Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penghancuran Markas Kala Hitam
‘’Wira! Lewat Sini!’’ seruan seorang pendekar madya tersebut menyadarkan Wira.
Wira mengangguk dan kembali bergerak. Kini, kelompoknya harus mengawal para tawanan yang menurut perkiraan Wira berjumlah 40 orang tersebut keluar dari markas Kala Hitam dan mengamankan mereka. Wira melihat anggota kelompoknya mulai menggiring rombongan wanita dan anak-anak keluar dari ruang tawanan.
Mengikuti arahan pendekar madya yang tadi memanggilnya, Wira dan yang lainnya menuntun para tawanan bergerak keluar dari sisi kiri markas yang dindingnya telah dijebol. Di luar markas, kelompok Wira berhenti setelah memasuki hutan dan menjaga para tawanan yang ada bersama mereka sambil menunggu kelompok yang lain menyelesaikan pertempuran di dalam markas.
Gerimis tiba-tiba turun. Wira dan kelompoknya menunggu dalam sikap siaga dan tetap waspada sebab pertempuran masih berlangsung. Tak lama, Wira melihat beberapa anggota Kala Hitam hendak melarikan diri dari lubang pada dinding yang tadi mereka lewati saat mengeluarkan tawanan.
‘’Tunggu!’’
‘’Kenapa?’’
Wira mendengar dua pendekar madya dalam kelompoknya tiba-tiba seperti memperdebatkan sesuatu. Sepertinya, salah satu dari mereka tak ingin membiarkan anggota Kala Hitam yang hendak melarikan diri, tetapi yang lain terlihat menghalanginya.
‘’Jangan bilang kau akan membiarkan mereka melarikan diri?’’
Wira melihat pendekar madya yang ditanya kesulitan menjawab. Ia menatap para tawanan yang sebagian besarnya kini terlihat kedinginan. Wira seakan memahami dilema yang ada pada dua pendekar yang juga seniornya di perguruan itu. Tak jauh darinya, Wira dapat menangkap Abiyasa pun merasakan hal yang sama.
Di sisi lain, prajurit Suranaga yang ada bersama mereka justru terlihat lebih tenang. Pria itu menghela napas dan menghampiri dua pendekar madya tersebut, ‘’Pendekar muda tenang saja, biar saya yang membereskan mereka.’’
Wira menatap Abiyasa yang kemudian memberinya sebuah anggukan. Keduanya memutuskan untuk mengikuti langkah prajurit Suranaga tersebut.
‘’Senior,’’ Abiyasa membuka suara, ‘’Kita tentu tak bisa membiarkan paman prajurit ini pergi sendirian bukan? Biar kami yang membantunya. Dengan dua senior di sini, para tawanan akan lebih aman.’’
Dua pendekar madya tersebut saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya setuju. Salah satunya kemudian berkata, ‘’Terima kasih, tetaplah berhati-hati dan jangan ragu untuk meminta bantuan jika diperlukan.’’
‘’Kami juga akan memastikan mereka tidak mendekati tempat ini.’’ kata pendekar madya yang satu lagi sambil mengangguk.
Bersama Abiyasa dan seorang prajurit Suranaga, Wira menembus gerimis dan mengejar anggota Kala Hitam yang melarikan diri. Mengingat sebagian besar anggota Kala Hitam yang ada dalam markas tersebut hanya memiliki kemampuan setara dengan murid senior bahkan lebih lemah, tak butuh waktu lama bagi ketiganya untuk membereskan mereka sebelum bergerak mengelilingi markas tersebut dan memastikan tak seorang anggota Kala Hitam pun yang berhasil melarikan diri.
Tak lama kemudian, sebuah jeritan terdengar dari dalam markas seiring dengan suara pertarungan yang semakin berkurang. Beberapa pendekar Perguruan Rantai Emas tampak keluar dari markas untuk memastikan keadaan rekan-rekan mereka dan para tawanan baik-baik saja.
Beberapa saat kemudian, seluruh anggota tim tersebut beserta Ki Damar telah berkumpul kembali di luar markas. Mendapati anggota tim tersebut masih lengkap dan tak ada yang mendapat luka serius, Wira bernapas lega. Di luar dugaannya, Ki Damar juga mengapresiasi tindakan mereka yang ada di luar markas sebab jika sampai ada anggota yang lolos dan melaporkan serangan ini ke markas Kala Hitam lainnya, hal itu bisa saja menyulitkan pergerakan mereka selanjutnya.
Satu markas Kala Hitam telah berhasil mereka hancurkan. Kartasala, pimpinan markas tersebut sebenarnya tak pernah memiliki peluang menang sejak berhadapan langsung dengan Ki Damar. Ki Damar sendiri bukan hendak bermain-main atau pamer kekuatan, melainkan menunjukkan pada Kartasala bahwa para bandit tersebut hanya melakukan perlawanan yang sia-sia. Dengan cara itu, Ki Damar bahkan dapat mengorek informasi lebih jauh tentang markas Kala Hitam yang menjadi target mereka berikutnya meskipun membutuhkan sedikit waktu.
Setelah mengeluarkan segala macam harta dan benda hasil rampokan kelompok Kala HItam di markas tersebut, Ki Damar membagikan sebagian besar harta tersebut kepada para tawanan dan menyerahkan sebagian lainnya, yang lebih berguna untuk pendekar, kepada anggota timnya untuk dibagi rata.
Beliau juga memerintahkan agar markas tersebut dibakar bersama dengan seluruh jasad anggota kala hitam yang ada. Setelah itu, Ki Damar dan timnya membawa para tawanan ke kota yang terdekat dengan tempat itu, sebuah kota kecil bernama Panggungan. Tidak sulit bagi seorang tokoh dunia persilatan seperti Ki Damar untuk melobi dan mendapatkan persetujuan dari berbagai pihak termasuk wali kota Panggungan untuk menampung, memberi perawatan, dan mengurus segala hal terkait dengan mereka yang tadinya merupakan tawanan dari Kala Hitam itu.
Sang Wali Kota Panggungan sendiri bahkan berjanji akan melakukan semua hal yang diperlukan hingga memulangkan para tawanan tersebut ke tempat asalnya masing-masing. Ki Damar meminta wali kota tersebut untuk tidak berbuat macam-macam yang menyalahi perkataannya sendiri sebab jika demikian dirinya akan berurusan langsung dengan Perguruan Rantai Emas. Wira sedikit terhibur melihat bagaimana keberadaan Ki Damar dapat membuat si wali kota cukup ketakutan dan memastikan kembali akan melakukan yang terbaik hingga tuntas.
Karena malam sudah terlalu larut, Ki Damar memutuskan untuk beristirahat di Kota Panggungan selama beberapa jam. Sang wali kota tak segan untuk memberikan fasilitas terbaik bagi Ki Damar dan seluruh anggota timnya. Wira dan yang lainnya pun tidak menyia-nyiakan hal ini dan memanfaatkan waktu yang ada untuk memulihkan diri sebab semuanya pun sadar mereka akan segera menghadapi pertempuran kembali.
...***...
Markas Kala Hitam yang menjadi target berikutnya terdapat di daerah yang disebut Bukit Kulon. Seperti yang sudah Wira duga, tim tersebut meninggalkan Kota Panggungan sebelum matahari terbit dan bergerak dengan kecepatan tinggi sehingga sampai di tujuan lebih cepat dari waktu yang diperkirakan. Wira semakin kagum dengan kemampuan, keluasan wawasan, dan pengalaman Ki Damar yang disaksikannya selama memimpin misi ini.
Setelah memastikan kebenaran markas yang menjadi target, Ki Damar tidak gegabah untuk menyerang sebab lokasi markas tersebut berada di atas bukit. Meskipun tidak terlalu tinggi, bebatuan yang memenuhi bukit itu dapat menjadi hambatan, bukan bagi mereka yang hendak membasmi gerombolan Kala Hitam, melainkan bagi tawanan yang harus diselamatkan. Di samping itu, markas tersebut hanya memiliki satu jalan masuk dan keluar, yang menjadikan situasinya lebih rumit lagi.
Namun, Ki Damar tetap terlihat tenang. Karena situasi yang berbeda dari sebelumnya, Ki Damar pun tidak menggunakan taktik yang sama. Ki Damar meminta seluruh anggota tim untuk menunggu sementara beliau sendiri terlihat tengah merapal sebuah ajian.
‘’Wira,’’ panggil Abiyasa tiba-tiba, ‘’Kau beruntung, jarang sekali kita dapat melihat Ki Damar menggunakan ‘Ajian Mata Langit’ miliknya.’’ katanya dalam nada yang lebih mirip sebuah bisikan.
Bahkan saat Abiyasa berkata, tubuh Ki Damar terlihat mengeluarkan pendar berwarna keemasan. Sesaat, Wira merasa aneh karena tak merasakan luapan energi sebagaimana yang biasanya terjadi saat seseorang menggunakan sebuah teknik bela diri. Namun, perasaan tersebut tidak berlangsung lama sebab Wira kemudian mengingat sebuah pelajaran dari para gurunya dan juga informasi dari kitab-kitab yang pernah ia pelajari.
Berbeda dengan teknik bela diri, ajian pada dasarnya adalah sebuah ilmu yang bergantung pada olah batin dan jiwa pemiliknya. Jika sebuah teknik bela diri biasanya akan menggunakan tenaga dalam untuk mengoptimalkan penguasaannya, sebuah ajian lebih menekankan pada energi batin dan kekuatan jiwa penggunanya.
Setelah beberapa menit, pendaran keemasan pada tubuh Ki Damar meredup dan beliau berbalik senyuman tipis penuh makna dan sorot mata yang memperlihatkan keteguhan, ‘’Bersiaplah, kita hancurkan markas ini dan jangan ragu untuk menghabisi orang-orang laknat yang ada di dalam sana!’’