NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HARTA, KEKUASAAN, DAN TAHTA VEMUND

Kaelith pulang lebih cepat dari perjalanan tandingnya, langsung menjemput Nayara di kampus.

Begitu gadis itu masuk ke dalam mobil, Kaelith segera menarik wajahnya dan memberi kecupan singkat namun hangat di bibirnya.

"Bagaimana harimu?" tanyanya lembut, jemarinya menyelusup ke helaian rambut Nayara yang tergerai.

"Baik," jawab Nayara singkat, berusaha menutupi lelah di matanya.

Tatapan Kaelith meruncing saat memperhatikan rambut gadis itu. "Tidak biasanya kau membiarkannya terurai seperti ini. Apa kau lupa untuk memberitahuku dulu?"

Nayara mendengus pelan lalu memalingkan wajah ke arah jendela. "Kaelith, tidak semua hal harus kau atur. Rambutku bukan sesuatu yang perlu izin darimu."

Senyum tipis di bibir Kaelith menghilang, berganti dengan tatapan dalam yang sulit ditebak. Udara dalam mobil pun seketika terasa lebih berat.

Suasana dalam mobil hening beberapa detik. Hanya suara mesin dan hiruk pikuk jalan di luar yang terdengar.

Kaelith menoleh, tatapannya menusuk Nayara yang masih berpaling. Jemarinya meraih dagu gadis itu, memaksa wajahnya kembali menghadap.

"Nayara, jangan buat aku marah. Aku tidak suka kalau kau menentangku… sekecil apa pun itu."

Nayara menepis tangannya pelan. "Aku hanya ingin sedikit kebebasan, Kaelith. Rambut, pakaian, atau cara aku berjalan itu bukan sesuatu yang harus kau kontrol."

Rahangnya mengeras. Untuk sesaat, Kaelith menahan diri agar tidak meledak di tempat. Ia menarik napas panjang lalu mencondongkan tubuh, bibirnya kembali menempel di telinga Nayara.

"Kau milikku. Semuanya tentangmu ada dalam tanggung jawabku. Bahkan hal terkecil sekalipun. Mengerti?"

Nayara terdiam. Ada ketakutan, tapi juga perlawanan kecil yang tumbuh dalam hatinya.

"Aku lelah, Kaelith," bisiknya, lebih memilih menunduk daripada menatap mata pria itu.

Kaelith terkekeh rendah, bukan karena senang, melainkan untuk menutupi amarahnya. Ia kembali menggenggam setir, melajukan mobil dengan kecepatan sedikit lebih tinggi dari biasanya.

"Baiklah, kita akan bicarakan ini nanti… di rumah."

Mobil akhirnya berhenti di parkiran apartemen. Kaelith turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Nayara. Tanpa banyak bicara, ia menggenggam tangan gadis itu dan membawanya masuk dengan langkah cepat.

Begitu pintu unit apartemen tertutup, Kaelith langsung menekan tubuh Nayara ke dinding. Nafasnya berat, matanya tajam menatap gadis itu.

"Aku sudah bilang, Nayara… jangan pernah mencoba melawan. Kau tahu aku tidak suka dibuat kesal," suaranya rendah, mengandung ancaman.

Nayara menatap balik dengan sorot lelah. "Kenapa semuanya harus selalu tentang keinginanmu, Kaelith? Aku manusia, bukan boneka yang bisa kau atur sesuka hati."

Kaelith terdiam sejenak, bibirnya menekuk tipis. Ia menunduk, menempelkan dahinya ke kening Nayara. "Karena aku tidak ingin kehilanganmu. Karena aku terlalu terobsesi padamu, Nayara. Kau hanya milikku… dan aku akan pastikan kau mengerti itu."

Tangannya meraih pinggang Nayara, menariknya lebih dekat. Walau tubuhnya gemetar, gadis itu tidak berusaha melawan. Sebagian hatinya takut, sebagian lagi… terseret oleh perasaan aneh yang selalu Kaelith bawa bersamanya.

"Aku benci ini, Kaelith…" bisik Nayara, hampir seperti rengekan.

"Tapi kau tetap di sini bersamaku," balas Kaelith, sebelum melumat bibir Nayara dengan penuh rasa memiliki.

Ciuman Kaelith semakin menuntut, seolah ia ingin menghapus semua perdebatan yang baru saja terjadi. Tangannya bergerak dari pinggang Nayara, merayap ke punggungnya hingga membuat gadis itu sulit bernapas dengan tenang.

Nayara mencoba mendorong dada Kaelith, tapi genggaman pria itu terlalu kuat. "Kaelith… cukup," bisiknya pelan, meski suaranya bergetar.

Kaelith menatapnya lagi, rahangnya mengeras. "Kau masih berani berkata begitu setelah membuatku kesal? Nayara, kau tahu aku tidak akan membiarkanmu pergi." Ia menarik tubuh gadis itu, mengangkatnya dengan mudah, lalu melangkah menuju kamar.

Tubuh Nayara terbaring di atas ranjang. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena takut… tetapi juga karena ia tidak bisa mengendalikan perasaan yang rumit terhadap pria ini. Ada amarah, ada penolakan, tapi juga ada tarikan yang tak bisa ia pahami.

Kaelith duduk di tepi ranjang, membelai pipi Nayara dengan jemarinya. "Aku tidak ingin menyakitimu," ucapnya lebih lembut kali ini, nadanya kontras dengan sikap kerasnya tadi. "Tapi aku ingin kau mengerti, Nayara. Aku… tidak bisa tanpa kau."

Nayara menoleh, menatap matanya yang penuh obsesi. Ia ingin berkata bahwa hubungan ini salah, bahwa kendali Kaelith membuatnya sesak. Tapi bibirnya kelu. Yang keluar hanyalah satu kalimat lirih, "Aku lelah, Kaelith…"

Kaelith menghela napas panjang, menunduk menempelkan bibir di pelipis gadis itu. "Kalau begitu, tidurlah. Aku akan menjagamu."

Ia lalu menyelimuti Nayara, membiarkan gadis itu menutup mata, meski pikirannya penuh keruwetan. Sementara Kaelith tetap duduk di sisi ranjang, menatap wajahnya dengan sorot mata yang sulit ditebak antara cinta, obsesi, dan rasa takut kehilangan.

Kaelith yang tengah duduk di sisi ranjang, menatap Nayara yang hampir terlelap, dikejutkan oleh getaran ponselnya. Dengan helaan napas berat, ia meraih ponsel itu.

"Ada apa, Kevin?" suara Kaelith terdengar datar, namun sorot matanya tajam.

Dari seberang, suara kakaknya terdengar tegas namun juga mengandung nada memohon.

"Ada pertemuan besar keluarga Vemund. Semua anggota keluarga diwajibkan hadir, Kael. Tidak terkecuali kau. Jadi, jangan kecewakan Papa lagi."

Kaelith terdiam sejenak, pandangannya jatuh pada wajah Nayara yang terlelap damai. Rahangnya mengeras, lalu ia menjawab dingin, "Aku mengerti."

Telepon terputus. Suasana kamar kembali hening, hanya terdengar napas teratur Nayara yang tertidur di sampingnya.

Kaelith menunduk, menatap layar ponsel yang kini redup. Ucapan Kevin terus terngiang di telinganya. Pertemuan besar keluarga Vemund. Kewajiban. Status. Warisan. Semua hal yang selalu dipaksa melekat padanya sejak kecil.

Ia mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.

"Apa aku harus selalu hidup dalam bayangan mereka?" gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Tatapannya kembali pada Nayara. Wajah gadis itu terlihat begitu tenang, jauh dari hiruk pikuk ambisi keluarga besar Vemund. Kaelith mengulurkan tangan, mengusap lembut rambut Nayara, seolah menyerap ketenangan darinya.

"Aku ingin tetap di sisimu… tapi dunia mereka tak pernah berhenti menyeretku kembali," bisiknya.

Kaelith merebahkan tubuhnya di samping Nayara, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Hatinya terbelah dua: antara kewajiban sebagai putra keluarga Vemund dan keinginannya untuk hidup bebas bersama Nayara.

Hari itu datang lebih cepat dari yang Kaelith bayangkan.

Mobil hitam mewah berhenti di depan sebuah vila megah milik keluarga Vemund di Cádiz. Dari luar saja, terlihat betapa megahnya bangunan itu simbol kekuasaan dan harta yang terus dipamerkan keluarga besar mereka.

Kaelith turun dari mobil dengan wajah dingin, jas hitam membalut tubuhnya. Langkahnya berat, seakan setiap pijakan adalah belenggu. Di dalam hatinya, ia masih teringat wajah Nayara yang ia tinggalkan pagi tadi. Gadis itu ingin bertanya kenapa ia terlihat murung, tapi Kaelith hanya menjawab singkat: “Ada urusan keluarga.”

Begitu memasuki aula utama, puluhan pasang mata menoleh.

“Kaelith Vemund akhirnya datang…” bisik beberapa kerabat dengan nada sinis bercampur heran.

Di ujung ruangan, Alaric Vemund berdiri dengan wibawa khasnya, menatap anak bungsunya itu tanpa senyum. Kevin berada di samping sang ayah, wajahnya lega karena Kaelith menepati janji untuk hadir.

“Kael,” panggil Kevin pelan saat Kaelith mendekat. “Terima kasih sudah datang.”

Kaelith hanya menepuk bahu kakaknya, tanpa banyak bicara. Sorot matanya dingin, penuh jarak.

Acara dimulai. Pembahasan keluarga mengarah pada urusan bisnis, pewarisan, dan rencana masa depan Vemund. Nama Kaelith berkali-kali disebut.

“Dia harus mengambil peran lebih besar.”

“Dia punya pengaruh, meski keras kepala.”

“Tidak bisa selamanya bersembunyi di balik sepak bola.”

Semua suara itu terdengar seperti duri menusuk telinganya.

Sampai akhirnya, suara Alaric menggema di ruangan.

“Kaelith.”

Semua hening.

“Kau adalah darah daging Vemund. Cepat atau lambat, kau harus berhenti berlari. Malam ini aku ingin dengar jawabanmu apakah kau siap menjadi bagian penuh dari apa yang sudah kita bangun?”

Tatapan tajam sang ayah mengunci matanya. Semua keluarga menunggu jawaban.

Kaelith menunduk sejenak, kepalan tangannya bergetar di bawah meja. Ingatannya melayang pada Nayara, pada ketenangan yang hanya gadis itu bisa berikan.

Lalu ia mengangkat wajah, menatap lurus pada ayahnya.

Semua mata tertuju pada Kaelith. Ruangan megah itu senyap, hanya dentuman jam antik yang terdengar.

“Aku tidak akan pernah menjadi bagian dari permainan kotor ini,” suara Kaelith terdengar tegas, dingin, menusuk ke setiap telinga yang hadir. “Aku hidup dengan pilihanku sendiri, bukan pilihan keluarga.”

Seketika, bisikan-bisikan mulai terdengar. Beberapa kerabat saling bertukar pandang, sebagian menggeleng kecewa, sebagian lain tertawa kecil meremehkan.

“Tidak sopan!” seru salah seorang paman jauh, wajahnya merah padam. “Kau pikir bermain sepak bola itu cukup membanggakan keluarga ini? Itu profesi murahan! Tidak ada nilainya dibandingkan warisan yang ada di tanganmu!”

Suasana meledak.

Kaelith mendongak, sorot matanya berubah tajam, penuh bara. Tangannya mengepal begitu kencang, hingga buku-bukunya memutih.

“Apa kau berani mengulanginya?” tanya Kaelith rendah, hampir berbisik, namun membuat bulu kuduk berdiri.

Orang itu seorang pria setengah baya dengan perut buncit malah mendengus meremehkan. “Aku hanya bicara kenyataan. Kau tidak lebih dari bocah manja yang lari ke lapangan hijau demi menghindar dari tanggung jawab. Seorang Vemund bukan pesepakbola jalanan!”

Bam!

Kaelith menghantam meja kaca di depannya hingga retak, membuat semua orang terlonjak kaget. Kevin segera berdiri, mencoba menahan adiknya, sementara beberapa kerabat mundur ketakutan melihat aura buas yang terpancar dari tatapan Kaelith.

“Aku peringatkan kau,” desis Kaelith menatap kerabat itu dengan tatapan yang bisa membunuh. “Hinaanmu hanya berlaku karena aku masih menahan diri. Sekali lagi kau hina profesiku aku pastikan kau akan mengenal arti rasa sakit yang sebenarnya.”

Suasana aula memanas. Beberapa orang berusaha melerai, sementara Alaric Vemund hanya menatap dingin, tanpa ekspresi, seakan sedang menilai putranya.

Kerabat setengah baya itu masih saja bersuara, tidak sadar dirinya sudah berada di bibir jurang.

“Lihatlah, bahkan emosimu murahan! Kau tidak pantas menyandang nama Vemund!”

“Diam kau!” Kaelith melangkah maju dengan tatapan membara. Satu tangannya sudah terangkat, siap menghantam wajah pria itu. Semua orang terpekik, sebagian berusaha mundur.

“Kael!” Kevin bergerak cepat, meraih lengan adiknya dan menahan sekuat tenaga. “Jangan lakukan ini, tolong kendalikan dirimu!”

“Lepaskan aku, Kev!” raung Kaelith, urat di lehernya menegang. “Dia sudah melewati batas!”

Pria buncit itu beringsut mundur, wajahnya memucat saat melihat sorot mata Kaelith yang benar-benar siap membunuh. Aura tegas sekaligus liar memancar dari tubuh sang pemain bola itu, membuat orang-orang lain tak berani mendekat.

“Kaelith, berhenti!” suara berat Alaric Vemund akhirnya terdengar, memenuhi seluruh aula. Semua orang langsung terdiam.

Sang kepala keluarga menatap Kaelith lurus, tanpa emosi, tapi setiap kata keluar bagai palu godam.

“Kemarahanmu hanya akan membuktikan ucapan mereka benar. Apa itu yang kau mau?”

Kaelith terhenti. Napasnya memburu, dada naik turun. Matanya masih tajam menatap kerabat yang menghina profesinya tadi, namun genggamannya perlahan terlepas.

Kevin masih memegangi bahunya, memastikan Kaelith tidak kembali menyerang. “Tenangkan dirimu, adikku. Jangan biarkan mereka menang hanya karena provokasi murahan.”

Kaelith menutup matanya sejenak, lalu menarik napas panjang. Dengan suara rendah namun penuh tekanan, ia berucap, “Aku tidak menyesal dengan pilihanku. Lapangan hijau adalah hidupku, dan aku tidak peduli meski kalian menganggapnya rendah.”

Suara deheman berat terdengar, memecah ketegangan di aula keluarga Vemund. Semua kepala otomatis menoleh saat sumber suara itu muncul dari kursi kehormatan.

Sebastian Vemund, sang patriark tertua keluarga itu, berdiri perlahan dengan bantuan tongkat kayu berukir di tangannya. Meski rambutnya telah memutih, sorot matanya masih tajam bagai elang, memancarkan kuasa yang membuat seisi ruangan menunduk hormat.

“Kau gagal dalam mendidik putramu, Alaric.”

Nada bicaranya tenang, tapi setiap kata terasa menampar.

Alaric yang sejak tadi diam, menegakkan tubuhnya. Rahangnya mengeras, namun ia tidak berani menyela. “Papa…” hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Sebastian melangkah perlahan, tongkatnya beradu dengan lantai marmer, bergema dalam keheningan ruangan. Tatapannya jatuh pada Kaelith yang masih berdiri dengan napas memburu, wajah merah padam karena emosi.

“Kaelith Vemund.” Nama itu disebut dengan dingin, membuat semua orang menahan napas. “Darah keluarga besar ini mengalir dalam dirimu, tapi kau menodainya dengan pilihan hidup yang hina.”

Kaelith mendongak, matanya menantang. “Hina, kata Kakek? Aku tidak pernah meminta terlahir sebagai Vemund. Jika kalian hanya mengukur harga diri dari jabatan dan uang, maka kalianlah yang hina.”

Seisi aula bergemuruh. Beberapa kerabat menutup mulut terkejut, sebagian lagi saling berbisik. Tidak ada seorang pun yang pernah berbicara menantang Sebastian seperti itu.

Sebastian mengetukkan tongkatnya sekali, membuat suasana kembali hening. “Lidahmu setajam ibumu dulu,” ujarnya lirih, seakan menyinggung sesuatu dari masa lalu. “Tapi keberanian tanpa hormat hanyalah kesombongan.”

Kaelith mengepalkan tangannya, hampir kembali meledak, namun Kevin buru-buru berdiri di sampingnya. “Kakek, tolong jangan hukum Kael. Dia hanya… dia hanya ingin diakui dengan caranya sendiri.”

Sebastian menatap cucunya yang sulung, lalu kembali ke Kaelith. Senyum tipis yang entah mengejek atau menyedihkan muncul di wajah keriputnya. “Kita lihat saja… apakah pilihanmu akan membawa kehormatan atau kehancuran bagi nama Vemund.”

Sebastian menghela napas panjang, lalu kembali mengetukkan tongkatnya dua kali. Suara kayu beradu dengan lantai marmer bergema, memberi tanda semua orang harus diam.

“Kaelith,” suara tua itu berat, menusuk. “Kau diberi waktu sampai akhir tahun ini. Tinggalkan profesimu yang memalukan itu, kembali ke jalur keluarga, atau kau akan kutanggalkan dari nama Vemund. Tidak ada warisan, tidak ada tempat, bahkan darah dalam tubuhmu akan kucabut dari garis keturunan ini.”

Suasana aula hening, hanya terdengar bisikan lirih kerabat yang saling terkejut.

Kevin menatap adiknya cemas. “Kael… tolong, dengarkan dulu. Jangan menentang Kakek…” bisiknya, suaranya nyaris bergetar.

Namun Kaelith justru terkekeh sinis. Tawanya singkat, dingin, membuat beberapa orang bergidik.

“Warisan? Nama keluarga?” Kaelith menatap seisi ruangan dengan sorot api di matanya. “Apakah itu yang membuat kalian semua merasa lebih baik dari orang lain? Jika menjadi Vemund berarti menginjak kebebasan orang lain, aku lebih memilih dilupakan daripada dipaksa tunduk!”

“KAELITH!” suara Sebastian menggelegar, penuh wibawa dan amarah. Tongkatnya menghantam lantai begitu keras hingga sebagian orang terlonjak. “Jangan bodoh. Dunia tidak akan memberi tempat bagi orang yang menolak asal-usulnya. Kau akan hancur sendirian tanpa nama keluarga ini.”

Kaelith mendekat satu langkah, wajahnya hanya berjarak beberapa meter dari sang kakek. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

“Kalau begitu… biarkan aku hancur dengan caraku sendiri.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dengan langkah lebar, menyingkirkan kursi yang menghalangi jalannya. Pintu aula terbanting keras saat ia keluar, meninggalkan gema yang menggetarkan ruangan.

Kevin berusaha mengejarnya, namun Sebastian menahan dengan satu gerakan tangan. “Biarkan dia,” ucapnya datar, meski matanya menyimpan kilatan yang sulit terbaca. “Seorang Vemund keras kepala hanya akan belajar dari luka yang ia pilih sendiri.”

Aula kembali riuh, kerabat saling berbisik, membicarakan Kaelith yang berani menentang kepala keluarga.

Namun di luar, di balik pintu besar itu, Kaelith berjalan cepat menembus udara malam Cadiz, dadanya bergemuruh penuh amarah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa lebih bebas meski harga dari kebebasan itu adalah perang melawan darahnya sendiri.

1
Widia Ar
udh dah kata gua mah nay nurut aja jadi cewe manis itu laki mau nya lu gitu nay pasti bakal dikasih dunia dan seisinya percaya dah Iyah kan othor .
Widia Ar
thor keren ihh tambah gemes Ama mereka berdua.
Widia Ar
the best
Widia Ar
thor semangat yah aku selalu menunggu mu
Seraphina: Terimakasih kak🥹
total 1 replies
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!