Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Bersamamu Seperti Pulang
Jordan terus memangkas jaraknya dengan Laura. Tanpa sadar Laura memejamkan mata. Harum napas Jordan kini menyapu permukaan wajahnya.
Bibir keduanya pun saling menempel. Sedikit basah, tetapi penuh dengan kehangatan. Hanya menempel tanpa ada rasa ingin menuntut.
Laura tidak menghindar maupun menolak. Semua terjadi begitu cepat sampai akhirnya Laura tersadar. Dia langsung mendorong dada Jordan dan berusaha kembali berdiri tegak.
"A-ayo! Leon pasti sudah menunggu sejak tadi!" ujar Laura terbata-bata sambil menyambar tasnya yang masih tergeletak di atas meja kerja.
Perempuan tersebut sampai lupa mematikan komputer. Dia terus berjalan cepat keluar dari kantor. Sementara itu Jordan terkekeh sambil mengusap bibirnya.
"Bukankah aku sudah memberitahukanmu sejak tadi?" Jordan mematikan komputer milik Laura, lantas menyusul ibu dari putranya tersebut.
Di balik kubikel lain, ternyata ada yang menatap kepergiannya dengan tatapan tajam. Jemarinya mengepal kuat sambil menatap layar ponsel dalam genggaman. Rahangnya mengeras sebelum akhirnya memukul meja yang ada di hadapannya.
"Akan kubuat kalian berdua hancur!"
---
Semilir angin sore itu menerpa dedaunan rindang di taman dekat apartemen. Burung-burung beterbangan hendak kembali ke sarangnya. Semburat jingga mulai melukis langit yang menaungi bumi.
Laura duduk di bangku taman sambil memperhatikan Leon yang berlari dengan langkah kecilnya. Gelembung sabun menari-nari di udara karena tiupan Jordan. Leon sesekali melompat dan menepuk telapak tangannya untuk memecahkan gelembung.
"Terus Papa! Terus! Buat gelembung yang banyak!" seru Leon.
Jordan pun kembali mencelupkan lingkaran kawat ke dalam botol sabun. Dia mengangkatnya ke udara dan langsung meniup benda tersebut. Puluhan gelembung kini terbawa angin sehingga beterbangan lagi ke arah Leon.
"Yeay!" Leon kembali berlari mengejar gelembung-gelembung itu.
Laura merasa lega melihat kebahagiaan yang tengah dirasakan oleh Leon. Dia tak pernah tertawa sebebas ini sebelumnya. Anaknya itu lebih sering diam sebelum ada Jordan yang kembali hadir dalam kehidupan mereka.
"Air gelembungnya habis, Leon! Ayo pulang!" ajak Jordan sambil melambaikan tangan ke arah putranya itu.
"Nggak! Leon masih mau main sama Papa!"
"Leon, ayolah. Sebentar lagi gelap!" ujar Jordan sambil menunjuk langit yang mulai redup.
"Kejar Leon dulu, Papa!" Leon langsung berlari menjauh.
Jordan mau tak mau harus mengikuti kemauan anaknya. Namun, tiba-tiba dia tersandung dan tersungkur ke atas rumput yang basah. Leon menghentikan langkah dan balik kanan.
Ketika melihat Jordan berguling sambil memegang kakinya, bocah laki-laki itu langsung berlari ke arahnya. Laura pun melakukan hal yang sama.
Namun, Leon lebih dulu sampai di dekat Jordan. Dia langsung memegang lengan sang ayah. Sedetik kemudian, Jordan mendekatkan tubuh Leon sambil terkekeh.
"Tertangkap!" ujar Jordan.
"Papa curang! Papa curang! Nggak mau!" protes Leon sambil bersungut-sungut.
Jordan tidak lagi memedulikan Leon yang terus melayangkan protes. Dia langsung menggendong tubuh mungilnya, lalu berjalan menghampiri Laura. Leon terus berontak, sehingga membuat Jordan memanggulnya seperti karung beras.
Sesampainya di mobil, Leon melipat lengan di depan dada. Alisnya saling bertautan dan sebuah tatapan tajam diberikan kepada Jordan. Laura terkekeh melihat Leon yang sedang merajuk.
"Ayolah, Leon. Jangan begitu. Bagaimana dengan makan ramen? Atau udon?" tawar Jordan.
"Aku mau makan sushi!" Leon membuang muka dengan tangan yang masih dilipat di depan dada.
"Baiklah, apa pun keinginanmu!" Jordan tersenyum lebar dan melajukan mobil menuju restoran langganannya.
Setelah drama kecil itu, mereka memutuskan makan malam di restoran Jepang favorit Laura. Suasana hangat mengalir begitu saja di antara mereka. Jordan membantu memotongkan sushi untuk Leon, bahkan mengelap mulut si kecil setiap kali belepotan saus.
“Enak banget!” seru Leon sambil menepuk-nepuk perutnya.
Jordan tertawa kecil. “Kalau Leon makan banyak, nanti cepet tinggi kayak Papa.”
Laura menatap dua lelaki itu dengan mata yang tak bisa berbohong. Ada bagian dalam dirinya yang tergores halus oleh kehangatan ini. Seolah inilah kehidupan yang selama ini tak sempat dia nikmati.
Setelah makan malam, mereka pulang ke apartemen Laura. Jordan memaksa mengantar karena ingin memastikan Laura dan Leon aman sampai rumah.
“Aku yang bacakan cerita malam ini,” ucap Jordan saat mereka sampai di kamar Leon.
“Yeay! Papa yang baca!” seru Leon antusias.
Jordan mengambil buku dongeng dari rak, sementara Laura duduk di sisi tempat tidur, membenarkan selimut anaknya. Mereka bergantian membacakan satu paragraf hingga akhirnya suara Leon melemah, matanya mulai terpejam.
Beberapa menit kemudian, Laura menutup pintu kamar perlahan. Di ruang tamu, Jordan sudah berdiri menatap jendela. Lampu kota memantulkan cahaya lembut ke wajahnya.
Laura mendekat, berdiri di sisinya. “Terima kasih untuk hari ini .…”
“Jangan bilang terima kasih,” gumam Jordan.
“Aku yang seharusnya minta maaf. Untuk banyak hal.”
Laura menoleh, tetapi Jordan sudah lebih dulu mengangkat tangannya, menyentuh pipi Laura dengan lembut.
“Boleh aku egois sebentar malam ini?” bisik Jordan.
Tanpa menjawab, Laura menutup mata. Bibir mereka kembali bertemu. Kali ini lebih dalam, lebih berani, lebih penuh rindu yang tertahan bertahun-tahun.
Tangan Jordan melingkari pinggang Laura, tubuh mereka saling menempel. Mereka bergerak pelan ke arah sofa, masih larut dalam ciuman yang menghanguskan sisa logika. Napas mereka memburu, tangan saling meraba, mencoba mengisi celah yang lama kosong.
“Mamaaa … Leon haus!”
Suara serak dan lelah itu datang dari ambang pintu. Laura dan Jordan langsung terlompat menjauh, wajah mereka memerah hebat. Laura buru-buru berdiri dan berjalan cepat ke arah putranya.
“Ya ampun, Leon belum tidur, ya? Sini, Mama ambilin air.”
Leon mengucek matanya, tak sadar apa pun. Jordan membenarkan letak bajunya dan menelan ludah. Rasanya canggung, seolah mereka baru saja tertangkap basah oleh anak mereka sendiri.
Setelah Laura menidurkan kembali Leon, dia kembali ke ruang tamu. Jordan berdiri kikuk di dekat pintu.
“Aku ... sebaiknya pulang,” ucap Jordan. “Sebelum kita kehilangan kendali.”
Laura mengangguk pelan. “Terima kasih untuk hari ini.”
Jordan mengecup keningnya singkat, lalu pergi meninggalkan Laura dengan jantung berdebar.
---
Keesokan paginya di kantor.
Laura baru saja membuka email saat ponselnya berbunyi. Grup WhatsApp kantor ramai dengan notifikasi.
[HRD Office]:
“INFO PENTING: SEMUA KARYAWAN WAJIB HADIR RAPAT PAGI INI. Ada kabar mengejutkan terkait posisi eksekutif.”
Alis Laura bertaut. Apa maksudnya? Belum sempat dia mencari tahu, ponselnya kembali bergetar. Kali ini sebuah pesan pribadi dari nomor tak dikenal.
“Kamu pikir hubunganmu dengan Jordan akan selamanya jadi rahasia?”
Laura menegang. Matanya membelalak ketika melihat foto yang dikirim. Sebuah potret buram dirinya dan Jordan tengah berciuman di kantor, malam sebelumnya.