NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Sahabat

Menikah Dengan Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.

Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.

Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.

Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 32

Hari-hari berjalan dengan ritme yang hampir sama di rumah mungil itu: tangisan bayi di malam buta, tawa kecil di pagi hari, dan kecemasan-kecemasan baru yang datang tanpa diundang. Namun bagi Nina, waktu terasa melambat.

Sudah dua bulan lebih sejak ia melahirkan, dan setiap kali ia melihat ke cermin, ia merasa tubuhnya masih seperti "bukan dirinya." Pakaian favoritnya menggantung di lemari, tak bisa dipakai. Tubuhnya terasa asing—terutama saat ia mencoba tersenyum pada bayangan sendiri, tapi mata yang menatap balik justru terlihat lelah dan kosong.

Malam itu, setelah Nizar tidur pulas, Nina duduk di depan meja rias. Tangannya mengusap perutnya pelan, merasakan lipatan yang tak mau hilang meski sudah berusaha ia sembunyikan dengan korset. Ia teringat kata-kata ibunya dulu: "Melahirkan itu mengubahmu, Nak. Bukan cuma hatimu, tapi tubuhmu. Dan itu nggak apa-apa." Tapi mengapa hatinya justru merasa semakin berat?

Pintu kamar berderit. Devan masuk, masih dengan kaus lusuh dan rambut yang berantakan. "Sayang, kamu belum tidur? Sudah malam banget."

Nina buru-buru menghapus air mata di ujung mata. "Iya... bentar lagi."

Devan mendekat, lalu merunduk menatap wajahnya di cermin. "Kamu oke?"

"Iya," jawab Nina cepat. Terlalu cepat.

Devan diam. Ia kenal betul istrinya—diam Nina bukan diam biasa. "Nin, kalau ada apa-apa, bilang ke aku. Jangan dipendam."

Nina hanya menggeleng, mencoba tersenyum. "Capek aja, Van."

Tapi Devan tahu, itu bukan sekadar capek. Ia bisa melihat dari mata istrinya—mata yang dulu selalu berkilau saat tertawa bersama, kini redup seperti lampu yang hampir padam.

Pagi berikutnya

Devan bangun lebih pagi dari biasanya. Ia menatap Nina yang masih tidur memeluk Nizar. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak: tubuh Nina yang dulu ia kenal benar kini terlihat berbeda—tapi bukan dalam cara yang membuatnya menjauh. Justru ia merasa ingin melindunginya lebih dari sebelumnya.

Namun ia juga sadar: Nina menghindarinya. Belakangan, pelukan Nina terasa setengah hati. Candaan-candaan mereka berkurang. Dan yang paling ia takutkan: ia tak tahu bagaimana caranya menembus dinding yang mulai Nina bangun di antara mereka.

Devan duduk di tepi ranjang, menatap istrinya. “Sayang, kamu nggak sendiri,” bisiknya, meski tahu Nina tak mendengarnya.

Hari itu, Devan sengaja pulang lebih cepat dari kantor. Ia membeli beberapa makanan favorit Nina: roti manis isi cokelat, es krim stroberi, dan ayam goreng renyah yang dulu selalu bikin Nina tersenyum lebar.

Namun ketika ia masuk rumah, yang ia temukan adalah Nina yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba baju lamanya—dan gagal. Baju itu tak bisa masuk melewati pinggulnya.

Nina buru-buru menutup pintu kamar ketika mendengar langkah Devan, tapi terlambat.

"Sayang," panggil Devan lembut.

Nina menoleh, wajahnya kaku. "Kamu udah pulang? Mau makan dulu nggak?" suaranya terburu-buru, seperti ingin menutup percakapan sebelum dimulai.

Devan mendekat, meletakkan kantong belanja di meja. “Aku bawain makanan favoritmu.”

“Terima kasih.”

Hanya itu. Lalu diam lagi.

Malamnya

Devan duduk di sofa ruang tamu, menatap layar TV yang tak benar-benar ia perhatikan. Di sampingnya, Nina menyusui Nizar sambil menunduk.

“Aku kangen kamu,” ucap Devan tiba-tiba.

Nina mengerjap, terkejut. “Kita tiap hari ketemu, Van.”

“Ketemu iya. Tapi ngobrol kayak dulu? Ketawa bareng? Kamu cerita apa yang kamu rasain?” Devan menoleh padanya. “Itu udah jarang banget.”

Nina menggigit bibir. Ia ingin berkata, "Aku merasa nggak cantik lagi. Aku takut kamu nggak suka aku kayak gini." Tapi lidahnya kelu.

Devan menggenggam tangannya. “Kalau ada yang kamu takutkan… kamu bisa bilang ke aku.”

Nina menatapnya sebentar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. “Aku cuma… capek, Van.”

Devan menarik napas panjang. Ia tahu ini lebih dari sekadar capek.

Beberapa hari kemudian

Devan tak tinggal diam. Ia membaca artikel tentang baby blues, tentang perubahan tubuh pasca-melahirkan, dan betapa banyak ibu baru yang diam-diam kehilangan rasa percaya dirinya. Ia sadar: Nina butuh ia hadir bukan sekadar sebagai suami, tapi sebagai tempat aman.

Maka malam itu, ketika Nina sedang menidurkan Nizar, Devan mendekatinya dari belakang. Ia memeluk Nina, bukan sekadar pelukan biasa, tapi pelukan erat seperti dulu saat mereka masih saling jatuh cinta tanpa takut.

“Nina.”

“Hm?”

“Aku tahu kamu nggak suka lihat tubuhmu sekarang. Tapi buatku… kamu luar biasa. Kamu melahirkan anak kita. Kamu ngasih aku keluarga yang nggak pernah aku bayangin sebelumnya. Dan aku… masih jatuh cinta sama kamu. Setiap hari.”

Nina terdiam. Kata-kata itu membuat air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

Devan memutar tubuhnya, menatap mata istrinya. “Kalau kamu nggak percaya sama dirimu sekarang, percaya sama aku. Aku lihat kamu, Nin. Kamu cantik. Kamu kuat. Kamu… tetap perempuan yang bikin aku deg-degan.”

Nina akhirnya menangis di pelukan Devan. Semua rasa takut dan minder yang ia pendam pecah malam itu.

“Van… aku takut kamu nggak suka aku kayak gini,” bisiknya.

Devan menghapus air matanya. “Kalau kamu tahu betapa aku bersyukur punya kamu… kamu nggak akan mikir gitu lagi.”

Malam itu mereka duduk berdua di lantai kamar, Nizar tidur di boks kecilnya. Tidak ada televisi, tidak ada gangguan. Hanya mereka, keheningan, dan percakapan yang akhirnya mengalir lagi.

Devan tahu: perjalanan mereka masih panjang. Tapi ia berjanji dalam hati, apa pun yang terjadi, ia akan memastikan Nina selalu merasa dicintai—lebih dari sebelumnya.

Karena meski tubuh berubah, rasa cintanya tak pernah berkurang.

Malah semakin besar.

1
Eva Karmita
masyaallah bahagia selalu untuk kalian berdua, pacaran saat sudah sah itu mengasikan ❤️😍🥰
Julia and'Marian: sabar ya kak, aku kemarin liburan gak sempat up...🙏
total 1 replies
Eva Karmita
semangat semoga semu yg kau ucapkan bisa terkabul mempunyai anak" yg manis ganteng baik hati dan sopan ya Nina
Eva Karmita
semoga kebahagiaan menyertai kalian berdua 😍❤️🥰
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
Herman Lim
selalu berjuang devan buat dptkan hati nana
Eva Karmita
percayalah Nina insyaallah Devan bisa membahagiakan kamu ❤️
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
Julia and'Marian: hihihi buku sebelumnya Hiatus ya kak, karena gak dapat reterensi, jadi males lanjut 🤣, makasih ya kak udah mampir 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!