meja.
Menarik keluar buku dan merobek kertas. Lalu menulis dan memberikannya pada lelaki itu. Kini Pratama angkat bicara lagi, menyatakan bahwa tinta hitam disana tidak tampak sama sekali.
Satu-satunya yang ia pahami sekarang, ia tidak bisa memberitahu apapun.
***
Caroline tersentak. Napasnya terengah-engah, jantungnya berdebar kencang di dalam dadanya. Dia membuka mata lebar-lebar. Ternyata dia masih di atas kasur sebelumnya, tepat saat ia seharusnya berbaring dan tidak tenang menutup matanya. Seharusnya ia masih terjaga, ternyata tidak demikian.
Mimpi itu seolah mempresentasikan ketakutannya. Takut bahwa apa yang ia jelaskan tidak dipahami siapapun tanpa ia ketahui kesalahannya. Ia bergidik kala membayangkan bahwa ia tidak bisa berkomunikasi dengan normal di dunia ini.
Buku yang ia lihat dalam mimpinya.
Caroline bangkit dari ranjang, segera menuju ke lokasi yang sama. Benar saja, ada buku di dalamnya. Sama persis. Buku ini pasti akan cukup membantunya untuk memahami apa yang sebelumnya mendiang tubuh ini lakukan.
“Tetapi aku sama sekali tidak paham, mengapa orang ini terlihat menjaga jarak dan kurang berinteraksi dengan Pram?”
Caroline membolak-balik buku biru itu, membaca lagi catatan harian yang begitu sistematis dan dingin. Baris demi baris, agenda yang tertulis rapi itu menggambarkan sebuah kehidupan yang teratur, fokus pada pekerjaan, tetapi minim interaksi pribadi, terutama dengan Pratama.
Setiap poin terasa seperti laporan, bukan catatan harian seseorang yang berumah tangga. Tidak ada sentuhan personal, tidak ada keluhan tentang Pratama, tidak ada momen kebersamaan yang hangat seperti yang ia rasakan bersama Natasya. Bahkan saat menyiapkan makan siang ke kantor, tidak ada rujukan apakah itu untuk Pratama atau hanya bekalnya sendiri. Percobaan yang berulang kali gagal juga menunjukkan ketekunan, namun juga semacam isolasi dalam prosesnya.
Dia membandingkan ini dengan cerita Natasya, tentang Pratama yang cerewet soal makanan, tentang maraton SpongeBob dan mie instan, tentang ayam goreng mentega favoritnya. Semua itu seolah berasal dari dua dunia yang berbeda. Buku harian ini menggambarkan sosok Caroline yang serius, mungkin sedikit kaku, dan sangat berdedikasi pada pekerjaannya. Sebuah kontras yang mencolok dengan Caroline yang mulai ia kenal dan yang diceritakan oleh Natasya.
Mengapa ada perbedaan yang begitu besar? Apakah Caroline yang dulu memang begitu? Apakah ada sesuatu yang membuatnya menjadi seperti ini atau justru yang diucapkan penghuni rumah ini merupakan kebohongan belaka?
Caroline menutup buku itu, kerutan di dahinya semakin dalam.
Setelah menimbang-nimbang, lebih baik tidak langsung mengkonfrontasi Pratama atau Natasya. Pengalaman dengan buku harian ini membuatnya sadar bahwa ada lapisan-lapisan yang perlu ia kupas perlahan. Mengamati akan memberinya kesempatan untuk melihat perilaku dan interaksi mereka secara alami, tanpa ada tekanan.
Ia menyelipkan buku harian itu kembali ke dalam laci, memastikan letaknya persis seperti semula. Kemudian, ia mengambil napas dalam-dalam.
"Baiklah," gumamnya pada diri sendiri. "Kita lihat sejauh mana ini akan membawaku."
Ia memutuskan untuk memulai observasinya dari hal-hal kecil. Bagaimana Pratama berinteraksi dengan Natasya? Apakah ada sentuhan kehangatan yang kontras dengan formalitas buku harian itu? Bagaimana Frans dan pelayan lain memandang dirinya? Apakah ada petunjuk lain yang bisa ia temukan di setiap sudut rumah ini?
Dengan setiap detail kecilnya, harapannya ia sendiri bisa menarik benang merah tentang siapa Caroline Kirana Adiwidya itu sebenarnya.
***
“..kak??”
Caroline tersenyak dari lamunannya di meja makan. Dia menoleh ke Tasya yang berada di sebelahnya, memberikannya tatapan penuh kebingungan. “Ah, ya?”
“Dari tadi Kak Ine cuma ngeliatin ayam menteganya. Baru bangun tidur nih, Kak?”
Caroline tertawa dan membenarkannya. Beberapa hari berlalu begitu cepat dan sudah seminggu semenjak kejadian itu. Menu di depannya sama, ayam mentega yang kata mereka adalah kesukaannya. Dia tidak memberitahu Tasya bahwa ia memikirkan banyak hal semenjak ia bangun dari tidur siangnya. Tasya hanya mengangguk dan mengambil satu potong ayam lagi.
Saat nasi di piringnya habis, Caroline memutuskan lagi. "Tasya," panggilnya lembut. "Ada beberapa hal yang perlu aku tanyakan ulang karena ada yang terlupa."
Ia melirik ke arah Frans yang tengah membereskan piring. "Demam itu, apakah hanya demam biasa atau ada sesuatu yang terjadi sebelum aku tidur?" Caroline menyelidik, juga mengamati ekspresi Natasya dan Frans.
Natasya mengernyitkan dahi. "Demamnya Kak Inee itu gara-gara begadang kumpulin data dan bolak-balik buat penelitian tanaman. Kata Kak Tama, orang rumah kurang ngawasin, jadi dia nemu Kakak ngigau dan keringatan dingin karena panas dalam."
Frans mengangguk setuju. "Betul, Nona. Bapak Pratama sangat khawatir. Beliau sampai tidak tidur berhari-hari mengawasi Nona."
"Apa kata tabib?" tanya lagi Caroline, tanpa sadar menggunakan sebutan lama.
Natasya menatapnya aneh. "Tabib? Maksud Kakak, dokter? Ya. Kak Tama sigap panggil dokter pribadinya kemari dan sempat meresepkan beberapa obat. Benar kan, Frans?" Gadis itu menyenggol lengan Frans dan berkontak mata tanpa sepengetahuan Caroline.
"Oke, perbedaan sebutan lagi," pikir Caroline dalam hati. Lalu benda lonjong manis itukah obatnya? Ia teringat kembali pada pil yang diberikan Pratama pagi itu.
Tak lama setelah makan malam, Caroline kembali ke kamarnya untuk mengambil obat. Mata Caroline melirik ke tumpukan tablet dalam satu botol di nakas samping tempat tidurnya, yang tadi sempat Pratama tunjukkan. Pratama, yang baru saja masuk kembali ke kamar, maju ke tempat obat berada seolah mengonfirmasi pemikirannya.
Ia letakkan botol itu ke tangan Caroline dan menyuruhnya untuk menelannya lagi. "Sisa satu lagi, aku akan meminta ke dokter untuk obat barunya."
Wanita itu mengangguk. Dalam benaknya, ia tidak bisa tidak curiga pada orang di sebelahnya. Biasanya obat selalu berbau, bertekstur, berbentuk khas sehingga membuatnya mudah dibedakan antara beracun atau tidak. Hanya saja benda pipih itu bahkan tidak berwarna dan beraroma. Tidak ada rasa pahit seperti pil yang dulu ia telan.
Dia berpura-pura mendekatkan telapak tangan ke mulut dan menyelipkan benda itu seperti masuk ke mulutnya. Tetapi ia sama sekali tidak memakannya.
“Terima kasih.”
Pram tidak begitu memperhatikan gerakan tipuannya dan menggangguk. Mengelus rambut Caroline dengan hati-hati. Kembali perempuan itu merasa bahwa untuk lima tahun pernikahan, lelaki ini terkesan agak canggung saat melakukan kontak fisik dengannya.
Kecurigaannya menguat!
"Tunggu," Caroline menginterupsi.
Gerakan Pratama terhenti dan ia menoleh ke wajah istrinya. Bersamaan, Caroline mengajukan pertanyaan. "Apakah ada ruang baca atau buku untuk mencari dan mempelajari sesuatu?"
Lelaki itu mengangguk. "Sudut kiri bawah tangga menuju perpustakaan. Ruangan itu adalah lokasi yang paling kamu sukai dan hinggapi dari pagi hingga malam." Pram berhenti menjelaskan saat benda pipih di telapaknya menyala dan berdering.
Caroline mendengarkannya dan menjawab lagi, "Ah ya, aku belum kesana hari ini."
Kesamaan lainnya, si pemilik tubuh ini merupakan pecinta buku. Setidaknya buku harian yang ia temukan tidak sepenuhnya berbohong.
"Pratama," panggil Caroline agak lama setelahnya. "Bolehkah kamu menceritakan bagaimana diriku? Lebih detail."