Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Percaya
“Beneran ya Jan, aku gak habis pikir kenapa kamu dan Axel bisa bersitegang seperti ini. Aku selalu lihat raut bahagia saat Axel menatap wajah mu Jan.” Runi masih penasaran alasan mereka bertengkar yang masih tidak di pahaminya.
“Aku ijin pulang ya Run.” Runi menahan langkah Jani yang saat ini sudah terlihat lebih tenang. “Aku takut Run.”
“Axel yang seharusnya takut sudah membuat mu menangis seperti tadi. jangan kabur, kau harus berani melakukan perlawanan.” Runi menarik tangan Jani membawanya masuk kembali ke kelas.
“Hay….kau sudah lebih baik?”
“Semua akan baik-baik saja Jan.”
Beberapa teman mencoba menghibur Jani yang berjalan menunduk memasuki kelas.
“Kau lihat, teman-teman mendukungmu.” Bisik Runi yang matanya terus menatap Axel dengan sinis.
Jani tidak menghiraukan teman-temannya, dia sedang tenggelam dengan kesedihan yang belum bisa dirinya lepaskan. Masih terbayang sorot mata Axel yang penuh amarah saat mendorongnya sampai terpojok di tembok tadi.
Kelas sudah kembali seperti biasanya, riuh dengan suara mahasiswa yang sedang berdiskusi dengan dosen pengajar siang ini.
Mereka juga antusias menunggu pengumuman di tempat mana mereka akan di kirim untuk PKL minggu depan.
Mahasiswa kompak berteriak riuh sambil bertepuk tangan saat Dosan kelas mereka membacakan nama-nama Mahasiswa yang akan di kirimkan ke perusahaan-perusahaan ternama untuk PKL.
“Axel Baron Cale dan Anjani Tirtania Ganendra akan di kirim ke perusahaan Besar yang dimiliki pengusaha muda kaya raya yang misterius.”
Huhhhhhh….
Teriak riuh menyambut ucapan Dosen. Anak-anak penasaran kemana mereka akan di kirim.
“Jan…Xel….penasaran tidak?” Keduanya hanya tersenyum singkat membuat Dosen merasa tidak nyaman. “Apa kalian tidak bersedia di pasangkan? Bapak bisa rubah loh supaya kalian juga merasa nyaman.” Tawarnya dengan ramah.
“Tidak Pak, sesuai dengan jadwal dan keputusan dosen saja.” Jani menghelas nafasnya, Axel mendahuluinya bicara.
"Kau Jan....apa keberatan?" Jani menggeleng. "Jadi fix yah tidak ada perubahan yah. Bapak catat yah.” Meski ragu, beliau mencoba percaya pada Mahasiswanya. “Kalian akan Bapak tempatkan di PT. Muda Berdikari.”
“Kau yakin Jan?” Bisik Runi menatap Jani yang duduk di belakangnya. Jani mengangguk meski hatinya masih belum yakin dan takut. “Kau pasti bisa Jan.” Ucap Runi pelan agar tidak menyita perhatian.
Kelas berakhir, Jani dan teman-temannya sedang bersiap untuk pulang. Wajah Jani masih lesu karena perasaanya tidak kunjung membaik.
“Xel….kenapa tangan mu. Berdarah Xel.”
Jani terdiam, dia yakin luka di tangan Axel karena pukulan kerasnya tadi yang mengenai tembok.
“Ke UKK Xel, aku antarkan.” Axel menolak ajakan sahabatnya.
Jani melihatnya sendiri dari ujung matanya yang melirik diam-diam.
“Tangan mu bisa saja infeksi Xel, kau harus dapat antibakteri paling tidak untuk lukamu.”
“Berisik sekali Yan….! Aku baik-baik saja. Ayo cabut.”
Axel berjalan cepat meninggalkan kelas di ikuti sahabatnya yang masih membujuknya untuk melakukan pengobatan.
Runi kembali masuk setelah pergi ke toilet cukup lama dengan teman-teman lainnya sebelum pulang.
“Ayo Jan, aku antar pulang yah.”
“Aku ada perlu Run, jadi tidak bisa pulang barengan.” Tolaknya seperti biasa.
“Please Jan, aku tidak bisa membiarkan mu pulang sendirian setelah kejadian siang tadi. Aku mana tega membiarkan mu pulang sendirian Jan.” Kesal Runi yang ditolak Jani dengan lembut.
“Aku baik-baik saja.” Jani menatap Runi, ada sedikit rasa penasaran yang belum terjawab.
“Hmmmm….Run.”
“Hmmmmm…..” Jawabnya malas.
“Bagaimana kau bisa tahu aku di toilet tadi?” Runi menghentikan tangannya yang sedang berkemas dan menatap Jani dengan intens. “Apa Kak Axel yang beri tahu Run?”
“Katakan dulu kenapa kalian bisa bertengkar dan kau sampai menangis seperti itu?. Apa kalian diam-diam pacaran dan putus?”
“Gak Run….mana ada seperti itu. Aku juga bingung kenapa Kak Axel tiba-tiba marah dan kesal padaku.” Runi menggeleng, dia tidak percaya dengan jawaban Jani.
“Axel yang bilang kau menangis di toilet, dia bilang tidak sengaja menabrakmu dan kalian bertengkar hebat sampai kau menangis.” Jani mengangguk angguk puas dengan Jawaban Runi.
“Tapi asal kau tahu, aku tidak percaya.”
Kan Jani tadi ke toilet karena Axel menumpahkan minuman? Alasan macam apa yang Axel katakan tidak masuk akal itu!
Jani hanya tersenyum menanggapi sahabatnya, Runi memang paling peka saat dirinya tidak baik-baik saja. Mereka cukup dekat dan saling mengandalkan satu sama lain.
“Pak…mampir ke toko es krim sebentar ya Pak. Jani ingin jajan.” Pak Supir yang satu ini cukup ketat tapi juga bisa bersikap lunak saat Jani meminta hal-hal kecil untuk kesenangannya.
"Baik Non."
Jani senang meski kemanapun langkahnya pergi akan diikuti Pak Supir untuk memastikan keamananya.
Jani memilih beberapa es krim yang cukup dirinya gemari. Bahagia karena sekarang bisa makan kapan saja tanpa harus memikirkan uang kuliahnya yang masih belum terbayarkan.
Pukkkk….
Jani menoleh karena di tepuk pelan pundaknya oleh seseorang.
“Jani yah….benar yah….ya Tuhan….Wawa kangen loh Jan.” Jani menyalami wanita tua yang menyapanya dengan ramah.
“Belanja yah? Jani apa kabar, Wawa terakhir bertemu saat kau menikah. Kau semakin cantik Jan.” Jani hanya tersenyum.
Wanita Tua yang masih saudara dekat dengan Ayah Jani mengakuinya sebagai saudara sekarang. Dulu Jani bahkan tidak pernah di terima dengan baik saat di bawa Mas Angga main ke rumah mereka untuk sekedar silaturahmi.
Hal itu yang membuat Mas Angga memutus hubungan dengan semua sanak saudara yang menjauhinya saat keadaan begitu terpuruk. Mereka tidak menolong malah membuat keadaan semakin memburuk dengan komentar komentar pedas yang seharusnya Mas Angga dan Jani tidak dengar.
Mengingatnya membuat Jani sedikit kesal, tapi apalah daya dirinya yang hanya anak kecil tidak berdaya di mata mereka dulu.
“Jani sehat Wa, Jani hanya mampir karena ingin membeli sesuatu Wa.” Jawab Jani ramah meski terpaksa.
“Enak yah kalau orang kaya mah, mau belanja kapan saja tidak mikirin duit dari mana. Wawa mah susah Jan, mau belanja harus mikir dulu, hitung-hitung dulu cukup atau tidak untuk beli ini itu.” Jani tersenyum remeh.
Bukan menghina atau senang dengan keadaan Wawa nya saat ini yang mengeluh kesulitan, Jani ingat betul cacian yang keluar dari mulut wanita tua ini saat dirinya dan Mas Angga datang untuk meminta pertolongan karena sudah tidak makan seharian.
Dengan kasar dia mencaci maki Mas Angga yang dibilang tidak becus mengurus dirinya sendiri dan Jani. Kasar sekali sampai mulutnya tega mengatai Mas Angga malas-malasan sampai untuk makan saja mereka kesusahan.
Hari itu Jani ingat betul Mas Angga pulang dengan perasaan sakit hati yang tidak bisa di gambarkan. Tangan lembutnya yang tidak pernah melukai siapa pun sampai tega memecahkan foto Ibu dan Ayah yang selama ini dia jaga dengan baik.
“Jani maaf tidak bisa lama-lama ya Wa. Suami Jani menunggu Jani di rumah.”
“Iya…iya Jan, hati-hati ya Jan. Salam untuk suami mu.” Jani tidak mau berurusan lagi dengan mereka yang sudah menyakiti perasaanya terutama perasaan Mas Angga.
“Non…es krim nya belum beli.” Jani menepuk jidatnya. Pak Supir hanya tersenyum melihat tingkah Jani.
“Jani ambil dulu ya Pak sebentar.” Dengan cepat langkahnya mendekati deretan lemari es yang penuh dengan es krim berbagai rasa.
Tidak lupa Jani membelikan satu untuk Pak Supir juga.
Jani dan Pak Supir kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah yang sudah cukup dekat.
Jani yang seharian mengalami berbagai macam hal buruk merasakan pening di kepalanya dan memutuskan memejamkan mata beberapa saat.
Matanya perlahan terbuka saat sayup sayup seperti ada seseorang yang memanggil Namanya dengan lembut.
“Sudah bangun sayang.” Calvin mengusap kening Jani dengan lembut. “Apa yang kau lakukan seharian ini sampai kelelahan begini Jan.” Jani mencoba mengingat keberadannya sebelum tidur tadi.
“Kok aku bisa di sini Kak.” Tanya Jani penasaran.
“Aku yang meminta supir mu membawamu ke sini. Aku tidak tenang membiarkan mu sendirian sampai larut malam, kau bisa istirahat di ruangan ku sampai pekerjaan ku selesai.” Jani tidak habis pikir suaminya melakukan hal tidak terduga seperti ini.
“Padahal Jani sudah biasa sendirian loh Kak.” Celetuknya membuat Calvin merenungkan ucapan Jani. Matanya terlihat sendu.
“Apa aku keterlaluan?” Jani tidak merespon, tidak mengerti maksud dari pertanyaan Calvin. “Aku akan berusaha menjadi suami yang lebih baik Jan.”
“Aku akan bekerja di sini Kak mulai minggu depan. PKL yang aku ajukan di setujui.” Calvin tersenyum.
“Berarti kita akan punya waktu lebih banyak berduaan mulai minggu depan.” Jani menahan tangan Calvin yang sedang menuntunnya menuju lift.
“Aku ingin hubungan kita di rahasiakan dulu, Jani takut tidak nyaman Kak.” Calvin mengernyitkan dahinya. “Ku mohon Kak.” Calvin akhirnya mengangguk.
Padahal beberapa karyawan di perusahannya sudah pernah melihat Jani, hanya saja mereka tidak tahu jika Jani adalah Istri nya yang dia juga rahasiakan.